PERANG BUBAT
1. Pendahuluan
Apakah “Perang Bubat“ peristiwa sejarah? Perang itu dinyatakan terjadi tahun 1357 Masehi.
Sekuranng-kurangnya ada 3 sumber tua penting yang mencari takan adanya peristiwa tersebut. Yakni Kidung Sunda dan Pararaton yang berbahasa Jawa lama, dan cerita Parahiyangan yang berbahasa Sunda lama. Akhir-akhir ini muncul naskah pangeran Wangsakarta dari Cirbon yang berbahasa jawa lama yang juga menyambut adanya peristiwa Bubat.
Menilik sumber-sumber tua yang berasal dari tua masyarakat yang terlibat dalam perang Bubat (Sunda dan Majapahit) yang kemungkinan besar tidak saling berhubungan, maka dapat di tafsirkan bahwa perang bubat merupakan peristiwa sejarah, karena kedua masyarakat masih memiliki kenangan peristiwa tersebut, meskipun sumber-sumber tertulis itu berasal dari abad 16, sedangkan dari peristiwanya sendiri pada tahun 1357, abat 14. Jadi ada selisih sekitar dua abat antara peristiwa dan tuturan. Ingatan kolektif peristiwa tersebut masih cukup kuat dalam tradisi sastra kedua masyarakat.
Peristiwa sendiri agak aneh kalau di sebut “Perang“, meskipun melibatkan dua Negara dan dua Raja. Makna “ Perang“ sebagai “Pertempuran“ memang benar, dan itu terjadi di lapangan Bubat yang agak jauh dari Ibu Kota Majapahit, tetapi arti “Perang“, yang melibatkan dua pasukan kerajaan dengan persiapan kedua belah fihak yang seimbang tidak terjadi. Perang itu melibatkan rombongan pengantin yang tiba-tiba dipaksa untuk memilih hidup tetapi takluk atau perang yang pasti akan binasa. Yang menggetarkan para penbacanya adalah kekaguman terhada Raja Sunda dan para pengiringnya yang memilih gugur dalam membela kehormatan bangsa dan negara.
Dengan demikian yang terjadi semacam “pembantaian“ yang bahkan dalam Kidung Sunda dikisahkan “ditonton“ oleh rakyat Majapahit. Sebuah cerita sejarah yang pahit yang sampai sekarang masih terasa sebagai “luka kolektif”. Peristiwa historis ini menerbitkan kebimbangan akan kebenaran historisnya karena penuturannya yang tidak sesuai dengan data-data historis, terutama dalam Kidung Sunda. Bahkan Negarakertagama yang diakui sebagai sumber sejarah otentik dan sahih, tidak menyebutkan peristiwa itu.
Apakah peristiwa itu sebuah fakta sejarah atau sekadar fiksi tidak begitu penting. Fakta atau fiksi yang penting sudah menjadi ingatan kolektif yang membawa dampak atau akibat pada sikap masyarakat. Disini kita saksikan betapa besar pengaruh karya sastra terhadap kehidupan manusia.
Dengan mendengarkan atau membaca karya Kidung Sunda, orang-orang mengalami melalui cerita (fiksi atau fakta). Karena mengalami ia mengerti dan memahami, dan pemahaman pikiran ini dapat membentuk kepercayaan. Fiksi atau fakta sejarah penting masyarakat sudah mempercayainya dan kepercayaan itu dengan sendirinya menentukan sikap terhadap tindakan-tindakannya.
“Semua perbuatan didahului oleh pikiran, dipimpin oleh pikiran dan dihasilkan oleh pikiran” (Syair Kembar, Dharmapada). Juga Chandogya Upanishad menyatakan: “jika seseorang percaya, ia akan melihat. Orang tidak percaya tidak akan melihat. Hanya dia yang percaya akan melihat (kebenaran itu”. Bagaimanapun upaya para ahli sejarah untuk “meluruskan” Perang Bubat, karena peristiwa itu telah menjadi kepercayaan kolektif, maka sindrom ini nampaknya masih akan bertahan.
Jadi, mana yang lebih penting, kisah sejarah yang seobyektif-obtektifnya tetapi tidak menjadi sikap social, atau kisah fiksi yang sesubyektif-subyektifnya namun dipercayai sebagai dasar sikap sosialnya? Kadang fiksi murni justru amat berdampak dalam menentukan sikap hidup subyektif maupun kolektif.
