Jumat, 01 November 2013

Tulisan Ilmu Sosial Dasar Bagian Kedua

Adat Jawa

Upacara Adat Jawa - Sejarah Ruwatan
            Ruwatan merupakan upacara adat Jawa yang masih dilakukan sampai sekarang. Kegiatan ini merupakan salah satu ritual yang dilakukan agar seseorang terbebas dari kesialan dan nasib buruk. Setelah melakukan ritual ini, mereka percaya bahwa hidupnya akan lebih baik, sejahtera, dan beruntung. Salah satu faktor kesialan itu adalah sakit-sakitan.
            Ruwatan tidak lepas dari mitos masyarakat Jawa. Upacara adat Jawa ini sering dihubungkan dengan Bathara Kala. Bathara Kala adalah putra Bathara Guru yang suka mengganggu manusia. Bahkan mitosnya, dewa berbentuk raksasa ini suka “memangsa” manusia-manusia tertentu. Orang yang “dimangsa” oleh Bathara Kala akan mengalami sukerta atau nasib sial sepanjang hidupnya. 
Memang dalam mitosnya, Bathara Kala menggemari anak-anak dengan jumlah tertentu dalam sebuah keluarga. Misalnya kedhono-kedhini, dua anak pertama laki-laki lalu dua anak selanjutnya perempuan atau pandawa, lima anak laki-laki semua. Berikut anak-anak lain yang menjadi kegemaran Bathara Kala menurut mitologi Jawa:

•   Ontang-anting: Anak tunggal berjenis laki-laki
•   Unting-unting: Anak tunggal berjenis perempuan
•   Gedhana-gedhini: Satu anak laki-laki dan memiliki adik satu anak perempuan
•   Uger-uger Lawang: Dua anak laki-laki
•   Kembar Sepasang: Dua anak perempuan
•   Pendhawa Pancala Putri: Lima anak perempuan
•   Kembar: Dua anak laki-laki atau perempuan
•   Gotong Mayit: Tiga anak perempuan semua
•   Cukil Dulit: Tiga anak laki-laki semua
•   Serimpi: Empat anak perempuan semua
•   Sarambah: Empat anak laki-laki semua
•   Sendang Kaapit Pancuran: Anak tiga, dua laki-laki, yang tengah perempuan
•   Pancuran Kaapit Sendang: Anak tiga, dua perempuan, yang tengah laki-laki
•   Sumala: Anak cacat sejak lahir
•   Wungle: Anak lahir dalam keadaan bule
•   Margana: Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan
•   Wahana: Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta
•   Wuyungan: Anak lahir dalam suasana perang atau sedang dilanda bencana
•   Julung Sungsang: Anak lahir waktu tengah hari
•   Julung Sarab: Anak lahir waktu matahari terbenam
•   Julung Caplok: Anak lahir waktu senja hari
•   Julung Kembang: Anak dilahirkan saat fajar
             Salah satu jenis dalam upacara adat Jawa ini adalah Ruwatan Murwakala. Upacara ini dilakukan dengan melakukan pagelaran wayang yang memiliki lakon Murwakala. Ceritanya sederhana, orang-orang yang akan diruwat ini hadir dalam upacara. Mereka nanti dalam ceritanya akan diruwat oleh seseorang bernama Kandhabuwana.
              Ruwatan ini dilakukan dengan “mengundang” Bathara Kala dalam pagelaran wayang. Orang yang telah melakukan prosesi ini dianggap sudah diruwat dan nanti terbebas dari kesialan. Sebelum melakukan ruwatan memang ada beberapa syarat yang harus dilakukan. Syarat ini harus dipenuhi sebelum pagelaran wayang dilakukan. Berikut beberapa hal yang harus dipenuhi dalam Ruwatan Murwakala dalam upacara adat Jawa:

