Adat
Jawa
Upacara Adat Jawa - Sejarah
Ruwatan
Ruwatan
merupakan upacara adat Jawa yang
masih dilakukan sampai sekarang. Kegiatan ini merupakan salah satu ritual yang
dilakukan agar seseorang terbebas dari kesialan dan nasib buruk. Setelah
melakukan ritual ini, mereka percaya bahwa hidupnya akan lebih baik, sejahtera,
dan beruntung. Salah satu faktor kesialan itu adalah sakit-sakitan.
Ruwatan tidak lepas dari mitos masyarakat Jawa.
Upacara adat Jawa ini sering dihubungkan dengan Bathara Kala. Bathara Kala
adalah putra Bathara Guru yang suka mengganggu manusia. Bahkan mitosnya, dewa
berbentuk raksasa ini suka “memangsa” manusia-manusia tertentu. Orang yang
“dimangsa” oleh Bathara Kala akan mengalami sukerta atau nasib sial sepanjang
hidupnya.
Memang
dalam mitosnya, Bathara Kala menggemari anak-anak dengan jumlah tertentu dalam
sebuah keluarga. Misalnya kedhono-kedhini, dua anak pertama laki-laki lalu dua
anak selanjutnya perempuan atau pandawa, lima anak laki-laki semua. Berikut
anak-anak lain yang menjadi kegemaran Bathara Kala menurut mitologi Jawa:
• Ontang-anting:
Anak tunggal berjenis laki-laki
• Unting-unting: Anak tunggal berjenis perempuan
• Gedhana-gedhini: Satu anak laki-laki dan memiliki adik satu
anak perempuan
• Uger-uger Lawang: Dua anak laki-laki
• Kembar Sepasang: Dua anak perempuan
• Pendhawa Pancala Putri: Lima anak perempuan
• Kembar: Dua anak laki-laki atau perempuan
• Gotong Mayit: Tiga anak perempuan semua
• Cukil Dulit: Tiga anak laki-laki semua
• Serimpi: Empat anak perempuan semua
• Sarambah: Empat anak laki-laki semua
• Sendang Kaapit Pancuran: Anak tiga, dua laki-laki, yang
tengah perempuan
• Pancuran Kaapit Sendang: Anak tiga, dua perempuan, yang
tengah laki-laki
• Sumala: Anak cacat sejak lahir
• Wungle: Anak lahir dalam keadaan bule
• Margana: Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan
• Wahana: Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta
• Wuyungan: Anak lahir dalam suasana perang atau sedang
dilanda bencana
• Julung Sungsang: Anak lahir waktu tengah hari
• Julung Sarab: Anak lahir waktu matahari terbenam
• Julung Caplok: Anak lahir waktu senja hari
• Julung Kembang: Anak dilahirkan saat fajar
Salah
satu jenis dalam upacara adat Jawa ini adalah Ruwatan
Murwakala. Upacara ini dilakukan dengan melakukan pagelaran wayang yang
memiliki lakon Murwakala. Ceritanya sederhana, orang-orang yang akan diruwat
ini hadir dalam upacara. Mereka nanti dalam ceritanya akan diruwat oleh
seseorang bernama Kandhabuwana.
Ruwatan ini dilakukan dengan “mengundang”
Bathara Kala dalam pagelaran wayang. Orang yang telah melakukan prosesi ini
dianggap sudah diruwat dan nanti terbebas dari kesialan. Sebelum melakukan
ruwatan memang ada beberapa syarat yang harus dilakukan. Syarat ini harus
dipenuhi sebelum pagelaran wayang dilakukan. Berikut beberapa hal yang harus
dipenuhi dalam Ruwatan Murwakala dalam upacara adat Jawa:
· Para sukerto, orang yang
akan diruwat harus memakai pakaian serba putih bersih. Warna putih melambangkan
kesucian dan kebersihan diri.
· Orang tua dari para
sukerto harus memakai pakaian adat Jawa.
· Seorang dalang yang
sudah dianggap mampu melakukan ruwatan harus sudah siap dengan peralatan untuk
mementaskan lakon Murwakala. Peralatan ini meliputi panggung, seperangkat
wayang yang dibutuhkan, gamelan, penabuh, sinden, dan segala
perlengkapannya.
· Tempat untuk melakukan
ruwatan setidaknya cukup luas, dengan menyediakan bagian untuk tempat duduk
bagi sukerto dan orang tua. Juga disiapkan tempat untuk memandikan para
sukerto.