2. Kidung Sunda
Pada tahun 1980 diterbitkan Kidung Sunda terjemahan Hasan Wirasutisna, dalam bahasa Indonesia, dari naskah Kidung Sunda dalam bahasa Sunda, dengan keterangan “beunang nyalin tina basa Kawi lalakon alam Majapahit”. Pada akhir buku itu disebut tahun penulisannya :
Dangdanggula
Kidung Sunda cerita dahulu
Hari Senin selesai ditulis
Pada pasaran Keliwon
Wukunya Kuruwelut
Tanggal tujuh awal bulan
Kebetulan bulan Magha
Bula kesepuluh
Dalam hitungan Saka
Tepat seribu delapan ratus
Mohon beribu maaf.
Tahun Saka 1800 sama dengan tahun 1878 Masehi. Tidak jelas apakah naskah berbahasa Sunda sekarang itu berupa bukuk cetak atau masih naskah tulis tangan berbentuk wawacan.
Pernyataan bahasa Kidung Sunda ini selain dari bahasa Kawi, rupanya naskah inilah yang berpengaruh besar dalam membangun ingatan dan pikiran kolektif masyarakatnya. P.J. Zoetmulder mengomentari kidung ini sebagai “Kidung historis yang paling pendek, juga paling menarik bagi orang pembaca modern”.
Penceritaannya memang mirip novel hanya dalam bentuk puisi tembang kidung. Raja Hayam Wuruk yang masih muda mengutus patih muda melamar putri Maharaja di Galuh, Dyah Pitaloka, setelah melihat gambar putri tersebut yang dilukis pelukis keraton, Arya Prabangkara. Patih Muda menyatakan bahwa sang puteri akan menjadi permaisuri Hayam Wuruk. Sang puteri tunduk menerima keputusan kedua orang tuanya. Maharaja Sunda bersyukur kepada Yang Esa karena mendapat anugerah puterinya diambil sebagai permaisuri raja agung Majapahit yang menguasai tujuh raja di Pulau Jawa.
Raja Galuh memimpin rombongan pengantin perempuan menuju majapahit. Ketika tiba di pesisir dari pedalaman Galuh, raja tercenung menyaksikan laut berwarna merah darah dan gagak-gagak melayang-layang bertetesan darah ke laut. Raja menangkap sasmita bakal datangnya malapetaka, meskipun demikian ia menerima takdir dan menghapus wajah cemas di depan puteri dan permaisurinya. Rombongan berlayar ke Majapahit dalam 200 kapal yang diiringi 1500 lebih perahu Madura. Rombongan terdepan adalah perahu para senapati dan tentara kerajaan, disusul rombongan kapal raja yang megah seperti jung Tartar. Kemudian menyusul rombongan para ponggawa dan bangsawan, dan akhirnya rombongan kapal dan perahu yang memuat barang-barang bawaan berupa kendaraan, hewan-hewan, panji-panji, senjata dan gamelan Sunda.
Perjalanan berlangsung 10 hari. Memasuki pedalaman dari pelabuhan Ujung Galuh menyusuri sungai dan sampai di Bubat menunggu jemputan dari raja Hayam Wuruk, Setelah kapal dan perahu ditambatkan di Canggu, Raja Hayam Wuruk bersama Prabu Daha dan Prabu Tua bersuka cita mendengar laporan Lurah Bubat atas kedatangan Maharaja Sunda dengan selamat. Tetapi raut Patih Gajah Mada kecut karena tidak menyetujui kehendak raja memperisteri puteri Galuh.
Patih Gajah Mada mengusulkan kepada raja Hayam Wuruk agar menunda pertemuannya dengan raja Sunda sekitar 4 atau 5 malam lagi untuk merenungkan kembali keputusan raja mempersunting puteri Dyah Pitaloka. Gajah Mada memberi pertimbangan bahwa wibawa dan keagungan raja serta kerajaan Majapahit akan turun di mata raja-raja Pulau Jawa dan Nusantara apabila perkawinan dilangsungkan. Bagaimana mungkin raja agung Majapahit mengagung-agungkan raja Galuh di kratonnya sendiri. Kata-kata Gajah Mada termakan oleh raja yang masih muda itu. Sejak itu Hayam Wuruk menghentikan para bawahannya untuk mengirim persembahan-persembahan kepada raja Sunda di Bubat.
Berkembang kebimbangan di fihak Sunda setelah tersebar desas-desus perbuatan Gajah Mada terhadap rajanya. Diutuslah Anepaken, patih Raja, Pitar, patih putri Citraresmi. Panglima Barong dan Demang Caho diiringi 300 prajurit pilihan dengan pakaian terbagusnya menghadap Gajah Mada di kediamannya untuk mengetahui duduk perkara penundaan. Mereka berjalan ke selatan melalui Masjid Agung lalu belok ke timur kemudian ke selatan menuju kediaman patih Majapahit. Tiba di gerbang pertama mereka langsung masuk dan menunggu di bawah pohon-pohon angsoka.