·      Para sukerto, orang yang akan diruwat harus memakai pakaian serba putih bersih. Warna putih melambangkan kesucian dan kebersihan diri.
·      Orang tua dari para sukerto harus memakai pakaian adat Jawa.
·      Seorang dalang yang sudah dianggap mampu melakukan ruwatan harus sudah siap dengan peralatan untuk mementaskan lakon Murwakala. Peralatan ini meliputi panggung, seperangkat wayang yang dibutuhkan, gamelan, penabuh, sinden, dan segala perlengkapannya. 
·      Tempat untuk melakukan ruwatan setidaknya cukup luas, dengan menyediakan bagian untuk tempat duduk bagi sukerto dan orang tua. Juga disiapkan tempat untuk memandikan para sukerto.
·      Beberapa macam sesaji yang disiapkan oleh sebelumnya.
Upacara Adat Jawa - Pelaksanaan Ruwatan
            Para sukerto diantarkan orang tua dan diserahkan kepada Dalang. Para sukerto ini nantinya akan duduk di belakang kelir wayang dan harus memerhatikan berlangsungnya pementasan, termasuk harus memperhatikan segala doa yang diucapkan Ki Dalang. Dalang lalu mengambil tempat untuk memulai pagelaran wayang dengan lakon Murwakala.
Murwakala sendiri dimulai dengan keresahan para dewa di Jonggring Saloka. Mereka resah karena Bathara Kala memangsa para manusia di muka bumi. Bathara Guru, sebagai ayah dari Bathara Kala, sangat risau akan hal ini. Dia dibantu dengan Bathara Narada untuk menemukan penyelesaian masalah ini. Akhirnya Bathara Kala disuruh menghadap.
Setelah terjadi silang pendapat, maka Bathara Kala mengakui kemampuan Bathara Guru. Namun, dia tetap lapar. Bathara Guru membolehkan memangsa para sukerto, namun ada syaratnya. Bathara Kala tidak boleh memangsa orang yang di dadanya terdapat tulisan mantra Kalacakra dan di kepalanya terdapat tulisan mantra Sastra Balik.
Bathara Kala yang masih kebingungan dengan makna sukerto akhirnya menerima penjelasan dari ibunya, Bathari Uma atau disebut juga dengan Bathari Durga. Durga akhirnya menjelaskan apa sukerto itu. Sukerto merupakan anak yang dilihat berdasarkan waktu kelahiran, bisa dilihat dari kategori yang dijelaskan sebelumnya. Bisa juga sukerto yang muncul karena dia melakukan kesalahan yang melanggar tabu, misalnya seorang wanita yang melangkahi gendhing. Kategori yang terakhir adalah sukerto yang muncul karena dalam hidupnya banyak ditimpa kesialan dan bahaya.
Cerita dalam upacara adat Jawa ini loncat di pedesaan muka bumi. Warga desa yang resah dengan ulah Bathara Kala sepakat untuk menggunakan jasa Ki Dalang Kandhabuwana. Kandhabuwana sendiri adalah penjelmaan Bathara Guru yang ingin melindungi manusia dari ulah Bathara Kala. Dia menjelma beserta Bathara Narada dan Bethari Durga dalam tim pewayangan. Mereka ini melakukan konsultasi sebelumnya dengan Semar, kakak Bathara Guru yang menjelma sebagai pamong di bumi.
Ceritanya berlanjut dengan perundingan warga desa dengan Kandhabuwana. Para sukerto harus bersedia menjadi anak Kandhabuwana agar terhindar dari ulah Bathara Kala. Setelah itu, Ki Dalang akan melakukan doa. Doa ini nanti harus diamini oleh orang tua dan sukerto serta penonton pagelaran wayang.
Salah satu mantra yang diucapkan adalah mengucapkan aksara hanacaraka dengan terbalik. Ada juga mantra Rajah Kalacakra, bunyinya sebagai berikut: Yamaraja-Jaramaya; Yamarani-Niramaya; Yasilapa-Palasiya; Yamidosa-Sadomiya; Yadayuda-Dayudaya; Yasiyaca- Cayasiya; Yasihama- Mahasiya.
Mantra ini berarti: “Siapapun yang menimbulkan keributan, hilang kekuatannya. Siapa yang datang untuk membuat celaka, hilang dayanya. Siapa yang membuat kelaparan, mulai sekarang harus memberi banyak makanan. Siapa yang membikin kemelaratan , harus membangun kemakmuran. Siapa yang berbuat dosa , wajib menghentikan nafsu jahatnya. Siapa yang mengobarkan perang, pasti sirna kekuatannya. Siapa yang berkhianat dan kejam, harus berbuat welas asih. Siapa yang suka merongrong, menjadi parasit, harus merobah sikap  dengan menghormat dan kasih kepada sesama.”
Selain itu, Kandhabuwana juga menganjurkan untuk mebuat sesaji. Sesaji ini dibuat sebagai wujud terima kasih kepada Gusti Sang Maha Pencipta. Bathara Kala akhirnya tetap datang menyerang. Namun, Kandhabuwana mampu menaklukannya. Kala yang telah dikalahkan diberi tahu oleh Kandhabuwana bahwa dia tidak boleh memangsa sukerto yang ada di hadapannya sekarang ini. Ki Dalang mengucapkan nama asli sukerto dan penyebabnya. Bathara Kala menyanggupi hal itu dan dia diberi hukuman.
Upacara adat Jawa ini berlanjut dengan Ki Dalang akan menyukur rambut sukerto dan memandikannya. Kemudian, wayang yang memerankan sukerto juga dicelupkan kepada air. Dalang lalu mengatakan bahwa sukerto telah hilang seiring dengan air yang digunakan untuk memandikan. Semua anak buah Bathara Kala juga telah dikalahkan oleh Bima.
Upacara adat Jawa ini diakhiri dengan Kandhabuwana kembali wujud menjadi Bathara Guru. Setelah memberi wejangan dan pamit kepada warga desa dan Kyai Semar, dia kembali ke khayangan beserta Bathara Narada dan Bathari Durga. Upacara adat Jawa ini selesai dan yang diruwat sudah tidak menjadi sukerto lagi.
Siraman adalah upacara adat ritual warisan nenek moyang kita yang mengandung banyak falsafah di dalamnya. Dalam tiap langkah pada prosesi siraman dimaknakan agar para calon pengantin membersihkan diri dan hati sehingga semakin mantap untuk melangsung pernikahan esok harinya. Pada upacara yang lebih bersifat intern ini seluruh keluarga besar berkumpul, berbagi suka, memberikan doa restu dan dukungan moral pada sang calon pengantin untuk memasuki fase baru dalam kehidupannya.
            Perlengkapan acara Siraman terdiri dari: Gayung Siraman, untaian padi kuning keemasan yang menyertai gayung tersebut melambangkan merunduk dan mengayomi keluarga. Bubur Sengkolo memiliki arti sebagai penolak bencana sehingga semua dapat berjalan lancar; Selain itu terdapat rebusan umbi umbian yang tumbuh dalam tanah (lebih dikenal dengan nama polo pendem) dimaknakan agar rumah tangga yang nanti akan dibina oleh sang pengantin akan mempunyai pondasi yang kuat.
Terdapat pula rangkaian buah kulit; Kendi air siraman tempat air kucuran wudhu; Tumpeng Robyong yang bermakna harapan akan keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan; Tumpeng untuk acara suapan terakhir; serta tidak ketinggalan Kreweng, yaitu uang dari tanah liat yang akan digunakan untuk membeli cendol dalam acara "dodol dawet".
            Yang perlu dipersiapkan juga yaitu mangkuk air bunga dan gunting untuk upacara potong rambut setelah siraman, serta sekop mini penggali lubang untuk upacara tanam rikmo (tanam rambut). Apabila si empunya hajat menyediakan tanda mata (souveneer) bagi para sesepuh yang nanti akan menyirami atau untuk para undangan acara siraman, sebaiknya juga telah dipersiapkan.