· Beberapa macam sesaji
yang disiapkan oleh sebelumnya.
Upacara Adat Jawa - Pelaksanaan Ruwatan
Para
sukerto diantarkan orang tua dan diserahkan kepada Dalang. Para sukerto ini
nantinya akan duduk di belakang kelir wayang dan harus memerhatikan
berlangsungnya pementasan, termasuk harus memperhatikan segala doa yang
diucapkan Ki Dalang. Dalang lalu mengambil tempat untuk memulai pagelaran
wayang dengan lakon Murwakala.
Murwakala sendiri dimulai dengan keresahan para
dewa di Jonggring Saloka. Mereka resah karena Bathara Kala memangsa para
manusia di muka bumi. Bathara Guru, sebagai ayah dari Bathara Kala, sangat
risau akan hal ini. Dia dibantu dengan Bathara Narada untuk menemukan
penyelesaian masalah ini. Akhirnya Bathara Kala disuruh menghadap.
Setelah terjadi silang pendapat, maka Bathara
Kala mengakui kemampuan Bathara Guru. Namun, dia tetap lapar. Bathara Guru
membolehkan memangsa para sukerto, namun ada syaratnya. Bathara Kala tidak
boleh memangsa orang yang di dadanya terdapat tulisan mantra Kalacakra dan di
kepalanya terdapat tulisan mantra Sastra Balik.
Bathara Kala yang masih kebingungan
dengan makna sukerto akhirnya menerima penjelasan dari ibunya, Bathari Uma atau
disebut juga dengan Bathari Durga. Durga akhirnya menjelaskan apa sukerto itu.
Sukerto merupakan anak yang dilihat berdasarkan waktu kelahiran, bisa dilihat
dari kategori yang dijelaskan sebelumnya. Bisa juga sukerto yang muncul karena
dia melakukan kesalahan yang melanggar tabu, misalnya seorang wanita yang
melangkahi gendhing. Kategori yang terakhir adalah sukerto yang muncul karena
dalam hidupnya banyak ditimpa kesialan dan bahaya.
Cerita
dalam upacara adat Jawa ini loncat di pedesaan muka bumi. Warga desa yang resah
dengan ulah Bathara Kala sepakat untuk menggunakan jasa Ki Dalang Kandhabuwana.
Kandhabuwana sendiri adalah penjelmaan Bathara Guru yang ingin melindungi
manusia dari ulah Bathara Kala. Dia menjelma beserta Bathara Narada dan Bethari
Durga dalam tim pewayangan. Mereka ini melakukan konsultasi sebelumnya dengan
Semar, kakak Bathara Guru yang menjelma sebagai pamong di bumi.
Ceritanya
berlanjut dengan perundingan warga desa dengan Kandhabuwana. Para sukerto harus
bersedia menjadi anak Kandhabuwana agar terhindar dari ulah Bathara Kala. Setelah
itu, Ki Dalang akan melakukan doa. Doa ini nanti harus diamini oleh orang tua
dan sukerto serta penonton pagelaran wayang.
Salah satu mantra yang diucapkan
adalah mengucapkan aksara hanacaraka dengan terbalik. Ada juga mantra Rajah
Kalacakra, bunyinya sebagai berikut: Yamaraja-Jaramaya; Yamarani-Niramaya;
Yasilapa-Palasiya; Yamidosa-Sadomiya; Yadayuda-Dayudaya; Yasiyaca- Cayasiya;
Yasihama- Mahasiya.
Mantra
ini berarti: “Siapapun yang menimbulkan keributan, hilang kekuatannya. Siapa
yang datang untuk membuat celaka, hilang dayanya. Siapa yang membuat kelaparan,
mulai sekarang harus memberi banyak makanan. Siapa yang membikin kemelaratan ,
harus membangun kemakmuran. Siapa yang berbuat dosa , wajib menghentikan nafsu
jahatnya. Siapa yang mengobarkan perang, pasti sirna kekuatannya. Siapa yang
berkhianat dan kejam, harus berbuat welas asih. Siapa yang suka merongrong,
menjadi parasit, harus merobah sikap dengan menghormat dan kasih kepada
sesama.”