Dari halaman itu mereka melihat Gajah Mada sedang rapat dengan para tetua Negara yang berpengalaman, Gajah Mada melihat kehadiran mereka tetapi diabaikannya. Yang di bicarakan tentang “kedatangan Raja Sunda bukan perbuatan wajar karna tak berbakti“.
Para utusan Sunda jengkel dan marah atas perlakuan ini dan tanpa dipersilahkan mereka memasuki gerbang kedua dimana “gedung batu” tempat Gajah Mada dan para menteri sedang berembuk. Dengan sinis Gajah Mada menegur patih Anapaken sebagai tak mengerti tatakrama. Terjadi pertengkaran sengit antara kedua patih. Inti perdebatan tentang adanya tradisi raja-raja Nusantara yang datang ke Majapahit membawa persembahan-persembahan termasuk putri untuk raja. Pembesar-pembesar Sunda segera menjawab bahwa Ratu Sunda tak perlu bersujud sebab bukan taklukannya. Kapan kalah perang? Gajah Mada bahkan diingatkan pernah mundur dipukul tentara Sunda. Pertengkaran yang semakin memanas berhasil didamaikan oleh pendeta Asmaranatha, supaya utusan Sunda menunggu utusan Majapahit ke rumah Raja Sunda, sekitar dua hari lagi.
Kisah selanjutnya sudah amat kita kenal, yakni terjadinya perang Bubat akibat keinginan Gajah Mada menjadi keputusan Negara. Raja dan para pembesar Sunda sepakat untuk menjaga kehormatan diri sampai mati di medan laga. Pertempuran terjadi di lapangan Bubat saja sehingga rakyat Majapahit menyaksikan apa yang terjadi di lapangan tersebut. Raja dan para pembesar Sunda bertempur dengan gagah berani melawan kepungan pembesar-pembesar Majapahit. Dalam hal ini Zoetmulder berkomentar bahwa “pantas dicacat bahwa simpati pengarang terletak pada pihak Sunda”. Kidung itu sendiri menyatakan bahwa “kelak anak cucu Sunda menyayikan keberanian yuda para satria Sunda”.
Para istri pembesar-pembesar Sunda, yang berkemah terpisah di bagian perempuan,
berbaris menuju medan laga dan mencari jenazah suami-suami mereka lalu melakukan bela pati. Permaisuri dan putri Citraresmi Dyah Pitaloka juga bela pati di perkemahannya, perempuan-perempuan lain di jadikan tawanan.
Sebagian besar kidung berisi kisah pertempuran Bubat ini dengan detil, baik dari fihak Majapahit maupun Sunda. Hanya seorang pembesar yang selamat dari perang ini, yakni patih putri, Pitar, yang menjadi tahanan Majapahit.
Raja Hayam Wuruk datang ke bekas medan perang dan berusaha mencari calon mempelainya yang ternyata tak terdapat disitu. Timbul harapannya untuk menemukan Dyah Pitaloka masih hidup, lalu menuju perkemahan perempuan. Dan disana didapatinya putri Galuh ini telah bela pati. Raja amat berduka mendalam. Raja memerintahkan untuk menyelenggarakan upacara Negara memperabukan calon istri dan kedua bakal mertuanya.
Raja marah terhadap Gajah Mada dan memerintahkan menangkap dan menghukumnya. Tapi Gajah Mada moksa kembali menjadi Dewa. Raja Hayam Wuruk sendiri tak mampu melepaskan dukanya atas peristiwa tragis ini dan tak lama kemudian wafat.
Penulis Kidung Sunda melihat peristiwa historis yang menyedihkan ini, yang disesalinya, sekitar 200 tahun kemudian sebagai takdir dari Yang Esa. Digambarkan bahwa ketika hendak berlayar ke Majapahit, Maharaja Sunda sudah menangkap firasat akan adanya pertumpahan darah di akhir pelayaran ini, namun beliau menerima takdir itu. Digambarkan pula bahwa Gajah Mada tidak berhasil ditangkap dan dihukum raja karena terlebih dahulu telah lenyap moksa bersama raganya kembali menjadi Wisnu. Digambarkan pula bahwa Hayam Wuruk wafat akibat menderita duka mendalam ditinggalkan calon permaisurinya. Dalam telaah sejarah raja Hayam Wuruk masih memerintah lama di Majapahit dan mendapatkan permaisurinya dari lingkungan kerabat Majapahit sendiri.