Air Siraman dan Pemasangan Bleketepe

            Kegiatan diawali dengan menyiapkan air siraman yang berasal dari 7 sumber ke dalam gentong. Sumber air siraman biasanya diambil dari rumah besan, rumah pini sepuh, dan rumah adat yang kemudian diaduk dengan campuran bunga.
            Sambil menunggu calon mempelai puteri bersiap-siap untuk siraman, sang Ayah melakukan pemasangan bleketepe (anyaman daun kelapa) sebagai tarub pada gerbang rumah. Pemasangan tarub dimaknakan sebagai tanda resmi bahwa akan ada hajat mantu di rumah yang bersangkutan.
Tata cara memasang tarub adalah sang Ayah menaiki tangga, sementara Ibu memegangi tangga sambil membantu memberikan bleketepe. Tatacara ini menjadi perlambang gotong royong kedua orang tua yang menjadi pengayom keluarga.
            Sejarah mengenai kegiatan pemasangan tarub ini dimulai pada saat Ki Ageng Tarub, salah satu leluhur raja-raja Mataram mempunyai hajat menikahkan anaknya Dewi Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng membuat peneduh dari anyaman daun kelapa. Hal itu dilakukan karena rumah Ki Ageng yang kecil tidak dapat memuat semua tamu, sehingga tamu yang diluar rumah diteduhi dengan payon daun kelapa itu. Dengan diberi ’payon’ itu ruang yang dipergunakan untuk para tamu Agung menjadi luas dan menampung seluruh tamu. Kemudian payon dari daun kelapa itu disebut ’tarub’, berasal dari nama orang yang pertama membuatnya.
            Setelah selesai memasang tarub, kain penutup tuwuhan di kedua sisi gerbang masuk di buka. Tuwuhan mengandung arti suatu harapan kepada anak yang dijodohkan agar dapat memperoleh keturunan, untuk melangsungkan sejarah keluarga.