Selain
itu, Kandhabuwana juga menganjurkan untuk mebuat sesaji. Sesaji ini dibuat
sebagai wujud terima kasih kepada Gusti Sang Maha Pencipta. Bathara Kala
akhirnya tetap datang menyerang. Namun, Kandhabuwana mampu menaklukannya. Kala
yang telah dikalahkan diberi tahu oleh Kandhabuwana bahwa dia tidak boleh
memangsa sukerto yang ada di hadapannya sekarang ini. Ki Dalang mengucapkan
nama asli sukerto dan penyebabnya. Bathara Kala menyanggupi hal itu dan dia
diberi hukuman.
Upacara
adat Jawa ini berlanjut dengan Ki Dalang akan menyukur rambut sukerto dan
memandikannya. Kemudian, wayang yang memerankan sukerto juga dicelupkan kepada
air. Dalang lalu mengatakan bahwa sukerto telah hilang seiring dengan air yang
digunakan untuk memandikan. Semua anak buah Bathara Kala juga telah dikalahkan
oleh Bima.
Upacara
adat Jawa ini diakhiri dengan Kandhabuwana kembali wujud menjadi
Bathara Guru. Setelah memberi wejangan dan pamit kepada warga desa dan Kyai
Semar, dia kembali ke khayangan beserta Bathara Narada dan Bathari Durga.
Upacara adat Jawa ini selesai dan yang diruwat sudah tidak menjadi sukerto
lagi.
Siraman adalah upacara adat ritual warisan
nenek moyang kita yang mengandung banyak falsafah di dalamnya. Dalam tiap
langkah pada prosesi siraman dimaknakan agar para calon pengantin membersihkan
diri dan hati sehingga semakin mantap untuk melangsung pernikahan esok harinya.
Pada upacara yang lebih bersifat intern ini seluruh keluarga besar berkumpul,
berbagi suka, memberikan doa restu dan dukungan moral pada sang calon pengantin
untuk memasuki fase baru dalam kehidupannya.
Perlengkapan acara Siraman terdiri dari: Gayung
Siraman, untaian padi kuning keemasan yang menyertai gayung tersebut
melambangkan merunduk dan mengayomi keluarga. Bubur Sengkolo memiliki
arti sebagai penolak bencana sehingga semua dapat berjalan lancar; Selain itu
terdapat rebusan umbi umbian yang tumbuh dalam tanah (lebih dikenal dengan nama polo
pendem) dimaknakan agar rumah tangga yang nanti akan dibina oleh sang
pengantin akan mempunyai pondasi yang kuat.
Terdapat pula rangkaian buah kulit; Kendi air
siraman tempat air kucuran wudhu; Tumpeng Robyong yang
bermakna harapan akan keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan; Tumpeng untuk
acara suapan terakhir; serta tidak ketinggalan Kreweng, yaitu
uang dari tanah liat yang akan digunakan untuk membeli cendol dalam acara
"dodol dawet".
Yang
perlu dipersiapkan juga yaitu mangkuk air bunga dan gunting untuk upacara
potong rambut setelah siraman, serta sekop mini penggali lubang untuk upacara tanam rikmo (tanam rambut). Apabila si empunya
hajat menyediakan tanda mata (souveneer) bagi para sesepuh yang nanti akan
menyirami atau untuk para undangan acara siraman, sebaiknya juga telah
dipersiapkan.
Air Siraman dan Pemasangan Bleketepe
Kegiatan diawali dengan menyiapkan air siraman yang berasal dari
7 sumber ke dalam gentong. Sumber air siraman biasanya diambil dari rumah
besan, rumah pini sepuh, dan rumah adat yang kemudian diaduk dengan campuran
bunga.
Sambil menunggu calon mempelai puteri bersiap-siap untuk
siraman, sang Ayah melakukan pemasangan bleketepe (anyaman daun kelapa) sebagai tarub pada
gerbang rumah. Pemasangan tarub dimaknakan sebagai tanda resmi bahwa akan ada
hajat mantu di rumah yang bersangkutan.
Tata cara memasang tarub adalah sang Ayah menaiki tangga,
sementara Ibu memegangi tangga sambil membantu memberikan bleketepe. Tatacara
ini menjadi perlambang gotong royong kedua orang tua yang menjadi pengayom
keluarga.
Sejarah mengenai kegiatan pemasangan tarub ini dimulai pada saat
Ki Ageng Tarub, salah satu leluhur raja-raja Mataram mempunyai hajat menikahkan
anaknya Dewi Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng membuat peneduh
dari anyaman daun kelapa. Hal itu dilakukan karena rumah Ki Ageng yang kecil
tidak dapat memuat semua tamu, sehingga tamu yang diluar rumah diteduhi dengan
payon daun kelapa itu. Dengan diberi ’payon’ itu ruang yang dipergunakan untuk
para tamu Agung menjadi luas dan menampung seluruh tamu. Kemudian payon dari
daun kelapa itu disebut ’tarub’, berasal dari nama orang yang pertama
membuatnya.