Pandangan strukturalis-determinis ini kuat dalam Kidung Sunda. Nasib baik dan buruk itu telah ditentukan dan harus diterima dengan legawa.
3. Carita Parahiyangan
Inilah naskah Sunda lama yang berasal dari daerah Galuh, yang kemudian ditulis atau disalin pada akhir abad 16 atau awal abad 17, ketika agama Islam telah masuk ke Jawa Barat. Naskah baru menarik perhatian para orientalis sekitar tahun 1881. Namun baru tahun 1962 Noorduyn berhasil menyusunnya sebagai karya utuh yang terstruktur.
Carita Parahiyangan ternyata menyebutkan peristiwa Perang Bubat juga tetapi dalam baris-baris kalimat amat ringkas, yaitu dalam bab XVIII yang berbunyi sebagai berikut :
(Aki Kolot) Berputera Prabu Maharaja
Menajdi raja selama 7 tahun
Karena terkena perbuatan khianat
Mendapat bencana oleh puterinya bernama Tohaan
Ia menginginkan emas kawin yang besar
Itulah sebabnya banyak orang pergi ke Jawa
Tidak mau bersuami di Sunda
Maka terjadilah perang di Majapahit
(terjemahan Atja, Saleh Danasasmita)
Hal ini menunjukan bahwa peristiwa Bubat bukan hanya dikenal masyarakat Jawa (Timur) tetapi juga di Sunda sendiri. Isi ceritanya juga sesuai dengan Kidung Sunda. Prabu Maharaja membawa puterinya ke Majapahit untuk dinikahkan dengan “emas kawin yang besar” yang taklain adalah dengan raja Majapahit itu sendiri. Tetapi mereka “terkena perbuatan khianat” yang tak lain ulah mahapatih Gajah Mada, sehingga terjadilah perang di Majapahit.
Yang menarik adalah rangkaian kata-kata “menginginkan emas kawin yang besar
”dan tidak mau bersuami di Sunda”. Terasa ada nada kritik dan penyelenggaraan yang cenderung menyalahkan. Namun semua itu terjadi akibat “terkena perbuatan khianat”. Kalau tidak terjadi pengkhianatan semacam itu tentulah tidak masalah kalau puteri Tohaan memperoleh emas kawin yang besar dan bersuami bukan di Sunda.
Perbuatan khianat dalam cerita parahiyangan kiranya jelas sasarannya seperti dikisahkan dalam Kidung Sunda, yakni patih Gajah Mada. Namun pengkhianatan ini “diampuni” dalam Kidung sunda karena dilakukan oleh Gajah Mada alias ki Lembu Muksa, titisan Batara Wisnu, sebagai pelaku eksekusi takdir. Dalam Kidung Sunda tidak berlaku hukum sebab-akibat itu nampaknya berlaku. Karena bertingkah laku “tidak baik” maka terjadi pengkhianatan dan masa pemerintahan prabu Maharaja juga pendek yakni 7 tahun saja. Dalam cerita parahiyangan para raja yang senantiasa berbuat baik slalau disebut bersama pemerintahan panjang, bahkan ada yang 104 tahun.
Kalau Kidung Sunda yang di tulis dalam bahasa jawa lama dibaca dari sudut pandang Cerita parahiyangan, maka perbuatan khianat Gajah Mada ini tentu akan menanggung hokum karma ( sebab-sebab ) yang jauh lebih berat dari pada “hukuman” perang di majapahit yang menewaskan hampir seluruh rombongan raja Sunda, hanya karena kesalahan “menginginkan emas kawin yang besar” dan “tidak mau bersuami Sunda”.
Dalam hukum takdir (determinisme) kidung Sunda, salah dan benar itu tidak membawa akibat hukuman atau berkat. Manusia yang berbuat baik dapat mengalami nasib buruk, sendang manusia jahat mungkin saja menemukan nasib yang menyenangkan. Mengapa terjadi ketidak adilandewata semacam itu ? karena si baik yang bernasib buruk menanggung beban atas dosa-dosanya dalam inkarnasi sebelumnya, begitu pula sebaliknya. Hukuman dan berkat itu ditentukan oleh rangkaian samsara atau kelahiran kembali dalam sistem kepercayaan Kidung Sunda, sedang hukuman dan berkat terjadi selama kehidupan yang hanya sekali ini saja dalam cerita parahiyangan.
Dengan demikian peristiwa yang sama dapat menimbulkan dua penilaian yang berbeda.