Tuwuhan terdiri dari :

            Pohon pisang raja yang buahnya sudah masak. Maksud dipilih pisang yang sudah masak adalah, diharapkan pasangan yang akan menikah telah memiliki pemikiran dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang raja mempunyai makna pengharapan agar pasangan yang akan dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran, kemuliaan dan kehormatan seperti raja.
            Tebu wulung berwarna merah. Dimaknakan sebagai sumber rasa manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba enak. Sedangkan makna wulung bagi orang Jawa berarti sepuh atau tua. Setelah memasuki jenjang perkawinan, diharapkan kedua mempelai mempunyai jiwa sepuh yang selalu bertindak dengan ’kewicaksanaan’ atau kebijakan.
           Cengkir Gadhing merupakan simbol dari kandungan tempat jabang bayi atau lambang keturunan. Daun randu dan Pari Sewuli Randu melambangkan sandang, sedangkan pari melambangkan pangan. Sehingga hal itu bermakna agar kedua mempelai selalu tercukupi sandang dan pangannya. Godhong apa-apa (bermacam-macam dedaunan) Seperti daun beringin yang melambangkan pengayoman, rumput alang-alang dengan harapan terbebas dari segala halangan


Jalannya Acara Siraman

             Acara siraman diawali dengan sungkem calon pengantin kepada orang tua untuk mohon doa restu. Setelah itu calon pengantin dibimbing ke tempat siraman yang sudah disiapkan. Siraman dimulai dari kedua orang tua pengantin diikuti oleh pini sepuh yang telah dipilih. Air wudhu lalu dikucurkan oleh sang ayah dari kendi siraman. Kemudian kendi dipecahkan oleh kedua orang tua sebagai tanda pecahlah pamor sang anak sebagai wanita dewasa dan memancarlah sinar pesonanya.
             Acara potong rambut, diikuti dengan menggendong ananda ke dalam rumah melambangkan kasih sayang orang tua yang senantiasa mengiringi anaknya sampai detik terakhir menjelang tahap baru kehidupan sang anak.

Dodol Dawet

            Sementara menunggu calon pengantin wanita berganti busana, seluruh keluarga berkumpul menyiapkan tumpeng untuk acara suap-suapan di akhir acara. Adik-adik tercinta lalu membagikan uang kreweng untuk digunakan pada acara jual cendol (dodol dawet).
            Makna dodol dawet diambil dari cendol yang berbentuk bundar, diartikan sebagai lambang kebulatan kehendak orang tua untuk menjodohkan anaknya. Bagi orang yang akan membeli dawet tersebut harus membayar dengankreweng (pecahan genting) bukan dengan uang. Hal itu menunjukkan bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi.
            Yang melayani pembeli adalah ibu sedangkan yang menerima pembayaran adalah ayah. Hal ini mengajarkan kepada anak mereka yang akan menikah tentang bagaimana mencari nafkah, bahwa sebagai suami istri harus saling membantu. Dibalik itu ada juga makna jenaka dari acara ini, yaitu simbolisasi kalau esok hari pada saat akad nikah dan resepsi, tamu-tamu yang datang akan sebanyak dan seramai jualan cendol/dawet tersebut!


Tanam Rambut dan Pelepasan Ayam

             Selanjutnya upacara dilanjutkan dengan tanam rikmo/rambut oleh orang tua. Yang ditanam adalah potongan rambut kedua calon mempelai, dilakukan setelah wakil keluarga calon pengantin wanita kembali dari kediaman calon pengantin pria dengan membawa potongan rambut.
             Pelepasan Ayam Jantan hitam merupakan prosesi selanjutnya yang berarti bahwa orang tua sudah dengan sepenuh hati ikhlas melepas putrinya untuk hidup mandiri. Bagaikan Ayam yang begitu dilepas sudah dapat mencari/mengais makanan sendiri, diharapkan untuk ke depannya sang anak dapat hidup mandiri, memperoleh rejeki yang luas dan barokah.