Setelah selesai memasang tarub, kain penutup tuwuhan di
kedua sisi gerbang masuk di buka. Tuwuhan mengandung arti suatu harapan kepada
anak yang dijodohkan agar dapat memperoleh keturunan, untuk melangsungkan
sejarah keluarga.
Tuwuhan terdiri dari
:
Pohon pisang raja yang buahnya sudah
masak. Maksud dipilih pisang yang sudah masak adalah, diharapkan pasangan yang
akan menikah telah memiliki pemikiran dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang
raja mempunyai makna pengharapan agar pasangan yang akan dinikahkan kelak
mempunyai kemakmuran, kemuliaan dan kehormatan seperti raja.
Tebu wulung berwarna merah. Dimaknakan
sebagai sumber rasa manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba enak.
Sedangkan makna wulung bagi orang Jawa berarti sepuh atau tua. Setelah memasuki
jenjang perkawinan, diharapkan kedua mempelai mempunyai jiwa sepuh yang selalu
bertindak dengan ’kewicaksanaan’ atau kebijakan.
Cengkir Gadhing merupakan simbol dari
kandungan tempat jabang bayi atau lambang keturunan. Daun randu dan Pari Sewuli
Randu melambangkan sandang, sedangkan pari melambangkan pangan. Sehingga hal
itu bermakna agar kedua mempelai selalu tercukupi sandang dan pangannya. Godhong
apa-apa (bermacam-macam dedaunan) Seperti daun beringin yang melambangkan
pengayoman, rumput alang-alang dengan harapan terbebas dari segala halangan
Jalannya Acara Siraman
Acara siraman diawali dengan sungkem calon pengantin kepada
orang tua untuk mohon doa restu. Setelah itu calon pengantin dibimbing ke
tempat siraman yang sudah disiapkan. Siraman dimulai
dari kedua orang tua pengantin diikuti oleh pini sepuh yang telah dipilih. Air
wudhu lalu dikucurkan oleh sang ayah dari kendi siraman. Kemudian kendi
dipecahkan oleh kedua orang tua sebagai tanda pecahlah pamor sang anak sebagai
wanita dewasa dan memancarlah sinar pesonanya.
Acara potong rambut, diikuti dengan
menggendong ananda ke dalam rumah melambangkan kasih sayang orang tua yang
senantiasa mengiringi anaknya sampai detik terakhir menjelang tahap baru
kehidupan sang anak.
Dodol Dawet
Sementara menunggu calon pengantin wanita berganti busana,
seluruh keluarga berkumpul menyiapkan tumpeng untuk acara suap-suapan di akhir
acara. Adik-adik tercinta lalu membagikan uang kreweng untuk
digunakan pada acara jual cendol (dodol dawet).
Makna dodol dawet diambil dari cendol yang berbentuk bundar,
diartikan sebagai lambang kebulatan kehendak orang tua untuk menjodohkan
anaknya. Bagi orang yang akan membeli dawet tersebut harus membayar dengankreweng (pecahan genting) bukan dengan uang. Hal
itu menunjukkan bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi.
Yang melayani pembeli adalah ibu sedangkan yang menerima
pembayaran adalah ayah. Hal ini mengajarkan kepada anak mereka yang akan
menikah tentang bagaimana mencari nafkah, bahwa sebagai suami istri harus
saling membantu. Dibalik itu ada juga makna jenaka dari acara ini, yaitu
simbolisasi kalau esok hari pada saat akad nikah dan resepsi, tamu-tamu yang
datang akan sebanyak dan seramai jualan cendol/dawet tersebut!
Tanam Rambut dan Pelepasan Ayam
Selanjutnya upacara dilanjutkan dengan tanam rikmo/rambut oleh
orang tua. Yang ditanam adalah potongan rambut kedua calon mempelai, dilakukan
setelah wakil keluarga calon pengantin wanita kembali dari kediaman calon
pengantin pria dengan membawa potongan rambut.