4. Pararaton
Naskah dari jawa timur ini juga berbahasa jawa lama (Kawi) dan memuat cerita ringkas tentang peristiwa Bubat yang disebutnya “peristiwa orang-orang Sunda di Bubat”. Salinannya sebagai berikut :
Bab X:
“Selanjutnya terjadi peristiwa orang-orang Sunda di Bubat. Sri Baginda prabu menginginkan puteri Sunda. Patih Madu mendapat perintah menyampaikan permintaan kepada orang Sunda. Orang Sunda tidak berkeberatan mengadakan pertalian perkawinan. Raja Sunda datang ke Majapahit, dialah sang Baginda Maharaja, tetapi ia tidak mempersembahkan putrinya. Orang sunda bertekad berperang.
Itulah sikap yang sudah mendapat sepakat, karena patih Majapahit keberatan jika perkawinan dilakukan secara perayaan resmi, kehendaknya ialah agar puteri Sunda itu di jadikan persembahan. Orang sunda tidak setuju. Gajah Mada melaporkan sikap orang Sunda.
Baginda Wengker menyatakan kesanggupan :
Jangan khawatir kakanda Baginda, sayalah yang akan melawan berperang. Gajah Mada memberi tahu tentang sikap orang Sunda. Lalu orang majapahit berkumpul, mengepung orang Sunda. Orang Sunda akan mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak di perkenankan Oleh bangsawan-bangsawannya, mereka ini sanggup gugur di medan perang di Bubat, tak akan menyerah, akan mempertarukan darahnya. Kesanggupan bangsawan-bangsawan itu akan mengalirkan darah.
Para terkemuka fihak Sunda yang bersemat adalah :
Larang Agung, Tuhan ( Tuan ) Sohan, Tuhan Gempong, Panji Melaong, orang-orang
Tobang-Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan,orang pengulu, orang saya, Rangga Kawani, orang siring, Satrajali, Jagatsaya, semua rakyat Sunda bersama-sama bersorak. Bercampur dengan bunyi bende, keriuhan sorak seperti guruh. Sang Prabu Maharaja mendahului gugur, jatuh bersama-sama Tuhan Usus.
Sri Baginda rameswari menuju ke Bubat, ia tidak tahu bahwa orang-orang Sunda masih banyak yang belum gugur. Bangsawan-bangsawan mereka yang termuka lalu menyerang, orang Majapahit rusak. Adapun yang mengadakan perlawanan dan melalakukan pembalasan ialah Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Margaleuwih, Patih Tetag, dan Jaranbaya. Semua menteri itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu mengadakan serangan ke selatan dank e barat, menuju ke tempat Gajah Mada. Masing-masing orang sunda yang sampai di muka kereta, gugur, darah seperti lautan, bangkai seperti gunung,hancurlah orang-orang Sunda, tak ada yang ketinggalan, padatahun Saka “ Sembilan kuda Sayap Bumi” 1279 (atau 1357 Masehi ). Peristiwa Sunda itu bersama-sama dengan peristiwa Dompo. Sekarang Gajag Mada menikmati istirahat. Sebelas tahun imenjadi Mangkubumi.
Berhubung dengan puteri Sunda itu tewas, maka batara prabu lalu kawin dengan anak perempuan Baginda Prameswara, ialah Paduka Sori. Dari perkawinan ini lahirlah anak perempuan, ialah Ratu Lasem sang Ayu. Perkawinannya yang lain lahirlah Baginda di Wirabumi, yang diambil menjadi anak angkat Sri Ratu di Daha”.
Pararaton membenarkan adanya perang Bubat Gajah Mada di balik peristiwa ini. Yang baru dan agak berbeda disini adalah pernyataan adanya keinginan untuk menyarankan puteri Sunda sebagai persembahan kepada Majapahit, namun di tentang karas oleh para bangsawan tinggi Sunda-Galuh. Mereka siap gugur untuk mempertahankan harga dirinya yang direndahkan. Tahun peristiwa perang Bubat juga disebut.
Berbeda dengan Kidung Sunda, Pararaton agak berfihsk pada Gajah Mada yang “menikmati masa istirahat menjadi mangkubumi selama 11 tahun” di Majapahit, yang mengandung arti bahwa perang Bubat merupakan usaha Gajah Mada terakhir dan mungkin terberat menaklukkan raja-raja Nusantara dibawah Majapahit.
5. Pustaka Nusantara 11 / 2
Pada tahun 1972 terbit Carita Purwaka Caruban Nagari karya pangeran Arya Cirebon yang tulis tahun 1720. Buku itu menyatakan mengambil sumbernya dari naskah yang lebih tua yakni Negarakretabhumi yang di susun oleh panitia sejaraj Cirbon sekitar tahun 1677 dibawah pangeran Wangsakerta, yakni Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara dan
Pusaka Pararatwan.