Suapan
              Di penghujung acara, calon pengantin wanita yang telah berganti busana menerima uang kreweng hasil penjualan dodol dari Ibunda. Melambangkan pengajaran sang Ibu tentang bagaimana hidup mandiri dan mengatur nafkah pada kehidupan perkawinan. Suapan terakhir dan cium sayang dari kedua orang tua mengakhiri rangkaian acara siraman adat Jawa ini.
 UPACARA TRADISIONAL
Sekaten

            Setelah Raden Patah dilantik menjadi sultan pertama Kerajaan Demak, atas anjuran Wali Sanga didirikanlah Masjid Besar Demak yang selesai dibangun pada tahun 1408. Saat itu, penyebaran agama islam tidak banyak mengalami kemajuan. Kemudian muncul gagasan dari Sunan Kalijaga untuk menyelenggarakan keramaian menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada bulan RAbiulawal . Maka, dibunyikanlah gamelan di halaman masjid agara rakyat mau masuk ke kompleks Masjid Besar. Sejak semiggu sebelum peringatan Maulid,diselenggarakan keramaian. Secara terus menerus gamelan ditabuh disertai dengan dakwah agama. Beberapa lagu gamelan digubah oleh Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.
            Mendengar bunyi gamelan yang merdu, rakyat bebondong-bondong menyaksikan dari dekat, kemudian menuju pelataran masjid.Para wali memanfaatkan keamaian tersebut sebagai ajang berdakwah tentang keluhuran agama ialam. Banyak yang tertarik dan kemudian masuk islam. Mereka yang masuk islam diwajibkan mengucapkan dua kaliamt syahadat, istilah Arabnya Syahadatain. Lidah orang jawa mengucapkannya sebagai sekaten. Orang yang telah menyempurnakan syahadat berarti sudah resmi
masuk islam dan untuk menyempurnakan keislamnnya lalu disunat.
            Pada malam 12 Rabiulawal, Sultan keluar dari keraton menuju masjid untuk mendengarkan riwayat hidup Nabi. Pada tengah malam, Sultan kembali ke keraton beserta gamelan sekaten pertanda berakhirnya perayaansekaten. Pada pemerintahan Sultan Agung, tradisi garebeg mulud disertai pisowanan garebeg di Sithingil. Acra tersebut diakhiri dengan wilujengan negarti berupa sesajian gunungan untuk kenduri di Masjid Agung.Sedekah dari raja untuk rakyat berupa gunungan inilah yang kemudian menjadi rebutan masyarakat karena diprcaya dapat digunakan sebagai tolak bala agar hasil pertanian tidak diserang hama penyakit. Selain garebeg mulud diadakan pula garebeg syawal unutk merayakan Idul adha.
Tradisi perayaan sekaten ini ditetapkan menjadi tradisi resmi sejak kerajaan pindah dari Demak ke Pajang, dari Pajang pindah ke Mataram, lalu ke Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I, ditabuhlah dua gamelan sekaten, yaitu Kyai Gunturmadu (yang bermaknaanugerah yang turun) di tempatkan di bangsal Pagongan Selatan dan Kyai Nogowilogo (yang bermakna Lestari dan menang perang) ditempatkan di bangsal Pagongan Utara.