Pelepasan Ayam Jantan hitam merupakan prosesi
selanjutnya yang berarti bahwa orang tua sudah dengan sepenuh hati ikhlas
melepas putrinya untuk hidup mandiri. Bagaikan Ayam yang begitu dilepas sudah
dapat mencari/mengais makanan sendiri, diharapkan untuk ke depannya sang anak
dapat hidup mandiri, memperoleh rejeki yang luas dan barokah.
Suapan
Di penghujung acara, calon pengantin wanita yang telah berganti
busana menerima uang kreweng hasil penjualan dodol dari Ibunda. Melambangkan
pengajaran sang Ibu tentang bagaimana hidup mandiri dan mengatur nafkah pada
kehidupan perkawinan. Suapan terakhir dan cium sayang dari kedua orang tua
mengakhiri rangkaian acara siraman adat Jawa ini.
UPACARA TRADISIONAL
Sekaten
Setelah Raden Patah dilantik
menjadi sultan pertama Kerajaan Demak, atas anjuran Wali Sanga didirikanlah
Masjid Besar Demak yang selesai dibangun pada tahun 1408. Saat itu, penyebaran
agama islam tidak banyak mengalami kemajuan. Kemudian muncul gagasan dari Sunan
Kalijaga untuk menyelenggarakan keramaian menjelang hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Pada bulan RAbiulawal . Maka, dibunyikanlah gamelan di halaman
masjid agara rakyat mau masuk ke kompleks Masjid Besar. Sejak semiggu sebelum
peringatan Maulid,diselenggarakan keramaian. Secara terus menerus gamelan
ditabuh disertai dengan dakwah agama. Beberapa lagu gamelan digubah oleh Sunan
Giri dan Sunan Kalijaga.
Mendengar bunyi gamelan yang
merdu, rakyat bebondong-bondong menyaksikan dari dekat, kemudian menuju
pelataran masjid.Para wali memanfaatkan keamaian tersebut sebagai ajang
berdakwah tentang keluhuran agama ialam. Banyak yang tertarik dan kemudian
masuk islam. Mereka yang masuk islam diwajibkan mengucapkan dua kaliamt
syahadat, istilah Arabnya Syahadatain. Lidah orang jawa mengucapkannya sebagai
sekaten. Orang yang telah menyempurnakan syahadat berarti sudah resmi masuk
islam dan untuk menyempurnakan keislamnnya lalu disunat.
Pada malam 12 Rabiulawal,
Sultan keluar dari keraton menuju masjid untuk mendengarkan riwayat hidup Nabi.
Pada tengah malam, Sultan kembali ke keraton beserta gamelan sekaten pertanda
berakhirnya perayaansekaten. Pada pemerintahan Sultan Agung, tradisi garebeg
mulud disertai pisowanan garebeg di Sithingil. Acra tersebut diakhiri dengan
wilujengan negarti berupa sesajian gunungan untuk kenduri di Masjid
Agung.Sedekah dari raja untuk rakyat berupa gunungan inilah yang kemudian
menjadi rebutan masyarakat karena diprcaya dapat digunakan sebagai tolak bala
agar hasil pertanian tidak diserang hama penyakit. Selain garebeg mulud
diadakan pula garebeg syawal unutk merayakan Idul adha.
Tradisi perayaan sekaten ini ditetapkan menjadi tradisi resmi sejak kerajaan
pindah dari Demak ke Pajang, dari Pajang pindah ke Mataram, lalu ke Surakarta
dan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I, ditabuhlah dua gamelan
sekaten, yaitu Kyai Gunturmadu (yang bermaknaanugerah yang turun) di tempatkan
di bangsal Pagongan Selatan dan Kyai Nogowilogo (yang bermakna Lestari dan
menang perang) ditempatkan di bangsal Pagongan Utara.
Labuhan
Dalam kepercayaan jawa,
setiap tempat mempunyai penguasa gaib berupa mahluk halus penunggu. Gunung
Merapi yang terletak di Utara Kota Yogyakarta diyakini ditunggu oleh mahluk
halus bernama Eyang Sapujagad. Adapun Samudera Indonesia, biasa disebut laut
selatan, yang terletak di selatan kota Yogyakarta ditunggu oleh wanita cantik
jelita bernama Kanjeng Ratu Kidul.
Panembahan Senopati sebagai raja Mataram berupaya menjaga keharmonisan,
keselarasan, dan keseimbangan dalam masyarakat. Karena itu, ia menalin
komunikasi dengan kedua mahluk halus tesebut. Salah satu bentuk komunikasinya
adalah dengan besemadi di tempat-tempat tersebut. Ketika Panembahan Senopati
merasa sudah saatnyan mengambil alih kekuasaan Kerajaan Pajang, ia bertapa di
Laut Selatan. Sementara itu, pamannya, yaitu Ki juru mertani , bertapa di
Gunung Merapi.