Berapa naskah tersebut pernah di terbitkan pada tahun 1980-an dan di seminarkan tahun 1988 yang ternyata menimbulkan kontroversi di kalangan sejarahwan. Lepas dari kontroversi yang ada, naskah-naskah itu merupakan manifestasi pikiran yang diakui oleh masyarakatnya atau segolongan masyarakatnya. Masalahnya apakah kisah-kisah dalam naskah itu mengubah sikap masyarakat terhadap hidup ini. Sekalipun itu fiksi, masih berharga untuk mengetahui pandangan masyarakat mengenai Perang Bubat.
Karena isi kisah Perang Bubat telah di paparkan lengkap dalam Kidung Sunda, maka disini hanya dikutipkan bagian-bagian penting yang berbeda.
Inilah bagian-bagian tersebut :
“Sesungguhnya dahulu, waktu datang ke Kawali, duta Bhre Prabu Majapahit sudah menjajikan bahwa sang puteri Citraresmi akan diperistari resmi oleh Bhre Prabu Majapahit dan dijadikan permaisurinya. Tetapi sekarang janji tersebut tidak ditepatinya, ia bahkan ingin menguasai negeri Sunda di Jawa Barat. Sesungguhnya hal itu hanya ulah dan kehendak sang Patih Mada, dan sang prabu selalu menyetujui keinginannya. Semua orang mengetahui bahwa yang menyakiti hati orang Sunda adalah Sang Patih Mada… Lalu berkumpullah orang-orang Sunda di tempat Sang Prabu Maharaja. Mereka bermusyawarah dan sepakat menyongsong musuh. Sang Prabu Maharaja dan para pengiringnya tidak sudi dihinakan dan diperintah oleh raja Majapahit. Kemudian sang Prabu Maharaja berucap kepada semua pengiringnya… Beginilah ujarnya : Walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di medan Bubat ini, namun kehormatanku dan semua ksatria Sunda tidak akan memberikan pengkhianatan terhadap Negara dan rakyatku. Karena itu janganlah bimbang semua mayat yang sudah dimandisucikan dengan penuh kebesaran diperabukan diatas tumpukan kayu cendana yang wangi. Sang Prabu Hayam Wuruk mengawali penyempurnaan mayat puteri Dyah Pitaloka dan mayat Prabu Maharaja Sunda. Sedangkan penyempurnaan mayat-mayat lainnya dilakukan oleh Sang Patih Mada. Para menteri agung, para pemuka agama dan pembesar lainnya. Tampak ribuan penduduk dari daerah sekitarnya memenuhi lapangan itu dengan penuh rasa haru. Kelak di negeri Sunda dibuat patung pribadi Sang Prabu Maharaja. Sementara itu orang-orang Sunda tidak membalas dendam kepada orang Jawa. Mereka tidak memerangi Majapahit. Demikian pula Majapahit tidak menyerang negeri Sunda dan tidak memeranginya.
Kemudian raja Majapahit Prabu Rajasanegara mengirimkan utusan ke Negeri Sunda untuk menyampaikan surat. Diberitakan di dalamnya kejadian pasunda-bubat dan Bhre Majapahit mohon maaf atas segala kesalahan dan perbuatan yang telah dilakukan oleh para senopati dan pasukannya. Kematian Sang Prabu Maharaja itu semoga tidak membawa celaka dan melenyapkan kesentosaan hidup penduduk Majapahit.
Karena itu Raja Majapahit berjanji dengan sepenuh hati kepada wakil Raja Sunda yaitu Rakean Patih Mangkubumi Suradipati dan segenap pembesar kerajaan, angkatan perang, keluiarga raja Sunda serta penduduk di seluruh Jawa Barat, bahwa Majapahit tidak akan menyerang Negeri Sunda dan tidak ingin menguasainya. Kerajaan Sunda diharapkan tidak melakukan serangan balasan kepada Majapahit dan menganggap peristiwa Bubat itu sebagai peristiwa yang sudah lewat. Majapahit ingin bekerjasama dan bersahabat dengan Sunda, masing-masing sebagai Negara yang merdeka yang tidak bertentangan. Majapahit berjanji tidak akan menyakiti hati penduduk Negeri Sunda untuk kedua kalinya.”
Dalam naskah Wangsakerta di atas disebutukan bahwa Raja Majapahit, Hayam Wuruk, langsung meminta maaf kepada keluarga Prabu Maharaja di Sunda. Usaha rekonsiliasi kedua kerajaan segera dilakukan setelah peristiwa Bubat. Namun naskah Wangsakarta tidak menceritakan bagaimana tanggapan pihak keluarga kerajaan Sunda sendiri.