Labuhan

              Dalam kepercayaan jawa, setiap tempat mempunyai penguasa gaib berupa mahluk halus penunggu. Gunung Merapi yang terletak di Utara Kota Yogyakarta diyakini ditunggu oleh mahluk halus bernama Eyang Sapujagad. Adapun Samudera Indonesia, biasa disebut laut selatan, yang terletak di selatan kota Yogyakarta ditunggu oleh wanita cantik jelita bernama Kanjeng Ratu Kidul.
Panembahan Senopati sebagai raja Mataram berupaya menjaga keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan dalam masyarakat. Karena itu, ia menalin komunikasi dengan kedua mahluk halus tesebut. Salah satu bentuk komunikasinya adalah dengan besemadi di tempat-tempat tersebut. Ketika Panembahan Senopati merasa sudah saatnyan mengambil alih kekuasaan Kerajaan Pajang, ia bertapa di Laut Selatan. Sementara itu, pamannya, yaitu Ki juru mertani , bertapa di Gunung Merapi.
               Untuk menghormati ikatan antara Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram penerus Panembahan Senopati, maka setiap tahun diadakan labuhan di Pantai PArangtritis. Kalau kewajiban itu diabasikan, terdapat kepercayaan bahwa Kanjeng Ratu Kidul akan murka dengan mengirim tentara jin untuk menyebarkan penyakit dan berbagai musibah yang akan menimbulkan malapetaka bagi rakyat dan kerajaan. Tetapi bila labuhan tetap dilaksanakan, maka Kanjeng Ratu kidul akan memberikan perlindungan dan bantuan ke Mataram.
               Labuhan ini sudah menjai upacara adat Keraton Mataram sejak abad ke VXII. Setelah perjanjian Gianti tahun 1755 yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunana Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, maka tradisi labuhan ini dilakuka oleh dua kerajaan Jawa tersebut.
Labuhan pertama kali di Kesultanan Yogyakarta diadakan sehari setel;ah penobatan pangeran Mangkubumi sebagai Sultan HB I tahun 1755. Tradisi ini berlangsung ssampai Sultan HB ke VII.
Pada masa pemerinthan Sulatan HB ke IX, labuhan diadakan setelah ulamg tahun Sulatan, Kini, di masa Sultan HB ke X, labuhan dilaksanakan sehari dulu lagi, yaitu sehari sesudah penobatannya menjadi raja. Labuhan diadakan setiap tahun pada tanggal 30 bulan Rejeb karena Rejeb tahun Wawu atau 7 Maret 1989.
             
                Seribanya barang-barang labuhan atau sesaji di Parangkusumo, rombongan abdi dalem memasuki kompleks berpagar yang di dalamnya terletak Sela Gilang. Di atas batu inilah dulu Panembahan Senopati dan Kanjeng RAtu Kidul mengadakan pertemuan. Tempat itu diyakini sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Kanjeng Ratu Kidul. Juru kunci yang memimpin pelaksanaan upacara membakar kemenyan, kemudian menanam kuku, rambut, dan pakain bekas sultran HB ke X di pojok kompleks.
                Juru kunci membakar kemenyan lagi dan mengassapi ketiga ancak yang berisi barang labuhan lalu berangkat ke pantai untuk melabuhnya. Sekitar 10 langkah dari garis pantai, juru kunci duduk bersila menghadap ke laut melakukan sembah ke Kanjeng Ratu kidul sambil mengucapkan doa permohonan, “Hamba mohon permisi, Gusti Kanjeng Ratu Kidful. Hamba memberikan lelabuhan cucu Paduka ingkang Sinuwun Kanjeng sultan yang ke X di Ngayogyakarta Hadiningrat Cucu paduka mohon pangestu, mohon keselamatan, mohon panjang usia, kemuliaan kerajaan, keselamatan Negara di Ngayogyakarta Hadiningrat.”
               Ketigaa ancak segera dibawa ke tengah laut unutk dilabuh. Ancak paling depaan unutk dipersembahkan kepada Kanjeng Ratu Kidul, raja dari mahluk halus di Laut Selatan. Ancak kedua dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menjabat sebagai patih Kanjeng Ratu Kidul, dan ancak ketiga dipersembahkan kepada mbok Roro RAtu Kidul, pembantu kedua.
Masyarakat yangmenghadiri acara lelabuhan biasanya beramai-ramai memperebutkan sebagian dari benda labuhan ynag dihanyutkan ombak ke pantai. Menurut kepercayaan, barang-barang yang masih baru akan hanyut ke dalam laut karena dipakai oleh Knajeng Ratu Kidul, sedangkan barang-barang sepert bekas sultan dan bunga sesaji akan kembali kepantai.
                Menurut kepercayaan, barang-barang yang kembali terdampar di pantai tersebut mempunyai kekuatan ghaib karena dikirim kembali oleh Kanjeng Ratu Kidul untuk mengatasi segala gangguan dan penyakit.Beberapa orang yang menjadikannya sebagai jimat. Jimat adalah suatu benda yang difungsikan sebagai pusaka dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk membantu pemiliknya menangkal gangguan alam. Yang mendapatkan benda-benda labuhan berharap akan memperoleh kesejahteraan dan kebergantungan hidup.