Untuk menghormati ikatan
antara Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram penerus Panembahan Senopati, maka
setiap tahun diadakan labuhan di Pantai PArangtritis. Kalau kewajiban itu
diabasikan, terdapat kepercayaan bahwa Kanjeng Ratu Kidul akan murka dengan
mengirim tentara jin untuk menyebarkan penyakit dan berbagai musibah yang akan
menimbulkan malapetaka bagi rakyat dan kerajaan. Tetapi bila labuhan tetap
dilaksanakan, maka Kanjeng Ratu kidul akan memberikan perlindungan dan bantuan
ke Mataram.
Labuhan ini sudah menjai
upacara adat Keraton Mataram sejak abad ke VXII. Setelah perjanjian Gianti
tahun 1755 yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunana Surakarta
dan Kesultanan Yogyakarta, maka tradisi labuhan ini dilakuka oleh dua kerajaan
Jawa tersebut.
Labuhan pertama kali di Kesultanan Yogyakarta diadakan sehari setel;ah
penobatan pangeran Mangkubumi sebagai Sultan HB I tahun 1755. Tradisi ini
berlangsung ssampai Sultan HB ke VII.
Pada masa pemerinthan Sulatan HB ke IX, labuhan diadakan setelah ulamg tahun
Sulatan, Kini, di masa Sultan HB ke X, labuhan dilaksanakan sehari dulu lagi,
yaitu sehari sesudah penobatannya menjadi raja. Labuhan diadakan setiap tahun
pada tanggal 30 bulan Rejeb karena Rejeb tahun Wawu atau 7 Maret 1989.
Seribanya barang-barang labuhan
atau sesaji di Parangkusumo, rombongan abdi dalem memasuki kompleks berpagar
yang di dalamnya terletak Sela Gilang. Di atas batu inilah dulu Panembahan
Senopati dan Kanjeng RAtu Kidul mengadakan pertemuan. Tempat itu diyakini
sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Kanjeng Ratu Kidul. Juru kunci yang
memimpin pelaksanaan upacara membakar kemenyan, kemudian menanam kuku, rambut,
dan pakain bekas sultran HB ke X di pojok kompleks.
Juru kunci membakar
kemenyan lagi dan mengassapi ketiga ancak yang berisi barang labuhan lalu
berangkat ke pantai untuk melabuhnya. Sekitar 10 langkah dari garis pantai,
juru kunci duduk bersila menghadap ke laut melakukan sembah ke Kanjeng Ratu
kidul sambil mengucapkan doa permohonan, “Hamba mohon permisi, Gusti Kanjeng
Ratu Kidful. Hamba memberikan lelabuhan cucu Paduka ingkang Sinuwun Kanjeng
sultan yang ke X di Ngayogyakarta Hadiningrat Cucu paduka mohon pangestu, mohon
keselamatan, mohon panjang usia, kemuliaan kerajaan, keselamatan Negara di
Ngayogyakarta Hadiningrat.”
Ketigaa ancak segera
dibawa ke tengah laut unutk dilabuh. Ancak paling depaan unutk dipersembahkan
kepada Kanjeng Ratu Kidul, raja dari mahluk halus di Laut Selatan. Ancak kedua
dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menjabat sebagai patih Kanjeng Ratu
Kidul, dan ancak ketiga dipersembahkan kepada mbok Roro RAtu Kidul, pembantu
kedua.
Masyarakat yangmenghadiri acara lelabuhan biasanya beramai-ramai memperebutkan
sebagian dari benda labuhan ynag dihanyutkan ombak ke pantai. Menurut
kepercayaan, barang-barang yang masih baru akan hanyut ke dalam laut karena
dipakai oleh Knajeng Ratu Kidul, sedangkan barang-barang sepert bekas sultan
dan bunga sesaji akan kembali kepantai.
Menurut kepercayaan,
barang-barang yang kembali terdampar di pantai tersebut mempunyai kekuatan
ghaib karena dikirim kembali oleh Kanjeng Ratu Kidul untuk mengatasi segala
gangguan dan penyakit.Beberapa orang yang menjadikannya sebagai jimat. Jimat
adalah suatu benda yang difungsikan sebagai pusaka dan dipercaya mempunyai
kekuatan magis untuk membantu pemiliknya menangkal gangguan alam. Yang
mendapatkan benda-benda labuhan berharap akan memperoleh kesejahteraan dan kebergantungan hidup.