Kidung Sunda. Pararaton, dan cerita Parahiyangan tidak menyebutkan kelanjutan dari Perang Bubat, kecuali naskah Wangsakarta ini. Naskah ini dengan jelas menunjuk biang kesalahan ada pada Patih Gajah Mada, yakni “semua orang menngetahui bahwa yang menyakiti hati orang Sunda itu adalah Sang Patih Mada”. Kalau hal ini dihubung-hubungkan dengan tidak adanya nama jalan atau nama apapun di Jawa Barat dengan nama Gajah Mada atau Majapahit, mungkin ada benarnya, tetapi juga kurang adil karena belum tentu kota-kota besar lain di Indonesia tidak berbuat yang sama. Bagaimanapun naskah Wangsakarta ini membawa kesejukan tersendiri atas peristiwa sejarah yang memilukan tersebut.
6. Sejarah Jawa Barat
Pada tahun 1984 terbitlah buku Rintisan Penelusuran Masa Silam : Sejarah Jawa Barat yang ditulis oleh Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Enoch Atmadibrata, diterbitkan Pemda Jabar.
Buku 4 jilid ini antara lain mengajukan analisis yang menarik berhubungan dengan Perang Bubat. Seperti diketahui bahwa dalam Perang Bubat Raja Sunda, Prabui Maharaja, gugur di medan perang. Pengganti beliau di Sunda-Galuh adalah puteranya yang masih usia 9 tahun, yakni Wastu Kencana, adik lelaki Puteri Dyah Pitaloka Citraresmi. Sedangkan nama Maharaja dalam Pararaton dan Carita Parahiyangan tak lain adalah Linggabuana (1350 – 1357). Karena masih kanak-kanak, maka Galuh diperintah oleh Wali Raja, adik Linggabuana, yakni Bunisora Suradipati (1357-1371). Masa pemerintahan Wastu Kencana termasuk paling panjang yakni 104 tahun, karena kebaikan dan kesempurnaan wataknya sebagai manusia dan raja.
Sejak pemerintahan panjang Wastu Kencana, Sunda semakin sejahtera dan semakin besar berwibawa yang berpuncak pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) atau dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Kenyataan ini berbalik sama sekali dengan nasib kerajaan Majapahit setelah Bubat. Meskipun puncak kejayaan Majapahit terdapat pada pemerintahan Hayam Wuruk, namun setelah dia Majapahit berangsur-angsur mengalami kemerosotan dengan perang saudara dan sebab-sebab lainnya. Bahkan ketika kerajaan Sunda mengalami jaman emasnya awal abad 16, kerajaan Majapahit justru menghadapi masa-masa keruntuhan sekitar tahun 1525 M.
Cara pandang ini mirip cerita Parahiyangan, bahwa mereka yang berwatak kurang baik akan segera berakhir kekuasaannya, bahkan hidupnya, sedang mereka yang di jalan benar dan bijak akan mengalami kesejahteraan panjang. Hukum sebab-akibat duniawi ini terlihat pada nasib kedua kerajaan setelah Perang Bubat. Majapahit yang salah berusia pendek menuju kejatuhan, sedang Sunda yang menjadi korban berusia panjang menuju kejayaan.
7. Para Kesatria Sunda
Dalam Pararaton disebutkan bahwa semula Sunda yang sudah dikepung Majapahit di Bubat ingin memenuhi tuntutan Gajah Mada, yakni mempersembahkan puteri Citraresmi, namun para bangsawan Sunda menolak keras penyerahan ini. Mereka bertekad bulat membela harga diri sampai titik darah penghabisan.
Siapakah para bangsawan kesatria –kesatria Sunda tersebut?
Kidung Sunda, Pararaton, dan Pustaka Nusantara (naskah Wangsakarta) menyebutkan nama-nama mereka. Dari ketiga sumber tulis tadi ternyata ada beberapa kesamaan nama, tetapi ada juga yang berbeda. Ada nama yang disebut dalam tiga sumber, yakni :
Larang Agung
Rangga Sohan atau Tuhan Sohan
Panji Melong
Jagatsaya
Demang Cahot atau Rangga Cahot
Rangga Sohan atau Tuhan Sohan atau Sohan
Adapun yang disebut dalam dua sumber (Pararaton dan Pustaka):
Tuhan Usus atau Mantri Usus
Tuhan Gempong atau Gempong Lotong
Rangga Kaweni atau rakean Rangga Kaweni
Satrajali
Juru siring
Nama-nama lain dari ketiga sumber adalah :
( Kidung Sunda )
Rangga Wirawangsa
Ken Jalak
Ki Jagat Gurusakti
Patih Anepaken
Patih Pitar
Unur
Ki Borang
( Pararaton )
Orang Pengulu
Orang Siring
(Pustaka Nusantara II)
Ki Penghulu Sora
Patih Wirayuda
Nakoda Braja
Nakoda Bule
Ki Juruwastra
Mantri Sabrang Keling
Ki Mantri Sapit Kalingking
Dengan demikian ada sekitar 27 nama bangsawan Sunda yang disebut dalam pertempuran di Bubat dan diabadikan dalam kitab-kitab.
8. Novel – novel
Beberapa novel tentang Parang Bubut yang perang saya baca cenderung bersikap seperti penulis Pustaka Nuasantara dalam naskah Wangsakerta, yakni menyejukkan ketegangan. Namun karya fiksi memerlukan pengetahuan sejarah dan budaya zamannya, yang rata-rata kurang nampak dalam karya-karya fiksi sejarah Perang Bubat. Sikap Gajah Mada yang menjadi sumber timbulnya perang tersebut ada yang menafsirkan bahwa Gajah Mada waktu mudanya pernah bertemu Dyah Pitaloka di Sunda dan jatuh cinta. Dengan demikian dapat dimaklumi sikap Gajah Mada membatalkan perkawinan bekas kekasihnya ini.
Ada pula tafsir lain bahwa Dyah Pitaloka dan Prabu Maharaja tidak sampai tewas di Bubat, dan keduanya berhasil kembali ke Galuh pakuan. Gambaran-gambaran semacam ini mungkin berniat baik, namun kurang didukung oleh pengetahuan sejarah dan budaya sezaman yangn harus membaca dan mempelajari berpuluh-puluh buku. Dalam Kidung Sunda, misalnya, para utusan Sunda mau memasuki rumah Patih Gajah Mada. Gambaran dalam Kidung tersebut sudah jelas bagi pembaca zaman itu, yakni sekitar abad 16, namun bagi pembaca modern harus mempelajari dahulu pola rumah-rumah bangsawan Majapahit dari buku-buku arkeologi atau sejarah arsitektur Indonesia lama.
Apa yang dimaksud bahwa para utusan nekad masuk ruang pertemuan antara Gajah Mada dengan para mantrinya. Begitu pula lolosnya Maharaja kembalil ke Galuh pakuan tentu saja tidak harus lewat daratan yang begitu panjang untuk masa kini, apalagi masa lampau (baca buku Bhujangga Manik), lebih masuk akal kalau oaring yang luka parah lebih cepat menuju kapal-kapal Sunda yang berlabuh jauh dari Majapahit, misalnya di Gresik dan Tuban seperti dikisahkan dalam sumber-sumber lama tersebut.
Realitas kadang memang tidak masuk akal, tetapi karya fiksi justru dituntut logika formal maupun logika imajinernya. Penulis novel sejarah bukan hanya menyajikan cerita tetapi juga menyajikan kebudayaan masa lampau lengkap dengan cara hidup mereka, cara berpikir mereka, cara berpakaian mereka, cara membangun rumah dan kraton, cara menerima tamu biasa dan tamu terhormat, dan banyak lagi.
Itulah yang saya tangkap sepintas dari novel-novel yang pernah saya baca tentang peristiwa Bubat ini.
9. Penutup
Membongkar kepercayaan kolektif, entah
bersumber dari tradisi mitos atau historis, tidak mudah. Untuk itu diperlukan
karya monumental dari segala aspeknya namun tetap tidak memanipulasi fakta
sejarahnya.
Edi S. Ekadjati, Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta, Pustaka Jaya 2005
Saleh Danasasmita et.al. Sejarah Jawa Barat, Pemda Jabar, 1984
Berg C.C. Penulisan Sejarah Jawa, terjemahan S. Gunawan Bhratara, 1974
Atja, Saleh Danasasmita, Carita Parahiyangan, Museum Jabar, 1981
Hasan Wirasutisna (terjemahan), Kidung Sunda I, II, Dept. Pendidikan dan Kebudayaan 1980
Ki J. Padmopuspita, Pararaton, Taman Siswa Yogya, 1966
Noorduyn. J. Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa : Data Topografis Dari Sumber Sunda Kuno, LIPI 1984 (terjemahan Iskandarwassid).
Atja, Ayat Rohaedi, Negarakretabhumi I.5, Sundanologi Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1986
Aan Merdeka Permana, Perang Bubat, novel, Qanita, 2009.