Bekakak

                Bekakak disebut juga saparan bekakak. Bekakak berarti korban penyembelihan manusia atau hewan. Hanya saja, bakakak yang sisembelih dalam upacara ini hnya tepung ketan yang dibentuk seperti pengantin laki-laki dan perempuan sedang duduk.
Sebelum diarak unutk disembelih, pada malam sebelumnya diadakan upacara midodareni layaknya pengantin sejati. Menurut kepercayaan masyarakat pada malam menjelang perkawinan, para bidadari turun ke bumi untuk memberi . Orang-orang begadang semalam suntuk unutk meyambut kedatangan para bidadaritersebut. Pada siang hari, :pengantin” diarak dari Balai Desa Ambarketawang, Sleman,  Yogyakarta, ke Gunugn Gamping. Ini adalah tempat Kyai Wirasuta abdi dalem Sri Sultan HB I, muksa, hilangtanpabekas. Kyai Wirasuta adlah abdi dalem Penongsong, abdi dalem pwmbawa paying ketika Sri                                    Sultan HB I bepergian. Ketika Sultan pindah dari Ambarketawang ke keraton yang barui, abdi dale mini   tidak ikut pindah dan tetap tinggal di Gamping. Ia menjadi cikal-bakal penduduk di sana. Ia tinggal dalam    Gua di bawah Gunung Gamping tersebut.
Suatu hari, jumat Kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan Sapar, menjelang purnama terjadi musibah yang menimpa kyai Wirasuta sekeluarga, gunung Gamping yang didiami rutuh, kyai Wirasuta sekeluarga beserta hewan kesayangannya berupa landak ,gemak, dan merpati terkubur di reruntuhan.
               Sri Sultan HB I segera memerintahkan untuk mencari jenazah mereka, tetapi tidak diemukan. Maka Sulatan memerintahkan para abdi dalem keraton supaya setahun sekali setiap bualn Spar antara tanggal 10-20 unutk membuat selametandan ziarah ke Gunung Gamping dengan tujan unutk menegnang jasa dan kesetiaan Ki Wirasuta sebagai abdi dalem yang loyal sampai akhir hayat.
Penyembelihan bekakak dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan untuk para arwah atau danyang penunggu Gunung Gampaing.Tujuannya adalah agara mereka tidak mengambil korban manusia, sekaligus berkenan memberikan keselamatan kepada masyarakat yang menambang batu gamping di sana.



ReboWekasan

                  Rebo Wekasan merupakan suatu upacara tradisional yang terdapat di Desa Wonokromo, Pleret, Bantul. Letaknya sekitar 10 km dari kota Yogyakarta. Rebo wekasan berasakl dari kata rebo dan wekasan yang berarti hari rabu terakhir bulan sapar. Pada tahun 1600, Keraton Mataram yang berkedudukan di Pleret sedang dilanda penyakit atau pageblug. Sultan Agung sebagai raja Mataram sangat prihatin. Ia pergi bersemadi di Masjid Soko Tunggal di Desa Kerton. Dalam semadinya ia mendapat petunjuk dari Tuhan untuk membuat penolak bala guna mengusir wabahtersebut.
             Dipanggillah Kyai Sidik dari Wonokromo untuk membuat penolak bala. Jimat adalah penolak bala itu. Jimat tersebut berupa aksara arab bertuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim sebanyak 124 baris dan dibungkus dengan kain mori putih. Oleh Sultan Agung, jimat tersebut direndam dalam bokor kencana dan diminumkan kepada orang yang sakit, dan ternyata mereka sembuh.
Semakin banyaknya orang yang dating meminta air tersebut. Lantaran tidak mencukupi untuk semua orang, maka Sultan Agung memerintah Kyai Sidik unutk membuang jimat tersebut di tempuran Sungai Opak dan Sungai Gajahwong. Berduyun-duyunlah orasng berkunjung ke tempuran tersebut untuk membasuh muka, mandi, dan berendam agar mendpat keberuntungan.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I, kyai Muhammad Fakih dititahkan untuk membuat Masjid Pathok negoro di Desa Wonokromo dengan nama Masjid at-Taqwa. Awlanya Masjid tersebut terbuat dari anyaman bambu dengan atap dari anyaman daun alang-alang yang disebut welit.Karena keahliannya membuat welit maka masyarakat sekitar memanggilnya Kyai Welit. Dia juga meneruskan tradisi rebo wekasan pada Rabu terkhir bulan Sapar tahun 1754 M. Dia membuat kue Lemper yang dibagikan ke masyarakatdisekitar.
              Menurutnya, kue lemper mengandung nilai filosofis. Kulit lemper dari daun pisang mengibaratkan segala hal yang dapat mengotori akidah, sehingga dibuang. Ketan ibarat kenikmatan duniawi. Isi lemper yang berupa daging cincang ibarat kernikmatan akhirat. Jadi makan lemper bermakna bahwa orang yang ingin mendpat kebahagiaan dunia dan akhirat harus bisa menghilangkan kotoran jiwa sehingga jadi bersih seperti lemper yang sudah dikupas. Peristiwa tersebut dianggap sebgai hari bersejarah bagi masyarakat Wonokromo sehingga diperingati setiap tahun. Upacara rebo wekasan dianggap sebagai pengingat bahwa telah terjadi musibah yang menelan banyak korban jiwa. Tradisi mengarak lemper terus diturskan sampai sekarang dalam bentuk lemper raksasa sepanjang dua setengah meter dengan diameter setengah meter.