Bekakak
Bekakak disebut juga
saparan bekakak. Bekakak berarti korban penyembelihan manusia atau hewan. Hanya
saja, bakakak yang sisembelih dalam upacara ini hnya tepung ketan yang dibentuk
seperti pengantin laki-laki dan perempuan sedang duduk.
Sebelum diarak unutk disembelih, pada malam sebelumnya diadakan upacara
midodareni layaknya pengantin sejati. Menurut kepercayaan masyarakat
pada malam
menjelang perkawinan, para bidadari turun ke bumi untuk memberi .
Orang-orang
begadang semalam suntuk unutk meyambut kedatangan para bidadaritersebut.
Pada
siang hari, :pengantin” diarak dari Balai Desa Ambarketawang, Sleman,
Yogyakarta, ke Gunugn Gamping. Ini adalah
tempat Kyai Wirasuta abdi dalem Sri Sultan HB I, muksa,
hilangtanpabekas. Kyai
Wirasuta adlah abdi dalem Penongsong, abdi dalem pwmbawa paying ketika
Sri Sultan HB I bepergian. Ketika
Sultan
pindah dari Ambarketawang ke keraton yang barui, abdi dale mini tidak
ikut pindah dan tetap tinggal di Gamping. Ia menjadi cikal-bakal
penduduk di
sana. Ia tinggal dalam Gua di bawah
Gunung Gamping tersebut.
Suatu hari, jumat Kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan Sapar, menjelang purnama
terjadi musibah yang menimpa kyai Wirasuta sekeluarga, gunung Gamping yang
didiami rutuh, kyai Wirasuta sekeluarga beserta hewan kesayangannya berupa
landak ,gemak, dan merpati terkubur di reruntuhan.
Sri Sultan HB I segera
memerintahkan untuk mencari jenazah mereka, tetapi tidak diemukan. Maka Sulatan
memerintahkan para abdi dalem keraton supaya setahun sekali setiap bualn Spar
antara tanggal 10-20 unutk membuat selametandan ziarah ke Gunung Gamping dengan
tujan unutk menegnang jasa dan kesetiaan Ki Wirasuta sebagai abdi dalem yang
loyal sampai akhir hayat.
Penyembelihan bekakak dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan untuk para arwah
atau danyang penunggu Gunung Gampaing.Tujuannya adalah agara mereka tidak
mengambil korban manusia, sekaligus berkenan memberikan keselamatan kepada
masyarakat yang menambang batu gamping di sana.
ReboWekasan
Rebo Wekasan merupakan
suatu upacara tradisional yang terdapat di Desa Wonokromo, Pleret, Bantul.
Letaknya sekitar 10 km dari kota Yogyakarta. Rebo wekasan berasakl dari kata
rebo dan wekasan yang berarti hari rabu terakhir bulan sapar. Pada tahun 1600,
Keraton Mataram yang berkedudukan di Pleret sedang dilanda penyakit atau
pageblug. Sultan Agung sebagai raja Mataram sangat prihatin. Ia pergi bersemadi
di Masjid Soko Tunggal di Desa Kerton. Dalam semadinya ia mendapat petunjuk
dari Tuhan untuk membuat penolak bala guna mengusir wabahtersebut.
Dipanggillah Kyai Sidik dari Wonokromo
untuk membuat penolak bala. Jimat adalah penolak bala itu. Jimat tersebut
berupa aksara arab bertuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim sebanyak 124 baris
dan dibungkus dengan kain mori putih. Oleh Sultan Agung, jimat tersebut
direndam dalam bokor kencana dan diminumkan kepada orang yang sakit, dan
ternyata mereka sembuh.
Semakin banyaknya orang yang dating meminta air tersebut. Lantaran tidak
mencukupi untuk semua orang, maka Sultan Agung memerintah Kyai Sidik unutk
membuang jimat tersebut di tempuran Sungai Opak dan Sungai Gajahwong.
Berduyun-duyunlah orasng berkunjung ke tempuran tersebut untuk membasuh muka,
mandi, dan berendam agar mendpat keberuntungan.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I, kyai Muhammad Fakih dititahkan untuk
membuat Masjid Pathok negoro di Desa Wonokromo dengan nama Masjid at-Taqwa.
Awlanya Masjid tersebut terbuat dari anyaman bambu dengan atap dari anyaman
daun alang-alang yang disebut welit.Karena keahliannya membuat welit maka
masyarakat sekitar memanggilnya Kyai Welit. Dia juga meneruskan tradisi rebo
wekasan pada Rabu terkhir bulan Sapar tahun 1754 M. Dia membuat kue Lemper yang
dibagikan ke masyarakatdisekitar.
Menurutnya, kue lemper
mengandung nilai filosofis. Kulit lemper dari daun pisang mengibaratkan segala
hal yang dapat mengotori akidah, sehingga dibuang. Ketan ibarat kenikmatan
duniawi. Isi lemper yang berupa daging cincang ibarat kernikmatan akhirat. Jadi
makan lemper bermakna bahwa orang yang ingin mendpat kebahagiaan dunia dan
akhirat harus bisa menghilangkan kotoran jiwa sehingga jadi bersih seperti
lemper yang sudah dikupas. Peristiwa tersebut dianggap sebgai hari bersejarah
bagi masyarakat Wonokromo sehingga diperingati setiap tahun. Upacara rebo
wekasan dianggap sebagai pengingat bahwa telah terjadi musibah yang menelan
banyak korban jiwa. Tradisi mengarak lemper terus diturskan sampai sekarang
dalam bentuk lemper raksasa sepanjang dua setengah meter dengan diameter
setengah meter.
Siraman
kanjeng kiyai Jimat
Upacara dimaksudkan sebagai bentuk pemuliaan terhadap
benda-benda pusaka kerajaan yang mengandung nilai sejarah atau mempunyai nilai
spiritual karena bertuah dan dikeramatkan. Dengan menyajikan persembahkan
makanan (caos dahar)berupa sesajen buat kereta pusaka Kanjengkyai Jimat
diharapkan roh penunggu kereta memberikan keselamatan bagi keluraga dan para
kawula kerajan.
Acara ini dislenggarakan di museum kereta Pagedongan Rotowijayan, keraton
Yogyakarta. Biasanya, acara tersebut digelar hari Slesa kliwon atau Jumat
Kliwon bulan Sur. Setelah diberi sesaji, kain penutup kereta dibuka untuk
mendorong dari tempatnya ke luar depan pintu Pagedongan. Bagian pertama yang
dibersihakan adalah bagian depan kereta berupa patung putrid duyung.
Dilanjutkan bagian atap, terus kebelakang. Terkhir adalah bagian roda kereta.
Asap dupa terus mengepul tiada henti menciptakan suasan magis.
Nguras Enceh
Enceh atau kong adalah wadah air yang terbuat dari tanah liat.
Ada empat buah enceh di halaman Supit Urang Isatana Saptarengga, makam Sultan
Agung. Dua buah enceh yang ada di sebelah timur menjadi wewenang kasunanan
Surakarta dan dua buah yang ada di sebelah barat menjadi wewenang kesultanan Yogyakarta.
Nama-nama enceh mulai dari timur ke bara adalah Nyai Siyem berasal dari negeri
Siam atau muangthai, Kayai mendung berasal dari negeri ngerum, Kyai Danumaya
berasal dari Palembang, dan Nyai Danumurti berasal dari Aceh. Menurut abdi
dalem Puralaya yang menjaga makam, enceh ini digunakan sebagai tempat wudu
Sultan Agung ketika hendak menuniakan sholat.
Pada bulan Sura, hari Jumat Kliwon, banyak masyarakat yang mengikuti upacara
pembersihan enceh.Mereka berebut
mendpatkan air bekas cucian encehy. Ada juga yang caos dhahar dengann membawa
kembang setaman dan membakar kemenyan. Mereka meminta agar dikabulkan segala
cita-citanya. Ada juga oaring-orang tua yang membasuh mukanya dengan air enceh
yang dipercaya membuat awet mudah dan menyembuhkan berbagai penyakit. Sebelum
enceh dibersihkan, terlebih dahulu dilakukan sugengan dengan tahlilan yang
dilaksanakan oleh abdi dalem juru kunci keraton Yogyakarta. Setelah dikuras,
enceh diisi dengan air sampai penuh. Kemundian air kurasan tadi dibagiakn bagi
yang membutuhkan, ada juga yang langsung diminum di tempat.
Referensi
:
1. Wikipedia
bahasa Indonesia
2. Wiyatirestu.blogspot.com
3. Wonosari.com
4.
AnneAhira.com