Siraman kanjeng kiyai Jimat

             Upacara dimaksudkan sebagai bentuk pemuliaan terhadap benda-benda pusaka kerajaan yang mengandung nilai sejarah atau mempunyai nilai spiritual karena bertuah dan dikeramatkan. Dengan menyajikan persembahkan makanan (caos dahar)berupa sesajen buat kereta pusaka Kanjengkyai Jimat diharapkan roh penunggu kereta memberikan keselamatan bagi keluraga dan para kawula kerajan.
Acara ini dislenggarakan di museum kereta Pagedongan Rotowijayan, keraton Yogyakarta. Biasanya, acara tersebut digelar hari Slesa kliwon atau Jumat Kliwon bulan Sur. Setelah diberi sesaji, kain penutup kereta dibuka untuk mendorong dari tempatnya ke luar depan pintu Pagedongan. Bagian pertama yang dibersihakan adalah bagian depan kereta berupa patung putrid duyung. Dilanjutkan bagian atap, terus kebelakang. Terkhir adalah bagian roda kereta. Asap dupa terus mengepul tiada henti menciptakan suasan magis.


Nguras Enceh

              Enceh atau kong adalah wadah air yang terbuat dari tanah liat. Ada empat buah enceh di halaman Supit Urang Isatana Saptarengga, makam Sultan Agung. Dua buah enceh yang ada di sebelah timur menjadi wewenang kasunanan Surakarta dan dua buah yang ada di sebelah barat menjadi wewenang kesultanan Yogyakarta. Nama-nama enceh mulai dari timur ke bara adalah Nyai Siyem berasal dari negeri Siam atau muangthai, Kayai mendung berasal dari negeri ngerum, Kyai Danumaya berasal dari Palembang, dan Nyai Danumurti berasal dari Aceh. Menurut abdi dalem Puralaya yang menjaga makam, enceh ini digunakan sebagai tempat wudu Sultan Agung ketika hendak menuniakan sholat. 
              Pada bulan Sura, hari Jumat Kliwon, banyak masyarakat yang mengikuti upacara pembersihan enceh.Mereka berebut mendpatkan air bekas cucian encehy. Ada juga yang caos dhahar dengann membawa kembang setaman dan membakar kemenyan. Mereka meminta agar dikabulkan segala cita-citanya. Ada juga oaring-orang tua yang membasuh mukanya dengan air enceh yang dipercaya membuat awet mudah dan menyembuhkan berbagai penyakit. Sebelum enceh dibersihkan, terlebih dahulu dilakukan sugengan dengan tahlilan yang dilaksanakan oleh abdi dalem juru kunci keraton Yogyakarta. Setelah dikuras, enceh diisi dengan air sampai penuh. Kemundian air kurasan tadi dibagiakn bagi yang membutuhkan, ada juga yang langsung diminum di tempat.
Referensi :
1.      Wikipedia bahasa Indonesia
2.      Wiyatirestu.blogspot.com
3.      Wonosari.com
4.      AnneAhira.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar