2.2 Tulisan Tentang Asuransi dan Pegadaian.
A. Asuransi
asuransi adalah sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya..
Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Badan yang menyalurkan risiko disebut “tertanggung”, dan badan yang menerima resiko disebut “penanggung”. Perjanjian antara kedua badan ini disebutkebijakan: ini adalah sebuah kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi. Biaya yang dibayar oleh “tetanggung” kepada “penanggung” untuk risiko yang ditanggung disebut “premi”. Ini biasanya ditentukan oleh “penanggung” untuk dana yang bisa diklaim di masa depan, biaya administratif, dan keuntungan.
B. PEGADAIAN
pegadaian adalah suatu lembaga keungan bukan bank yang memberikan kredit kepada masyarakat dengan corak khusus, yaitu dengan cara hukum gadai. Hukum gadai pada usaha ini adalah kewajiban calon peminjam untuk menyerahkan harta geraknya sebagai agunan kepada kantor cabang pegadaian disertai dengan pemberian hak kepada pegadaian untuk melakukan penjualan (lelang) dalam kondisi yang ditentukan.
Satu-satunya lembaga keuangan pegadaian di Indonesia adalah perum pegadaian milik pemerintah (BUMN) dibawah wewenang departemen keuangan dan berstatus hukum perusahaan umum (perum). Usaha perum pegadaian adalah memberi kredit gadai kepada masyarakat dengan procedur sederhana dan cepat.
Sumber:http//wartawarga.gunadarma.ac.id
Selasa, 20 Maret 2012
TUGAS SOFTKILL TERAPAN KOMPUTER PERBANKAN # PART 2
2.1. Tulisan Tentang Kredit.
A.JAMINAN KREDIT
I. Pendahuluan
Prinsip 5C dalam pemberian kredit telah digunakan selama bertahun-tahun dan
kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan. Prinsip ini meliputi:
• Character (watak);
• Capacity (Kemampuan);
• Capital (Modal);
• Conditions; and
• Collateral (Jaminan).
Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk
dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang,
ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan
faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan
untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence menjalankan bisnis tidak
diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan buruk, dan hasilnya kredit akan
mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya,
kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu,
penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk
mendapatkan pinjaman.
Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada bank
bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan track
record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di
Australia informasi semacam itu dapat didapatkan pada biro kredit, seperti Credit
Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). CRAA mengelola database yang berisi
data kredit baik perorangan maupun perusahaan yang ada di Australia, yang memuat
berbagai informasi dari kredit yang telah diajukan, pembayaran yang telat dan juga
putusan pengadilan yang berhubungan dengan kredit macet. Lembaga keuangan yang
menjadi anggota CRAA berhak untuk untuk mendapatkan informasi tentang si peminjam,
• Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk,
diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
2
dan sebagai imbalannya, mereka harus menyediakan informasi dari pinjaman yang akan
diajukan.
Di Indonesia informasi tentang nasabah dapat diperoleh melalui system informasi
kredit yang dimiliki Bank Indonesia. Namun karena tidak adanya system “kenal diri” yang
berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi
itu seringkali tidak akuran. Bank Indonesia saat ini sedang dalam proses untuk
mendirikan biro kredit yang berfungsi seperti CRAA.
Sedangkan modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari si
peminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu
memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan asset dan passiva dari si
peminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga pinjaman
mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas ratio maksimal asset dan
passiva.
Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi
eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk
mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang
memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak
mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai resiko dari pinjaman,
tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan. Bank tidak memberikan
kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat
membahayakan lingkungan.1
Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit macet.
Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang
diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan. Kesulitan bank dalam
melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C sebagaimana dikemukakan di atas
dapat diatas dengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit. Dengan adanya
skim tersebut maka bank lebih mudah menilai risiko kredit yang diberikannya.
II. Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya kebendaan yang dijadikan
objek jaminan, dan lain sebagainya.
a. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan
oleh seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal 1132, pasal
1134 ayat (1)). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang
dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya,
seperti gadai, hipotik, hak tanggungan dan fiducia.
1 PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney: Lawbook Co., 2001),
hal. 97-104.
3
b. Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan
menjadi jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditu. Kitab Undangundang
Hukum Perdata pada pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perserorangan. Hal ini berarti seluruh harta kekayaan milik debitur
akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua kreditur.
Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap,
baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang
baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah
perjanjian utang piutang diadakan.
Dengan demikian, seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan
umum atas pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak
diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena undang-undang,
sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.
Dalam jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditur mempunyai
kedudukan yang sama terhadap kreditur-kreditur lain, tidak ada kreditur yang
diutamakan atau diistimewakan dari kreditur-kreditur lain.
Karena jaminan umum kurang menguntungkan bagi kreditur, maka
diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus
sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan
mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada krediturkreditur
lain dalam pelunasan utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan
perlindungan kepada kreditur dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenai
hal ini. Jaminan khusus memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi
pemegangnya.
c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak
atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas
benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan
gadai, dan lain-lain).
Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan lansung pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan
terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya ( contoh:
borgtocht).
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat
berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda
bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.
Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan
jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan
4
pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan
account receivable.
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang
lainnya, dengan bentuk, yiatu:
1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu
hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang
diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut
dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.
2) Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas
tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu
ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditu lain.
3) Fiducia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan
hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.
Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk:
1) Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu
perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang
tersebut tidak memenuhinya.
2) Perjanjian Garansi/indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUH Perdata, yang
berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau
menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan
berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi
terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah
berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika
pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan
Sesuai dengan namanya, kredit diberikan kepada debitur berdasarkan
kepercayaan si kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar
kembali utang-utangnya kelak.
Sementara jaminan-jaminan lainnya yang bersifat kontraktual, seperti hak
tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fiducia, dan sebagainya hanya dianggap
sebagai “jaminan tambahan” semata-mata, yakni tambahan atas jaminan
utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.2
2 Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal.
69-70
5
e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang
dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan
menggunakan hak tanggungan atas tanah, sedangkan kalau yang dijamin adalah
kapal laut atau pesawat udara, maka pembebanannya dengan menggunakan
gadai, fiducia, cessie dan account receivable.
f. Jaminan regulative dan jaminan non regulative
Jaminan regulative adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri
sudah diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tergolong ke dalam jaminan regulative ini antara lain adalah hipotik,
gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang. Sedangkan jaminan non regulative
adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek.
Jaminan non regulative ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti
pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan
non regulative yang semata-mata hanya bersifat kontraktual, seperti kuasa
menjual dan lain-lainnya.
g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional
Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama
dikenal dalam system hukum kita, baik yang telah diatur dalam perundangundangan,
hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan
yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama dilaksanakan
dalam praktek, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang bergerak, gadai
tanah, fiducia, garansi, dan akta pengakuan utang.
Sementara itu bentuk-bentuk jaminan non konvensional adalah bentukbentuk
jaminan yang eksistensinya dalam system hukum jaminan yang masih
terbilang baru sungguh pun sudah dilaksanakannya secara meluas, sehingga
pranatanya belum sempat pula diatur secara rapi, antara lain seperti pengalihan
hak tagih debitur (assignment of receivable for security purposes), pengalihan
hak tagih klaim (assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan
menutupi kekurangan biaya (cash deficiency).
h. Saham sebagai agunan tambahan
Dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal yang sehat,
diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal,
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Sehubungan dengan hal itu, bank diperkenankan meminta agunan
tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya jaminan
pemberian kredit.
6
Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU masing-masing
tanggal 7 September 1993 perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang
menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit.
Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada
Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham.
Ditegaskan bahwa bank diperkenankan untuk memberikan kredit dalam
agunan tambahan berupa saham perusahaan yang dibiayai dalam rangka ekspansi
atau akuisisi.
Berdasarkan ketentuan yang baru, bank juga diperbolehkan memberikan
kredit dengan agunan tambahan berupa saham, baik yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar di bursa efek.
Untuk pemberian kredit dalam rangka ekspansi atau akuisisi, bank
diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham yang terdaftar maupun
yang tidak terdaftar di bursa efek. Jika saham yang diagunkan termasuk saham
yang terdaftar di bursa, maka saham yang bersangkutan tidak termasuk saham
yang tidak mengalami transaksi dalam waktu tiga bulan berturut-turut sebelum
saat akad kredit ditandatangani dan saham dengan harga pasar dibawah nilai
nominal pada saat akad kredit ditandatangani.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit maksimim
sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan dibursa efek
pada saat akad kredit ditandatangani. Sebaliknya jika saham yang diagunkan
berupa saham yang tidak terdaftar di bursa efek, maka saham tersebut dibatasi
hanya pada saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit yang
bersangkutan.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kreditnya adalah
maksimum sebesar nilai nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga perusahaan yang bersangkutan.
III Hak-Hak yang Memberi Jaminan yang Mempunyai Sifat Privilege
1. Pengertian
Privilege termasuk jenis piutang yang diberikan keistimewan atau piutang yang
lebih didahulukan (bevoorrechte scdhulden) dalam hal ada pelelangan (executie) dari
harta kekayaan debitur dan dalam hal terjadi kepailitan. Hak untuk didahulukan
diantara orang-orang berpiutang menurut ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata timbul
dari hak istimewa (privilege), disamping dari gadai dan hipotik.
Selanjutnya Pasal 1134 KUHPerdata mengatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Hak istimewa (privilege) adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
7
2. Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam halhal
dimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dengan demikian Privilege adalah hak yang diberikan undang-undang terhadap
seseorang, dan tidak diperjanjikan seperti halnya Gadai dan Hipotik.
Privilege sendiri dapat dibagi dalam dua macam yaitu:
1. Privilege khusus yang tercantum dalam Pasal 1139 KUHPerdata ada 9, merupakan
privilege yang diberikan terhadap benda-benda tertentu dari debitur.
2. Privilege umum diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata ada 7, merupakan privilege
yang diberikan terhadap semua kekayaan debitur.
Privilege khusus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Privilege
umum (Pasal 1138 KUHPerdata) dan tidak ditentukan urutannya, maksudnya
walaupun disebut berturut-turut tapi tidak mengharuskan adanya urutan; sedangkan
Privilege umum ditentukan urutannya artinya yang lebih dahulu disebut, dengan
sendirinya didahulukan dalam pelunasannya.
2. Ciri-Ciri/Sifat-sifat Privilage
a. Privilege baru ada kalau terjadi penyitaan barang dan hasil penjualannya
tidak cukup untuk membayar seluruh hutang kepada kreditur.
b. Privilege tidak memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda
c. Merupakan hak terhadap benda debitur
d. Merupakan hak untuk didahulukan dalam pelunasannya.
Oleh karena itu Privilege bukanlah termasuk jaminan kebendaan karena pada hak
kebendaan cirri-ciri sebagai berikut:
1. Hak itu sudah ada tanpa harus menunggu ada penyitaan barang debitur
terlebih dahulu.
2. Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda.
3. hak kebendaan merupakan hak terhadap suatu benda.
Namun Privilege diatur dalam Buku II KUHPerdata sejajar dengan hak kebendaan.
Hal ini disebabkan Privilege juga memiliki sifat droit de suite dan merupakan hak
yang memberikan jaminan seperti halnya Gadai dan Hipotik. Namun para sarjana
menganggap bahwa seharusnya Privilege dimasukkan kedalam Hukum Acara pedata
yang termasuk Executie (pelelangan) harta kekayaan debitur dan dalam hal debitur
jatuh pailit.
Privilege juga bukan merupakan jaminan perorangan sebab hak perorangan itu
timbul pada saat suatu perjanjian terjadi misalnya, jual beli, sewa menyewa dan
lain-lain, sedangkan Privilege timbul bila barang-barang yang disita tidak mencukupi
untuk langsung melunasi hutang. Disamping itu hak perongan lansgsung memberikan
suatu tuntutan/tagihan terhadap seseorang, sedangkan pada Privilage baru ada
tuntutan dalam hal debitur pailit.
Perbedaan antara Gadai dan Hipotik dengan Privilege adalah kalau Gadai dan
Hipotik adalah karena diperjanjikan sedangkan Privilege diberikan/ditentukan oleh
8
Undang-undang. Kemudian Gadai dan Hipotik lebih didahulukan daripada Privilege,
kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2),
1139 ayat (1) dan 1149 ayat (1) KUHPerdata); antara Gadai dan Hipotik tidak
dipersoalkan mana yang harus didahulukan sebab Gadai berkaitan dengan benda
bergerak sedangkan Hipotik mengenai benda tidak bergerak. Selanjutnya pada
Gadai, para pihak bebas untuk menjamin dengan Gadai terhadap piutang apapun
juga, sedangkan pada Privilege, Undang-undang mengaitkan Privilege itu pada
hubungan-hubungan hukum tertentu.
Meskipun Gadai dan Hipotik berada dalam urutan di atas Privilege artinya hak
utama yang diperjanjikan berada di atas hak utama menurut undang-undang namun
ada pengecualiannya yaitu dalam hal undang-undang menentukan sebaliknya;
termasuk didalamnya antara lain hutang-hutang sebagai berikut:
1. Ongkos-ongkos dalam rangka eksekusi
2. Uang sewa
3. Ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk pemeliharaan benda-benda yang
bersangkutan sesudah benda-benda tersebut digadaikan.
4. Beberapa Privilege lainnya seperti pajak-pajak, bea-cukai dan lain-lain.
5. Hak-hak utama dalam Pasal 318 KUHDagang dan lain-lain
IV. Surety Bond dan Bank Garansi
Praktek penjaminan sudah sejak lama dilakukan oleh lembaga keuangan
khususnya bank, dalam bentuk bank garansi. Sedangkan dalam dunia asuransi
penjaminan dilakukan dalam bentuk surety bond merupakan suatu bentuk penjaminan
yang relatif baru di Indonesia. Bisnis surety bond di Indonesia mulai diperkenalkan sejak
tahun 1980 atas kebijakan pemerintah dengan tujuan untuk membantu para pengusaha
ekonomi lemah untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk itu pemerintah
mengeluarkan Keppres No. 14A/80 tahun 1980 tentang pelaksanaan APBN/APBD dan
bantuan luar negeri. Berdasarkan Keppres tersebut dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 271/KMK.011/1980 Tentang Pemberian Ijin Bagi Bank-bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank untuk dapat Menerbitkan Jaminan. Dalam pelaksanaannya
pemerintah menetapkan pemberian ijin kepada lembaga keuangan non bank untuk
menerbitkan surety bond sebagai alternatif bank garansi, yang ditunjuk pada waktu itu
adalah PT. Asuransi Jasa Raharja (persero).
Secara teori dan praktek terdapat kemiripan antara bank garansi dan garansi
asuransi dalam bentuk surety bond yang pada intinya bahwa baik bank atau asuransi
menjamin untuk memenuhi kewajiban apabila yang dijamin di kemudian hari ternyata
tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga sebagaimana telah diperjanjikan.
Bank garansi sudah lebih dahulu dikenal sebagai lembaga penjaminan atas hutang
atau kewajiban debitur kepada pihak ketiga, dimana tentunya prinsip-prinsip perbankan
dan kehati-hatian diterapkan dalam menganalisa permohonan bank garansi oleh debitur.
Melihat potensi pasar yang cukup menggiurkan itulah perusahaan asuransi
kerugian meluncurkan produk penjaminan yang mirip bank garansi yang lebih dikenal
dengan surety bond, yang merupakan produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan
9
asuransi sebagai upaya pengambilalihan resiko kerugian yang mungkin dialami debitur
yang umumnya sebagai kontraktor yang diberikan kepercayaan oleh pemilik proyek
dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan
tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi
selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur) sebagai
konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur) tersebut.
Dasar hukum antara surety bond dan bank garansi terdapatl perbedaan. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh sifat alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan
penerbitannya tidak lepas dari prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan
permohonan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang
diajukan untuk penerbitan bank garansi. Perbedaan pokok surety bond dan bank garansi.
Pertama, lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety bond
oleh lembaga asuransi. Oleh karena itu, teknis penerbitannya mengikuti ketentuan yang
berlaku bagi lembaga tersebut yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi.
Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral). Sedang asuransi
mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko disebar diantara
penanggung uang (reasuransi). Kedua, bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang
penanggungan hutang/borgtoght sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya
pasal 1831 dimana bank dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk
pelunasan kewajibannya. Sedangkan surety bond adalah perjanjian indemnitas dan
diatur dalam pasal 1316 KUH Perdata di mana kedudukan lembaga asuransi sebagai
penjamin dan prinsipal adalah setara dan mengganti secara tanggungan renteng. Ketiga,
garansi yang diterbitkan bank mempunyai jangka waktu terbatas dalam arti tidak dapat
diperpanjang secara otomatis. Apabila setelah dikaji ternyata nasabah tidak layak diberi
jaminan atau posisi penjamin tidak memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan
yang sudah jatuh tempoh maka bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang
jaminan dimaksud. Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka
waktu surety bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat prinsipal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan kontrak
surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak pembayaran.
Keempat, dalam surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor gagal
maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang pemutusan
hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus diperhitungkan dengan
pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak surety dalam hal ini asuransi
membayar hanya sebesar kerugian yang sungguh, sungguh diderita obligee. Berbeda
halnya dengan bank garansi yang bersifat tanpa syarat (unconditional) dimana apabila
principal telah gagal/lalai memenuhi kewajibannya maka obligee secara sepihak dan
mutlak dapat melakukan pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan prinsipal
sama sekali tidak diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara
penuh.
Setelah diuraikan dasar hukum dan prinsip surety bond dan bank garansi di atas
dapatlah ditarik perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat
alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan penerbitannya tidak lepas dari
prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan permohonan surety bond terhadap
10
perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan bank
garansi yang menggunakan prinsip perbankan yang berhati-hati.
Adanya ketentuan tentang prinsip “5C” membuat ketergantungan pihak bank
terhadap principal lebih kecil dalam hal harus dilakukan pencairan bank garansi terebut.
Bank akan berani hanya melihat pada alasan-alasan hukum telah terjadi wanprestasi dari
pihak yang dijamin (principal) tanpa harus takut hak subrograsinya3 akan mengalami
persoalan bila tidak terlebih dahulu mendapat pengakuan wanprestasi dari principal. Hal
ini dapat terjadi karena pada umumnya bank telah memegang jaminan yang cukup
sebagai kontra garansi terhadap bank garansi yang diberikan.
Bank garansi dalam memberikan jaminan harus memperhatikan kemampuan bank
dalam menanggung resiko dan biasanya erat dikaitkan dengan nilai batas maksimum
pemberian kredit. Sedang dalam surety bond, asuransi dapat menjamin lebih besar,
karena dalam perusahaan asuransi dapat diatasi dengan mekanisme pertanggungan ulang
atau reasuransi.
Perbedaan pemahaman antara lembaga perbankan dan lembaga perasuransian
terhadap penjaminan tersebut, membuat sikap lembaga perbankan dan asuransi
mengenai jaminan (collateral antau kontra garansi) sebagai bagian dari aktivitas
pemberian kredit yang menimbulkan “contigent liabilitas”, menerapkan syarat
pemberian kredit yang melihat collateral sebagai back-up dari bank garansi yang
diberikan. Sementara bagi lembaga perasuransian yang tidak melihat hal ini sebagai
kredit melainkan peralihan resiko dan tanggung jawab hukum, sehingga sampai saat ini
belum melihat collateral sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety
dalam hal terjadinya claim pencairan surety bond dari pihak penerima jaminan
(obligee). Sementara itu upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral dengan
mewajibkan principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity
agreement) hampir tidak memberikan perbedaan upaya-upaya, karena walaupun
indemnitu agreement tidak ditandatangani, hak subrograsi dari perusahaan asuransi
untuk dapat penggantian dari debitur atas telah dilaksanakan pencairan jaminan
principal kepada obligee, artinya tanpa indemnity agreement, asuransi tetap dapat
melaksanakan hak subrograsinya kepada principal. Untuk dapat lebih memahami
perbedaan di atas, ada baiknya dikemukakan perbedaan pokok surety bond dan bank
garansi sebagai berikut:
1. Teknis penerbitan
Karena lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety
bond oleh lembaga asuransi, maka teknis penerbitan mengikuti lembaga tersebut
yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi sebagai lembaga penerbit
dimaksud. Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral).
Sedang asuransi mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko
disebar diantara penanggung uang (reasuransi).
2. Hukum perjanjiannya.
Bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang penanggungan hutang/brogtoght
sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya pasal 1831 dimana bank
3 Subrograsi menurut pasal 1840 KUH Perdata adalah “Bahwa si penanggung telah
membayar, maka ia akan menggantikan demi hukum segala hak si berpiutang terhadap si
berhutang”.
11
dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk pelunasan
kewajibannya. Sedangkan surety bond diatas dalam perjanjian indemnitas (J.
Satrio menyebutkan perjanjian garansi) pasal 1316 KUH Perdata di mana
kedudukan lembaga asuransi sebagai penjamin dan principal adalah setara dan
mengganti secara tanggungan renteng.
3. Jangka waktu berlakunya jaminan
Garansi diterbitkan oleh kalangan perbankan mempunyai jangka waktu terbatas
dalam arti tidak dapat diperpanjang secara otomatis. Hal ini terjadi karena
setiap bank penerbit jaminan akan mengikuti aturan yang telah digariskan Bank
Indonesia yang dalam periode tertentu akan dikaji ulang. Apabila setelah dikaji
ternyata nasabah tidak layak diberi jaminan atau posisi penjamin tidak
memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan yang sudah jatuh tempoh maka
bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang jaminan dimaksud.
Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka waktu surety
bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat principal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan
kontrak surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak
pembayaran.
4. Penyelesaian claim
Bagi Surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor
gagal maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang
pemutusan hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus
diperhitungkan dengan pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak
surety dalam hal ini asuransi membyar hanya sebesar kerugian yang sungguh,
sungguh diderita obligee. Berbeda halnya dengan bank garansi yang bersifat
tanpa syarat (unconditional) dimana apabila principal telah gagal/lalai memenuhi
kewajibannya maka obligee secara sepihak dan mutlak dapat melakukan
pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan principal sama sekali tidak
diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara penuh.
V. Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT)
UUHT disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996. Undangundang
ini adalah sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang (RUU) Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam
Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tersebut yang disampaikan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional pada tanggal 15 September 1996 disebutkan
beberapa hal yang menjadi latar belakang diajukannya RUU yang bersangkutan yaitu:
1. Untuk memenuhi tuntutan pembangunan
2. Melaksanakan amanat UUPA
12
A. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebenarnya menyangkut tiga aspek sekaligus yaitu pertama,
yang berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah, kedua, yang berkaitan dengan
kegiatan perkreditan, dan yang ketiga berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para
pihak yang terkait.
1. Berkaitan Erat dengan Hak Jaminan atas tanah
Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat sebagai
berikut:
1) Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanak tidak hanya
menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga benda-benda
yang akan ada (Pasal 4 ayat(4); bandingkan dengan Pasal 1175
KUHPerdata).
2) Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak
atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan Hak
Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu
olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 UUHT).
2. Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan
Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka Hak tanggungan
adalah salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan
khusus kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Oleh karena itu jika dikaitkan
dengan sifatnya, Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan
memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Maka kreditur
yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek Hak Tanggungan tersebut disediakan
khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.
3. Berkaitan dengan Perlindungan Hukum
Hal ini berhubungan dengan masalah perjanjian, hubungan hutang ppiutang
antara kreditur dengan debitur, dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur,
dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur misalnya tidak dapat memenuhi
apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.
B. Ciri-ciri dan Sifat-sifat Hak Tanggungan
1. Ciri-ciri Hak tanggungan
Dalam Penjelasan Umum angka 3 UUHT dijelaskan ciri-ciri Hak tanggungan
sebagai berikut:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya (dalam Hukum Perdata Barat disebut droit de preference).
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UUHT dan Pasal 20 ayat (1)b.
13
b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun objek itu
berada (dikenal sebagai droit de suite). Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 7 UUHT.
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan (Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 UUHT).
Asas spesialitas berisi antara lain:
• Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
• Domisili para pihak
• Penunjukan secara jelas hutang-hutang yang dijamin
• Nilai tanggungan, dan
• Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Asas Publisitas berisi antara lain:
Hak Tanggungan yang diberikan juga wajib didaftar di Kantor Pertanahan
sehingga adanya Hak tanggungan serta apa yang disebut dalam APHT
dapat dengan mudah diketahui oleh pihak ketiga atau orang-orang yang
berkepentingan (Pasal 13 UUHT).
c. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Sebagaimana diketahui dalam eksekusi putusan dikenal 4 (emapt) macam
eksekusi, yaitu: Pertama, eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR
merupakan eksekusi putusan yang menhukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Kedua, eksekusi yang diatur dalam Pasal 225
HIR, adalah eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan. Ketiga, eksekusi riil yang tidak diatur dalam HIE tetapi
dalam P:asal 1033 RV yang merupakan pelaksanaan putusan yang berupa
pengosongan benda tidak bergerak. Keempat, eksekusi paraat (parate
executie) dikenal juga sebagai eigenmachtige verkoop terjadi apabila
seseorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa
mempunyai title eksekutorial (Pasal 1155, 1178 ayat (2) KUHPerdata)
artinya, merupakan pelaksanaan perjanjian tanpa melalui gugatan atau
tanpa melalui pengadilan.
2. Sifat-sifat Hak Tanggungan
Sifat-sifat khusus antara lain:
a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar) yang berarti hak
tanggungannya membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian
daripadanya.
Pengecualiannya jika diperjanjikan dalam Akte Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan
dengan cara angsuran (roya partial). Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUHT jo.
Pasal 16 UURS.
b. Perjanjian tambahan atau ikutan (accessoir) yang berarti merupakan
perjanjian tambahan atau pelengkap dari perjanjian pokok; yaitu adanya
14
Hak tanggungan tergantung pada adanya perjanjian hutang piutang antara
debitur dengan kreditur yang dijadikan jaminan pelunasan.
c. Pembebanan objek Hak Tanggungan lebih dari satu kali.
Satu objek Hak tanggunan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak
tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Jadi ada
peringkat pertama, kedua dan seterusnya yang ditentukan menurut
tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
d. Parate Executie/Eigenmechtige verkoop
Apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggugnan atas kekuasaan
sendiri (parate executie) melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
a. Objek Hak Tanggungan
Persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai objek
antara lain:
a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa
uang.
b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus
memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur
cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.
d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang.
Maka sesuai dengan syarat diatas objek Hak Tanggungan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UUHT dan Penjelasan Umum angka 5 adalah
hak atas tanah dengan status sebagai berikut:
1) Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1)a, b, c
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA (Pasal 4 ayat
(1) UUHT) yaitu:
• Hak Milik (Pasal 25)
• Hak Guna Usaha (Pasal 33)
• Hak Guna Bangunan (Pasal 39)
2) Yang ditunjuk oleh UURS (lihat Pasal 27 UUHT jo. Pasal 12 dan 13
UURS).
3) Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a UURS jo. Pasal
27 UUHT berikut penjelasannya).
4) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas
tanak Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara
(Pasal 13a UURS jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
15
5) Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
6) Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
b. Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan subjek Hak Tanggungan menurut Pasl 8 ayat (1)
dan Pasal 9 UUHT, baik pemberi maupun penegang Hak Tanggungan adalah
orang perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan; sedangkan pemegang Hak Tanggungan berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang (kreditur).
Syarat-syarat sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak
Tanggungan adalah:
• Warga Negara Indonesia
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di Indonesia maupun di
manca negara
• Badan Hukum Indonesia
• Badan Hukum Asing, baik yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia maupun yang berkantor pusat di manca negara.
Pemberi Hak Tanggungan:
• Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan tunggal sebagai
pemegang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah Negara.
• Badan Hukum Indonesia sebagai pemegang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di dan menjadi
penduduk Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah
Negara.
• Badan Hukum Asing, yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara.
VI. Masalah-masalah Dalam Penyelesaian Jaminan Kredit
a. Penyelesaian Melalui Proses Litigasi
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata seorang berutang dinyatakan telah lalai
memenuhi prestasinya bila berdasarkan suatu surat perintah atau akta sejenisnya
dinyatakan demikian, kecuali jika perikatannya sendiri telah menetapkan bahwa
si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Surat
perintah adalah pernyataan resmi dari juru sita pengadilan, sedangkan akta
sejenis adalah peringatan tertulis.4 Apabila seorang debitur sudah diperingatkan
4 R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 1978), hal 44.
16
dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia tetap tidak melaksanakan prestasinya
maka salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk menuntut
haknya adalah melakukan gugatan perdata melalui pengadilan.
Agar debitur tidak mengalihkan hartanya untuk memenuhi putusan pengadilan,
dalam gugatan harus dicantumkan permohonan putusan provisionil berupa
penetapan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta kekayaan tertentu
debitur. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196 HIR dapat dimintakan
bantuan Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan putusan itu secara paksa.
Pelaksanaan putusan secara paksa ini dibuat eksekusi atau execution forcee. Jika
sudah lewat jangka waktu yang ditetapkan pengadilan pihak yang dikalahkan
tidak memenuhi putusan atau tidak datang menghadap, sesuai dengan ketentuan
Pasal 196 jis Pasal 197 ayat (1) HIR harta benda yang bersangkutan sampai jumlah
yang dianggap cukup disita oleh pengadilan kemudian dijual melalui Kantor
Lelang Negara. Tata cara menjalankan putusan pengadilan menurut HIR adalah:
a) peringatan (aanmaning), b), sita eksekusi dan (c) penyanderaan. Penyelesalain
melalui litigasi ini sering membuat bank frustasi karena pihak pengadilan
menganggap bahwa dalam hubungan perjanjian kredit antara bank dan nasabah
debitur, nasabah bank adalah pihak yang lemah yang harus dilindungi terhadap
bank sehingga bank sering dikalahkan. Selain itu proses penyelesaian utang
melalui pengadilan ini sangat lamban. Menurut suatu penelitian, dibutuhkan
waktu 3-9 tahun untuk menyelesaikan utang piutang perbankan.5
b. Penyelesaian Melalui PUPN
Dalam praktek pelaksanaan pengurusan piutang negara dijumpai masalahmasalah
yuridis yang secara umum timbul akibat tindakan hukum yang dilakukan
oleh debitur ataupun pihak ketiga yang bekepentingan.
a). Putusan pengadilan yang meninjau/membatalkan pernyataan bersama dan
menetapkan jumlah piutang negara atau penjadwalan kembali angsuran
piutang negara.
PUPN mempunyai wewenang menetapkan jumlah piutang negara dan syaratsyarat
penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk Pernyataan Bersama antara
Ketua PUPN dengan debitur atau penanggung utang. Pernyataan Bersama ini
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara
perdata. Dengan demikian sebenarnya pengadilan tidak dapat membatalkan
Pernyataan Bersama. Mahkamah Agung dalam putusannya No.
1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980 dalam perkara antara BNI 1946
melawan Fa. Megaria antara lain menyatakan tidak ada sarana hukum lewat
prosedur peradilan biasa yang dapat ditempuh untuk menghapus adanya Surat
Pernyataan Bersama. Dalam prkatek sampai dengan akhir semester I tahun
1997/1998 terdapat 107 perkara aktif berupa bantahan atau gugatan melalui
pengadilan Negeri yang diajukan oleh Penanggung Utang menyangkut
kebenaran terhadap penetapan jumlah utang.
5 H.P. Panggabean, “Berbagai Masalah Yuridis yang Dihadapi Perbankan Mengamankan
Pengembalian Kredit yang Disalurkannya”, Varia Peradilan VII No. 80, 1992.
17
b) Pengadilan Negeri Membatalkan Penyitaan dan Pelelangan yang telah
dilakukan oleh PUPN karena penerbitan surat paksa sebagai dasar hukum
Pelelangan tidak didahului dengan Pernyataan Bersama
Dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena penanggung utang
tidak memenuhi panggilan meski telah dipangil dengan patut atau tidak
bersedia menandatangani Pernytaan Bersama, maka PUPN melaksanakan
penagihan sekaligus dengan surat paksa. Meskipun Surat Paksa yang
dikeluarkan PUPN mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dalam praktek
dapat saja tertunda bahkan batal pelaksanaannya atas permintaan debitur
kepada PN. Terdapat beberapa putusan PN yang menbatalkan penyitaan dan
pelelangan yang telah dilakukan PUPN atas dasar Surat Paksa sebagai dasar
hukum pelelangan tidak didahului Pernyataan Bersama.
c) Pengadilan TUN Menilai/Meninjau Surat Paksa, Penyitaan dan Pelelangan
PUPN adalah lembaga yang bertindak atas nama negara untuk mengurus
piutang negara yang terjadi karena adanya perbuatan hukum perdata (utang
piutang). Dalam Pasal 2 a UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN diatur
bahwa Keputusam Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.
Tugas PUPN yang dilaksanakan oleh BUPLN adalah melaksanakan peradilan
semu (quasi rech spraak).Oleh karena itu PUPN dan BUPLN bukanlah tugas
bagai Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam praktik, terdapat putusan
Pengadilan TUN yang meninjau surat paksa, penyitaan dan pelelangan yang
dikeluarkan oleh PUPN.
d) Adanya Putusan Sela (Provisi) dari PN Berupa Penundaan/Pembatalan Lelang
Eksekusi PUPN
Pelelangan yang dilakukan PUPN berdasarkan Pernyataan Bersama dan atau
Surat Paksa bersifat parate eksekusi yang mempunyai kekuatan seperti
putusan hakim. Dengan demikian menurut penjelasan Pasal 11 butir 13 (4) UU
No. 49 Prp. Tahun 1960 tidak dapat ditunda atau dibatalkan karena adanya
sanggahan yang diajukan terhadap sahnya atau kebenaran piutang negara.
Dengan demikian, putusan sela yang dikeluarkan sebelum pemeriksaan pokok
perkara seharusnya hanya dikeluarkan untuk sengketa mengenai pemilikan
objek yang akan dilelang saja.
e) PN Meletakkan Sita Jaminan atau Sita Eksekusi atas Barang yang Telah Disita
Lebih Dahulu oleh PUPN
Pasal 201 dan 202 HIR secara implisit menyatakan bahwa terhadap barang
yang sama tidak dapat diadakan sita rangkap. PUPN seringa mengalami
kesulitan untuk memproses pengurusan piutang negara sampai pada tahap
eksekusi lelang, karena sering terjadi sita rangkap (ganda) yang dilakukan
oleh PN.
f) PN Meletakkan Sita Jaminan atas Barang Jaminan Kredit
Putusan MA No. 394K/PDT/1084 tanggal 13 Mei 1984 menyatakan bahwa PN
tidak dapat melaksanakan sita jaminan atas barang milik Penanggung Utang
yang dijaminkan dan telah diikat hipotik. Dalam praktek terdapat putusan PN
18
yang meletakan sita jaminan terhadap barang yang dijaminkan untuk
melunasi piutang negara yang diikat hipotik atas permintaan pihak ketiga.
g) Untuk Mengosongkan Objek Lelang yang masih Dikuasai oleh Debitur atau
Pihak Lain, PN Mengharuskan Pemenang Lelang Eksekusi PUPN Mengajukan
Gugatan Perdata
Ketentuan mengenai pengosongan rumah atau bangunan yang didiami oleh
penanggung utang atau pihak lain diatur dalam penjelsan Pasal 11 butir 11 UU
No. 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pembeli lelang mengajukan permohonan
kepada Ketua PN untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada juru sita untuk
mengusahakan pengosongan rumah atau bangunan, jika perlu dengan bantuan
alat kekuasaan negara. Namun demikian, PN mengharuskan pemenang lelang
menempuh prosedur gugatan perdata.
c. Masalah Eksekusi Grosse Akta
Pada dasarnya eksekusi atau pelaksanaan putusan dilakukan apabila pihak
tergugat tidak mau melaksanakan putusan hakim yang bersifat condemnatoir dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap secara sukarela. Berdasarkan Pasal 224 HIR,
Grosse Akta merupakan perangkat hukum yang disamakan dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam praktik eksekusi grosse akta
tidak semudah bunyi Pasal 224 HIR. Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksekusi
grosse akta menjadi sulit, yaitu nasabah debitur sengaja mengulur-ulur waktu dengan
mengajukan upaya hukum, adanya perlawanan dari pihak ketiga, kesalahan pihak bank
dalam membuat grosse akta dan Ketua PN kurang memahami pengertian grosse akta.
1. Upaya Hukum Nasabah Debitur atau Pihak Ketiga
Dalam praktik eksekusi grosse akta, tidak sedikit nasabah debitur atau pihak
ketiga yang melakukan upaya hukum untuk menghambat proses eksekusi grosse
akta yang hendak dijalankan oleh Ketua PN. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan nasabah debitur atau pihak ketiga melakukan gugatan perlawanan
(verzet) yaitu antara lain nasabah debitur sengaja melakukannya untuk
menghambat proses dan nasabah debitur merasa dirugikan oleh kecurangan
kreditur dalam menghitung angsuran utang. Contoh kasus adanya perlawanan
pihak ketiga yang disebabkan karena pihak bank lalai untuk meniliti dokumendokumen
yang dibuat antara pihak ketiga dengan nasabah debitur. Dalam perkara
antara PT Bank Kesawan melawan Patsan Oloan Ny. Sitodoer Boru Tupang, PT
Bank Kesawan memberikan kredit pada Citra Pujiarta dengan jaminan grosse akta
pemberian jaminan. Nasabah debitur wanprestasi sehingga bank mengajukan
permohonan eksekusi pada ketua PN Medan, yang kemudian dikabulkan. Pihak
bank kemudian membuat pengumuman lelang di surat kabar. Atas dasar
pengumuman tersebut, pihak pelawan mengajukan perlawanan dengan alasan
tanah yang akan dilelang tersebut adalah milik pelawan. Mahkamh Agung
mengeluarkan putusan yang pada pokoknya menolak kasasi PT Bank Kesawan dan
menyatakan menurut hukum grosse akta adalah tidak sah dan memerintahkan
Wakil Juru Sita PN Medan untuk mencabut, mengangkat kembali sita eksekusi
atas tanah pelawan. Alasan MA adalah proses peralihan hak yang dijadikan
anggunan antara Pelawan dan nasabah debitur cacat hukum.
19
2. Kesalahan Notaris (Bank) Dalam Membuat Grosse Akta
Kekeliruan bank tidak terlepas dari kesalahan notaris yang dipercaya oleh bank
untuk membuat dokumen-dokumen tersebut. Kesalahan ini disebabkan perbedaan
penafsiran mengenai grosse akta. Dalam Pasal 224 HIR hanya dikenal dua bentuk
grosse akta yaitu grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotik yang
masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai spesifikasi yang berbeda. MA hanya
membolehkan kalangan perbankan memilih salah satu dari grosse akta tersebut.
Apabila nasabah debitur telah diikat dengan grosse akta pengakuan utang maka
nasabah debitur tidak boleh diikat lagi dengan bentuk perjanjian hipotik.
Disamping kesalahan mencampuradukkan dua bentuk grosse akta menjadi satu,
kalangan perbankan dan notaris sering juga melakukan kesalahan dalam
pembuatan akta pengakuan utang. Akta pengakuan utang yang dibuat oleh
perbankan dan notaris kadang-kadang bukan berisi pernyataan sepihak dari
nasabah debitur, tetapi merupakan perikatan antara bank dan nasabah debitur
yang masing-masing mengikatkan diri dalam akta pengakuan utang. Dalam
perkara PT Waringin Metal Printing & Santosa melawan Nichimen Co. Ltd. &
Takegawa Co, MA menolak permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang
dengan pertimbangan isi akta pengakuan utang tersebut disertai dengan
perjanjian pinjam uang sejamlah $ 1.952.614,47. Pada hakekatnya surat
pengakuan utang hanya dapat memuat suatu pengakuan utang dengan kewajiban
untuk membayar utang tersebut, yang mempunyai akibat bagi pihak yang
berutang tidak lagi mempunyai hak untuk membela diri. Dalam perkara PT Bank
Pasifik Cabang Medan, MA dalam putusan No. 2414 K.Pdt/1987 tanggal 12
Februari 1990 berpendapat bahwa grosse akta berisikan pengakuan utang dengan
pemberian jamian, dimana diperjanjikan pula mengenai barang-barang yang akan
dijaminkan dan syarat-syarat mengenai jaminan tersebut. Dengan demikian
grosse akta semacam itu bukanlah merupakan grosse akta yang dapat dieksekusi
sesuai Pasal 224 HIR.
Dalam perkara antara Bank of America Jakarta mewalan Trisnawati Sudarto, MA
mengabulkan bantahan Trisnawati dengan pertimbangan antara lain Akta
Pernyataan yang dibuat tanggal 15 Januari 1984 hanyalah merupakan akta di
bawah tangan yang tidak berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Oleh karena itu eksekusi yang diajukan oleh BOA adalah tidak ada
dasar hukummya, bahwa Akta Notaris No. 147 yang berisi loan agreement dan
Akta Noratis No. 148 yang berisi acknowledgement of indebtedness and security
agreement adalah bukan grosse akta.
Dalam pembuatan akta pengakuan utang sering juga ditemui jumlah utang
nasabah debitur belum dapat dipastikan jumlahnya. MA berpendapat akta
pengakuan utang seperti ini tidak dapat dieksekusi. Nasabah debitur yang tidak
bersedia menandatangani Surat Pernyataan Bersama juga dapat ditafsirkan
bahwa secara hukum belum terdapat jumlah utang yang pasti. Satu hal yang
merupakan kesalahan adalah adanya anggapan bahwa grosse akta perjanjian
kredit mempunyai fungsi yang sama dengan grosse akta pengakuan utang. Dengan
bekal pemahaman ini. Kalangan notaris dan perbankan menganggap dengan
dicantumkannya kata-kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada grosse akta perjanjian kredit, maka grosse akta tersebut telah
mempunyai kekuatan eksekutorial. MA tidak mengakui grosse akta perjanjian
20
kreidt sebagai grosse akta pengakuan utang. Hal ini dapat dilihat dalam
Keputusan MA No. 1520.K/Pdt./1984 yang melibatkan PT Pan Indonesian Bank
melawan PT Ripe Indonesia.
d. Agunan Harta Bersama
Mahkamah Agung dalam perkara No.1851 K/Pdt/1996 tanggal 23 Pebruari 1998
menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian
yang mengharuskan manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak Penggugat adalah
usteri tergugat yang tidak turut menandatangani surat agunan tersebut. Pembebanan
tanah harta bersama tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar
pertimbangan adil dan patut. Dalam perkara ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera
Utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah adanya penjaminan utang yang
dibuat dalam grosse akta. Pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum
lain, dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan permohonan eksekusi tersebut.
Penggugat merasa dirugikan karena objek yang dimohonkan eksekusi adalah harta
bersama. Harta bersama dapat dikategorikan sebagai hak milik bersama. Dikatakan hak
milik bersama karena terdapat beberapa orang pemilik ata suatu benda yang sama.
Selain KUHPerdata, UU Perkawinan mengenal adanya harta milik bersama yang disebut
sebagai harta bersama. Hak milik bersama ada dua macam yaitu hak milik bersama yang
bebas dan hal milik yang terkait. Hak milik bersama yang bebas terjadi karena
diperjanjikan antara beberapa pemilik bersama atas suatu benda. Hak milik bersama
yang terkait terjadi karena ketentuan undang-undang dan sebagai akibat hubungan
hukum yang sudah ada lebih dahulu. Misalnya pemilik bersama harta perkawinan akibat
adanya perkawinan, pemilik bersama atas harta peninggalan akibat adanya pewarisan.
Tiap pemilik harta bersama tidak dimungkinkan bebrbuat apa saja tanpa izin dari
pemilik bersama lainnya.
e. Penafsiran Pasal 1831 dan 1822 KUHPerdata: Penanggungan Utang
(borgtocht)Putusan Pengadilan Niaga No.70/PAILIT/1999/PN.NIAGA/JKT.PST
Tanggal 1 November 1999
Duduk perkara
PT Gardiana Interbullion Corporation (“GIC”) adalah debitur dari Bank Ekonomi
berdasarkan Akte perjanjian Kredit Nomor 79, tertanggal 13 Maret 1997 dan Akta
Perjanjian Kredit nomor 80, tertanggl 7 Mei 1997.
Perjanjian Kredit dimaksud dijamin oleh fixed asset dan Jaminan Pribadi dari Jasip
Ngakiwan berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) nomor 81 tertanggal 13 Maret
1997.
Pada saat jatuh tempo yaitu pada tanggal 13 Maret 1998, GIC tidak mampu
mengembalikan seluruh utangnya kepada Bank Ekonomi. Dan untuk itu telah dilakukan
pelelangan atas jaminan berupa fixed assets yang tidak mencukupi untuk melunasi
seluruh utang debitur.
Oleh karena hasil pelelangan jaminan fixed assets tidak mencukupi, maka bank Ekonomi
berdasarkan Akta Jaminan Pribadi menuntut pemenuhan pembayaran atas utang GIC dari
21
Jasip Ngakiwan selaku penjamin pribadi yang telah melepaskan sebagian hak-hak
istimewanya dan dengan demikian bertanggung jawab layaknya seorang debitur yang
menggantikan debitur semula (GIC).
Dalil pemohon
Bank Ekonomi (selanjutnya disebut sebagai pemohon) mendalilkan sebagai berikut:
- Bahwa oleh karena GIC telah tidak mampu membayar, maka Jasip Ngakiwan
(selanjutnya disebut Termohon) selaku Penjamin Pribadi otomatis menggantukan
kedudukan GIC selaku Debitur;
- Bahwa Termohon telah melepaskan segala hak-hak dan hak utama yang diberikan
Undang-undang kepada Termohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1430, 1843,
1847, 1848 dan Pasal 1849 KUHP;
- Bahwa Termohon, selain menjadi Penjamin Pribadi dari GIC, adalah juga Debitur
dari Bani UUPINDO dan penjamin pribadi atas utang PT Goldpindo Rajabrana pada
Bank UPPINDO;
- Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Termohon telah secara sederhana
terbukti memiliki lebih dari satu kreditur dan telah tidak membayar sedikitnya
satu uatang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dalil Termohon
- Termohon menyatakan bahwa fakta-fakta yang diajukan pemohon tidak terbukti
secara hukum.
- Untuk itu permohonan Pemohon harus ditolak.
Pertimbangan Hukum
- Menimbang bahwa yang menjadi posita dari permohonan adalah bahwa Termohon
adalah penjamin guna menjamin pelunasan utang-utang GIC kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon telah menyatakan
dan mengikatkan diri sebagai Penjamin dan karenanya bertanggungjawab
sepenuhnya dengan harta bendanya guna menjamin utang-utang GIC kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dalam Akta Penjaminan dinyatakan bahwa Termohon secara
otomatis menggantikan kedudukan GIC untuk membayar lunas kewajibannya pada
Pemohon, setelah terpenuhinya syarat sebagai berikut:
1. Walaupun telah diperingatkan dengan layak, tidak atau belum dapat
memenuhi kewajibannya kepada Pemohon,
2. Jatuh pailit,
3. Minta penangguhan pembayaran utang atas putusan pengadilan,
4. Di likuidasi.
22
- Menimbang bahwa Pemohon telah melakukkan penegoran kepada GIC secara
patut;
- Menimbang bahwa telah dilakukan pelelangan atas harta-harta debitur, dimana
pelelangan dimaksud tidak mencukupi untuk melunasi utang debitur kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dengan demikian Termohon telah dan menggantikan
kedudukan GIC untuk membayar lunas seluruh kewajiban kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon tidak hanya
berkedudukan sebagai penjamin akan tetapi juga mengikatkan diri sebagai yang
bertanggung jawab atas kewajiban GIC;
- Menimbang bahwa degnan demikian termohon baik sebagai Penjamin maupun
sebagai Debitur dapat dipailitkan;
- Menimbang bahwa Termohon telah ditegor untuk membayar utang;
- Menimbang bahwa utang GIC telah jatuh tempo;
- Menimbang bahwa selain menjadi Penjamin pada Pemohon, Termohon adalah
juga Penjamin utang PT Godpindo Rajabrana pada Bank UPPINDO dan juga
Debitur pada Bank UPPINDO;
- Menimbang bahwa dengan demikian maka telah terbukti bahwa Termohon
memiliki utang kepada lebih satu kreditur dan sedikitnya tidak membayar satu
utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
- Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas setelah
dihubungkan satu dengan yang lainnya, ternyatalah bahwa sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3) UUK telah terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sah dan sederhana bahwa persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK telah terpenuhi, sehingga oleh karena itu
Termohon akan dinyatakan Pailit.
Mengadili
- Mengabulkan permohonan Pemohon;
- Menyatakan bahwa termohon: Jasip Ngakiwan dengan alamat Jl. Cempaka No. 22
RT. 011/RW 002 Pasar Baru-Jakarta Pusat PAILIT;
- Mengangkat dan menunjuk;
1. Sdr. Hasan Basri, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas,
2. Sdr. Gunawan Widyaatmadja, SH., & Rekan dengan alamat Jl. Bima No. 27
Kemanggisan Tomang Barat Jakarta sebagai Kurator.
- Menetapkan besarnya biaya Kurator sebesar 2,5% dari harta Debitur;
- Membebankan kepada Termohon untuk membayar segala ongkos perkara sebesar
Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).
~~***~~
1
JAMINAN KREDIT
Kendala dan Masalah•
I. Pendahuluan
Prinsip 5C dalam pemberian kredit telah digunakan selama bertahun-tahun dan
kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan. Prinsip ini meliputi:
• Character (watak);
• Capacity (Kemampuan);
• Capital (Modal);
• Conditions; and
• Collateral (Jaminan).
Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk
dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang,
ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan
faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan
untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence menjalankan bisnis tidak
diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan buruk, dan hasilnya kredit akan
mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya,
kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu,
penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk
mendapatkan pinjaman.
Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada bank
bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan track
record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di
Australia informasi semacam itu dapat didapatkan pada biro kredit, seperti Credit
Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). CRAA mengelola database yang berisi
data kredit baik perorangan maupun perusahaan yang ada di Australia, yang memuat
berbagai informasi dari kredit yang telah diajukan, pembayaran yang telat dan juga
putusan pengadilan yang berhubungan dengan kredit macet. Lembaga keuangan yang
menjadi anggota CRAA berhak untuk untuk mendapatkan informasi tentang si peminjam,
• Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk,
diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
2
dan sebagai imbalannya, mereka harus menyediakan informasi dari pinjaman yang akan
diajukan.
Di Indonesia informasi tentang nasabah dapat diperoleh melalui system informasi
kredit yang dimiliki Bank Indonesia. Namun karena tidak adanya system “kenal diri” yang
berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi
itu seringkali tidak akuran. Bank Indonesia saat ini sedang dalam proses untuk
mendirikan biro kredit yang berfungsi seperti CRAA.
Sedangkan modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari si
peminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu
memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan asset dan passiva dari si
peminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga pinjaman
mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas ratio maksimal asset dan
passiva.
Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi
eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk
mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang
memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak
mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai resiko dari pinjaman,
tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan. Bank tidak memberikan
kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat
membahayakan lingkungan.1
Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit macet.
Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang
diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan. Kesulitan bank dalam
melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C sebagaimana dikemukakan di atas
dapat diatas dengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit. Dengan adanya
skim tersebut maka bank lebih mudah menilai risiko kredit yang diberikannya.
II. Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya kebendaan yang dijadikan
objek jaminan, dan lain sebagainya.
a. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan
oleh seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal 1132, pasal
1134 ayat (1)). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang
dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya,
seperti gadai, hipotik, hak tanggungan dan fiducia.
1 PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney: Lawbook Co., 2001),
hal. 97-104.
3
b. Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan
menjadi jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditu. Kitab Undangundang
Hukum Perdata pada pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perserorangan. Hal ini berarti seluruh harta kekayaan milik debitur
akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua kreditur.
Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap,
baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang
baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah
perjanjian utang piutang diadakan.
Dengan demikian, seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan
umum atas pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak
diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena undang-undang,
sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.
Dalam jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditur mempunyai
kedudukan yang sama terhadap kreditur-kreditur lain, tidak ada kreditur yang
diutamakan atau diistimewakan dari kreditur-kreditur lain.
Karena jaminan umum kurang menguntungkan bagi kreditur, maka
diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus
sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan
mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada krediturkreditur
lain dalam pelunasan utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan
perlindungan kepada kreditur dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenai
hal ini. Jaminan khusus memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi
pemegangnya.
c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak
atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas
benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan
gadai, dan lain-lain).
Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan lansung pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan
terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya ( contoh:
borgtocht).
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat
berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda
bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.
Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan
jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan
4
pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan
account receivable.
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang
lainnya, dengan bentuk, yiatu:
1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu
hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang
diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut
dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.
2) Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas
tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu
ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditu lain.
3) Fiducia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan
hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.
Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk:
1) Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu
perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang
tersebut tidak memenuhinya.
2) Perjanjian Garansi/indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUH Perdata, yang
berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau
menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan
berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi
terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah
berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika
pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan
Sesuai dengan namanya, kredit diberikan kepada debitur berdasarkan
kepercayaan si kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar
kembali utang-utangnya kelak.
Sementara jaminan-jaminan lainnya yang bersifat kontraktual, seperti hak
tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fiducia, dan sebagainya hanya dianggap
sebagai “jaminan tambahan” semata-mata, yakni tambahan atas jaminan
utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.2
2 Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal.
69-70
5
e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang
dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan
menggunakan hak tanggungan atas tanah, sedangkan kalau yang dijamin adalah
kapal laut atau pesawat udara, maka pembebanannya dengan menggunakan
gadai, fiducia, cessie dan account receivable.
f. Jaminan regulative dan jaminan non regulative
Jaminan regulative adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri
sudah diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tergolong ke dalam jaminan regulative ini antara lain adalah hipotik,
gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang. Sedangkan jaminan non regulative
adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek.
Jaminan non regulative ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti
pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan
non regulative yang semata-mata hanya bersifat kontraktual, seperti kuasa
menjual dan lain-lainnya.
g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional
Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama
dikenal dalam system hukum kita, baik yang telah diatur dalam perundangundangan,
hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan
yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama dilaksanakan
dalam praktek, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang bergerak, gadai
tanah, fiducia, garansi, dan akta pengakuan utang.
Sementara itu bentuk-bentuk jaminan non konvensional adalah bentukbentuk
jaminan yang eksistensinya dalam system hukum jaminan yang masih
terbilang baru sungguh pun sudah dilaksanakannya secara meluas, sehingga
pranatanya belum sempat pula diatur secara rapi, antara lain seperti pengalihan
hak tagih debitur (assignment of receivable for security purposes), pengalihan
hak tagih klaim (assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan
menutupi kekurangan biaya (cash deficiency).
h. Saham sebagai agunan tambahan
Dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal yang sehat,
diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal,
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Sehubungan dengan hal itu, bank diperkenankan meminta agunan
tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya jaminan
pemberian kredit.
6
Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU masing-masing
tanggal 7 September 1993 perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang
menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit.
Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada
Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham.
Ditegaskan bahwa bank diperkenankan untuk memberikan kredit dalam
agunan tambahan berupa saham perusahaan yang dibiayai dalam rangka ekspansi
atau akuisisi.
Berdasarkan ketentuan yang baru, bank juga diperbolehkan memberikan
kredit dengan agunan tambahan berupa saham, baik yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar di bursa efek.
Untuk pemberian kredit dalam rangka ekspansi atau akuisisi, bank
diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham yang terdaftar maupun
yang tidak terdaftar di bursa efek. Jika saham yang diagunkan termasuk saham
yang terdaftar di bursa, maka saham yang bersangkutan tidak termasuk saham
yang tidak mengalami transaksi dalam waktu tiga bulan berturut-turut sebelum
saat akad kredit ditandatangani dan saham dengan harga pasar dibawah nilai
nominal pada saat akad kredit ditandatangani.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit maksimim
sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan dibursa efek
pada saat akad kredit ditandatangani. Sebaliknya jika saham yang diagunkan
berupa saham yang tidak terdaftar di bursa efek, maka saham tersebut dibatasi
hanya pada saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit yang
bersangkutan.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kreditnya adalah
maksimum sebesar nilai nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga perusahaan yang bersangkutan.
III Hak-Hak yang Memberi Jaminan yang Mempunyai Sifat Privilege
1. Pengertian
Privilege termasuk jenis piutang yang diberikan keistimewan atau piutang yang
lebih didahulukan (bevoorrechte scdhulden) dalam hal ada pelelangan (executie) dari
harta kekayaan debitur dan dalam hal terjadi kepailitan. Hak untuk didahulukan
diantara orang-orang berpiutang menurut ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata timbul
dari hak istimewa (privilege), disamping dari gadai dan hipotik.
Selanjutnya Pasal 1134 KUHPerdata mengatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Hak istimewa (privilege) adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
7
2. Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam halhal
dimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dengan demikian Privilege adalah hak yang diberikan undang-undang terhadap
seseorang, dan tidak diperjanjikan seperti halnya Gadai dan Hipotik.
Privilege sendiri dapat dibagi dalam dua macam yaitu:
1. Privilege khusus yang tercantum dalam Pasal 1139 KUHPerdata ada 9, merupakan
privilege yang diberikan terhadap benda-benda tertentu dari debitur.
2. Privilege umum diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata ada 7, merupakan privilege
yang diberikan terhadap semua kekayaan debitur.
Privilege khusus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Privilege
umum (Pasal 1138 KUHPerdata) dan tidak ditentukan urutannya, maksudnya
walaupun disebut berturut-turut tapi tidak mengharuskan adanya urutan; sedangkan
Privilege umum ditentukan urutannya artinya yang lebih dahulu disebut, dengan
sendirinya didahulukan dalam pelunasannya.
2. Ciri-Ciri/Sifat-sifat Privilage
a. Privilege baru ada kalau terjadi penyitaan barang dan hasil penjualannya
tidak cukup untuk membayar seluruh hutang kepada kreditur.
b. Privilege tidak memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda
c. Merupakan hak terhadap benda debitur
d. Merupakan hak untuk didahulukan dalam pelunasannya.
Oleh karena itu Privilege bukanlah termasuk jaminan kebendaan karena pada hak
kebendaan cirri-ciri sebagai berikut:
1. Hak itu sudah ada tanpa harus menunggu ada penyitaan barang debitur
terlebih dahulu.
2. Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda.
3. hak kebendaan merupakan hak terhadap suatu benda.
Namun Privilege diatur dalam Buku II KUHPerdata sejajar dengan hak kebendaan.
Hal ini disebabkan Privilege juga memiliki sifat droit de suite dan merupakan hak
yang memberikan jaminan seperti halnya Gadai dan Hipotik. Namun para sarjana
menganggap bahwa seharusnya Privilege dimasukkan kedalam Hukum Acara pedata
yang termasuk Executie (pelelangan) harta kekayaan debitur dan dalam hal debitur
jatuh pailit.
Privilege juga bukan merupakan jaminan perorangan sebab hak perorangan itu
timbul pada saat suatu perjanjian terjadi misalnya, jual beli, sewa menyewa dan
lain-lain, sedangkan Privilege timbul bila barang-barang yang disita tidak mencukupi
untuk langsung melunasi hutang. Disamping itu hak perongan lansgsung memberikan
suatu tuntutan/tagihan terhadap seseorang, sedangkan pada Privilage baru ada
tuntutan dalam hal debitur pailit.
Perbedaan antara Gadai dan Hipotik dengan Privilege adalah kalau Gadai dan
Hipotik adalah karena diperjanjikan sedangkan Privilege diberikan/ditentukan oleh
8
Undang-undang. Kemudian Gadai dan Hipotik lebih didahulukan daripada Privilege,
kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2),
1139 ayat (1) dan 1149 ayat (1) KUHPerdata); antara Gadai dan Hipotik tidak
dipersoalkan mana yang harus didahulukan sebab Gadai berkaitan dengan benda
bergerak sedangkan Hipotik mengenai benda tidak bergerak. Selanjutnya pada
Gadai, para pihak bebas untuk menjamin dengan Gadai terhadap piutang apapun
juga, sedangkan pada Privilege, Undang-undang mengaitkan Privilege itu pada
hubungan-hubungan hukum tertentu.
Meskipun Gadai dan Hipotik berada dalam urutan di atas Privilege artinya hak
utama yang diperjanjikan berada di atas hak utama menurut undang-undang namun
ada pengecualiannya yaitu dalam hal undang-undang menentukan sebaliknya;
termasuk didalamnya antara lain hutang-hutang sebagai berikut:
1. Ongkos-ongkos dalam rangka eksekusi
2. Uang sewa
3. Ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk pemeliharaan benda-benda yang
bersangkutan sesudah benda-benda tersebut digadaikan.
4. Beberapa Privilege lainnya seperti pajak-pajak, bea-cukai dan lain-lain.
5. Hak-hak utama dalam Pasal 318 KUHDagang dan lain-lain
IV. Surety Bond dan Bank Garansi
Praktek penjaminan sudah sejak lama dilakukan oleh lembaga keuangan
khususnya bank, dalam bentuk bank garansi. Sedangkan dalam dunia asuransi
penjaminan dilakukan dalam bentuk surety bond merupakan suatu bentuk penjaminan
yang relatif baru di Indonesia. Bisnis surety bond di Indonesia mulai diperkenalkan sejak
tahun 1980 atas kebijakan pemerintah dengan tujuan untuk membantu para pengusaha
ekonomi lemah untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk itu pemerintah
mengeluarkan Keppres No. 14A/80 tahun 1980 tentang pelaksanaan APBN/APBD dan
bantuan luar negeri. Berdasarkan Keppres tersebut dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 271/KMK.011/1980 Tentang Pemberian Ijin Bagi Bank-bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank untuk dapat Menerbitkan Jaminan. Dalam pelaksanaannya
pemerintah menetapkan pemberian ijin kepada lembaga keuangan non bank untuk
menerbitkan surety bond sebagai alternatif bank garansi, yang ditunjuk pada waktu itu
adalah PT. Asuransi Jasa Raharja (persero).
Secara teori dan praktek terdapat kemiripan antara bank garansi dan garansi
asuransi dalam bentuk surety bond yang pada intinya bahwa baik bank atau asuransi
menjamin untuk memenuhi kewajiban apabila yang dijamin di kemudian hari ternyata
tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga sebagaimana telah diperjanjikan.
Bank garansi sudah lebih dahulu dikenal sebagai lembaga penjaminan atas hutang
atau kewajiban debitur kepada pihak ketiga, dimana tentunya prinsip-prinsip perbankan
dan kehati-hatian diterapkan dalam menganalisa permohonan bank garansi oleh debitur.
Melihat potensi pasar yang cukup menggiurkan itulah perusahaan asuransi
kerugian meluncurkan produk penjaminan yang mirip bank garansi yang lebih dikenal
dengan surety bond, yang merupakan produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan
9
asuransi sebagai upaya pengambilalihan resiko kerugian yang mungkin dialami debitur
yang umumnya sebagai kontraktor yang diberikan kepercayaan oleh pemilik proyek
dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan
tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi
selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur) sebagai
konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur) tersebut.
Dasar hukum antara surety bond dan bank garansi terdapatl perbedaan. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh sifat alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan
penerbitannya tidak lepas dari prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan
permohonan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang
diajukan untuk penerbitan bank garansi. Perbedaan pokok surety bond dan bank garansi.
Pertama, lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety bond
oleh lembaga asuransi. Oleh karena itu, teknis penerbitannya mengikuti ketentuan yang
berlaku bagi lembaga tersebut yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi.
Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral). Sedang asuransi
mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko disebar diantara
penanggung uang (reasuransi). Kedua, bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang
penanggungan hutang/borgtoght sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya
pasal 1831 dimana bank dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk
pelunasan kewajibannya. Sedangkan surety bond adalah perjanjian indemnitas dan
diatur dalam pasal 1316 KUH Perdata di mana kedudukan lembaga asuransi sebagai
penjamin dan prinsipal adalah setara dan mengganti secara tanggungan renteng. Ketiga,
garansi yang diterbitkan bank mempunyai jangka waktu terbatas dalam arti tidak dapat
diperpanjang secara otomatis. Apabila setelah dikaji ternyata nasabah tidak layak diberi
jaminan atau posisi penjamin tidak memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan
yang sudah jatuh tempoh maka bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang
jaminan dimaksud. Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka
waktu surety bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat prinsipal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan kontrak
surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak pembayaran.
Keempat, dalam surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor gagal
maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang pemutusan
hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus diperhitungkan dengan
pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak surety dalam hal ini asuransi
membayar hanya sebesar kerugian yang sungguh, sungguh diderita obligee. Berbeda
halnya dengan bank garansi yang bersifat tanpa syarat (unconditional) dimana apabila
principal telah gagal/lalai memenuhi kewajibannya maka obligee secara sepihak dan
mutlak dapat melakukan pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan prinsipal
sama sekali tidak diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara
penuh.
Setelah diuraikan dasar hukum dan prinsip surety bond dan bank garansi di atas
dapatlah ditarik perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat
alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan penerbitannya tidak lepas dari
prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan permohonan surety bond terhadap
10
perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan bank
garansi yang menggunakan prinsip perbankan yang berhati-hati.
Adanya ketentuan tentang prinsip “5C” membuat ketergantungan pihak bank
terhadap principal lebih kecil dalam hal harus dilakukan pencairan bank garansi terebut.
Bank akan berani hanya melihat pada alasan-alasan hukum telah terjadi wanprestasi dari
pihak yang dijamin (principal) tanpa harus takut hak subrograsinya3 akan mengalami
persoalan bila tidak terlebih dahulu mendapat pengakuan wanprestasi dari principal. Hal
ini dapat terjadi karena pada umumnya bank telah memegang jaminan yang cukup
sebagai kontra garansi terhadap bank garansi yang diberikan.
Bank garansi dalam memberikan jaminan harus memperhatikan kemampuan bank
dalam menanggung resiko dan biasanya erat dikaitkan dengan nilai batas maksimum
pemberian kredit. Sedang dalam surety bond, asuransi dapat menjamin lebih besar,
karena dalam perusahaan asuransi dapat diatasi dengan mekanisme pertanggungan ulang
atau reasuransi.
Perbedaan pemahaman antara lembaga perbankan dan lembaga perasuransian
terhadap penjaminan tersebut, membuat sikap lembaga perbankan dan asuransi
mengenai jaminan (collateral antau kontra garansi) sebagai bagian dari aktivitas
pemberian kredit yang menimbulkan “contigent liabilitas”, menerapkan syarat
pemberian kredit yang melihat collateral sebagai back-up dari bank garansi yang
diberikan. Sementara bagi lembaga perasuransian yang tidak melihat hal ini sebagai
kredit melainkan peralihan resiko dan tanggung jawab hukum, sehingga sampai saat ini
belum melihat collateral sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety
dalam hal terjadinya claim pencairan surety bond dari pihak penerima jaminan
(obligee). Sementara itu upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral dengan
mewajibkan principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity
agreement) hampir tidak memberikan perbedaan upaya-upaya, karena walaupun
indemnitu agreement tidak ditandatangani, hak subrograsi dari perusahaan asuransi
untuk dapat penggantian dari debitur atas telah dilaksanakan pencairan jaminan
principal kepada obligee, artinya tanpa indemnity agreement, asuransi tetap dapat
melaksanakan hak subrograsinya kepada principal. Untuk dapat lebih memahami
perbedaan di atas, ada baiknya dikemukakan perbedaan pokok surety bond dan bank
garansi sebagai berikut:
1. Teknis penerbitan
Karena lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety
bond oleh lembaga asuransi, maka teknis penerbitan mengikuti lembaga tersebut
yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi sebagai lembaga penerbit
dimaksud. Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral).
Sedang asuransi mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko
disebar diantara penanggung uang (reasuransi).
2. Hukum perjanjiannya.
Bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang penanggungan hutang/brogtoght
sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya pasal 1831 dimana bank
3 Subrograsi menurut pasal 1840 KUH Perdata adalah “Bahwa si penanggung telah
membayar, maka ia akan menggantikan demi hukum segala hak si berpiutang terhadap si
berhutang”.
11
dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk pelunasan
kewajibannya. Sedangkan surety bond diatas dalam perjanjian indemnitas (J.
Satrio menyebutkan perjanjian garansi) pasal 1316 KUH Perdata di mana
kedudukan lembaga asuransi sebagai penjamin dan principal adalah setara dan
mengganti secara tanggungan renteng.
3. Jangka waktu berlakunya jaminan
Garansi diterbitkan oleh kalangan perbankan mempunyai jangka waktu terbatas
dalam arti tidak dapat diperpanjang secara otomatis. Hal ini terjadi karena
setiap bank penerbit jaminan akan mengikuti aturan yang telah digariskan Bank
Indonesia yang dalam periode tertentu akan dikaji ulang. Apabila setelah dikaji
ternyata nasabah tidak layak diberi jaminan atau posisi penjamin tidak
memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan yang sudah jatuh tempoh maka
bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang jaminan dimaksud.
Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka waktu surety
bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat principal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan
kontrak surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak
pembayaran.
4. Penyelesaian claim
Bagi Surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor
gagal maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang
pemutusan hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus
diperhitungkan dengan pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak
surety dalam hal ini asuransi membyar hanya sebesar kerugian yang sungguh,
sungguh diderita obligee. Berbeda halnya dengan bank garansi yang bersifat
tanpa syarat (unconditional) dimana apabila principal telah gagal/lalai memenuhi
kewajibannya maka obligee secara sepihak dan mutlak dapat melakukan
pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan principal sama sekali tidak
diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara penuh.
V. Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT)
UUHT disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996. Undangundang
ini adalah sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang (RUU) Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam
Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tersebut yang disampaikan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional pada tanggal 15 September 1996 disebutkan
beberapa hal yang menjadi latar belakang diajukannya RUU yang bersangkutan yaitu:
1. Untuk memenuhi tuntutan pembangunan
2. Melaksanakan amanat UUPA
12
A. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebenarnya menyangkut tiga aspek sekaligus yaitu pertama,
yang berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah, kedua, yang berkaitan dengan
kegiatan perkreditan, dan yang ketiga berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para
pihak yang terkait.
1. Berkaitan Erat dengan Hak Jaminan atas tanah
Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat sebagai
berikut:
1) Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanak tidak hanya
menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga benda-benda
yang akan ada (Pasal 4 ayat(4); bandingkan dengan Pasal 1175
KUHPerdata).
2) Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak
atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan Hak
Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu
olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 UUHT).
2. Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan
Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka Hak tanggungan
adalah salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan
khusus kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Oleh karena itu jika dikaitkan
dengan sifatnya, Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan
memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Maka kreditur
yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek Hak Tanggungan tersebut disediakan
khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.
3. Berkaitan dengan Perlindungan Hukum
Hal ini berhubungan dengan masalah perjanjian, hubungan hutang ppiutang
antara kreditur dengan debitur, dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur,
dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur misalnya tidak dapat memenuhi
apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.
B. Ciri-ciri dan Sifat-sifat Hak Tanggungan
1. Ciri-ciri Hak tanggungan
Dalam Penjelasan Umum angka 3 UUHT dijelaskan ciri-ciri Hak tanggungan
sebagai berikut:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya (dalam Hukum Perdata Barat disebut droit de preference).
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UUHT dan Pasal 20 ayat (1)b.
13
b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun objek itu
berada (dikenal sebagai droit de suite). Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 7 UUHT.
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan (Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 UUHT).
Asas spesialitas berisi antara lain:
• Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
• Domisili para pihak
• Penunjukan secara jelas hutang-hutang yang dijamin
• Nilai tanggungan, dan
• Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Asas Publisitas berisi antara lain:
Hak Tanggungan yang diberikan juga wajib didaftar di Kantor Pertanahan
sehingga adanya Hak tanggungan serta apa yang disebut dalam APHT
dapat dengan mudah diketahui oleh pihak ketiga atau orang-orang yang
berkepentingan (Pasal 13 UUHT).
c. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Sebagaimana diketahui dalam eksekusi putusan dikenal 4 (emapt) macam
eksekusi, yaitu: Pertama, eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR
merupakan eksekusi putusan yang menhukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Kedua, eksekusi yang diatur dalam Pasal 225
HIR, adalah eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan. Ketiga, eksekusi riil yang tidak diatur dalam HIE tetapi
dalam P:asal 1033 RV yang merupakan pelaksanaan putusan yang berupa
pengosongan benda tidak bergerak. Keempat, eksekusi paraat (parate
executie) dikenal juga sebagai eigenmachtige verkoop terjadi apabila
seseorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa
mempunyai title eksekutorial (Pasal 1155, 1178 ayat (2) KUHPerdata)
artinya, merupakan pelaksanaan perjanjian tanpa melalui gugatan atau
tanpa melalui pengadilan.
2. Sifat-sifat Hak Tanggungan
Sifat-sifat khusus antara lain:
a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar) yang berarti hak
tanggungannya membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian
daripadanya.
Pengecualiannya jika diperjanjikan dalam Akte Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan
dengan cara angsuran (roya partial). Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUHT jo.
Pasal 16 UURS.
b. Perjanjian tambahan atau ikutan (accessoir) yang berarti merupakan
perjanjian tambahan atau pelengkap dari perjanjian pokok; yaitu adanya
14
Hak tanggungan tergantung pada adanya perjanjian hutang piutang antara
debitur dengan kreditur yang dijadikan jaminan pelunasan.
c. Pembebanan objek Hak Tanggungan lebih dari satu kali.
Satu objek Hak tanggunan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak
tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Jadi ada
peringkat pertama, kedua dan seterusnya yang ditentukan menurut
tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
d. Parate Executie/Eigenmechtige verkoop
Apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggugnan atas kekuasaan
sendiri (parate executie) melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
a. Objek Hak Tanggungan
Persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai objek
antara lain:
a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa
uang.
b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus
memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur
cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.
d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang.
Maka sesuai dengan syarat diatas objek Hak Tanggungan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UUHT dan Penjelasan Umum angka 5 adalah
hak atas tanah dengan status sebagai berikut:
1) Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1)a, b, c
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA (Pasal 4 ayat
(1) UUHT) yaitu:
• Hak Milik (Pasal 25)
• Hak Guna Usaha (Pasal 33)
• Hak Guna Bangunan (Pasal 39)
2) Yang ditunjuk oleh UURS (lihat Pasal 27 UUHT jo. Pasal 12 dan 13
UURS).
3) Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a UURS jo. Pasal
27 UUHT berikut penjelasannya).
4) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas
tanak Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara
(Pasal 13a UURS jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
15
5) Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
6) Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
b. Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan subjek Hak Tanggungan menurut Pasl 8 ayat (1)
dan Pasal 9 UUHT, baik pemberi maupun penegang Hak Tanggungan adalah
orang perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan; sedangkan pemegang Hak Tanggungan berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang (kreditur).
Syarat-syarat sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak
Tanggungan adalah:
• Warga Negara Indonesia
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di Indonesia maupun di
manca negara
• Badan Hukum Indonesia
• Badan Hukum Asing, baik yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia maupun yang berkantor pusat di manca negara.
Pemberi Hak Tanggungan:
• Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan tunggal sebagai
pemegang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah Negara.
• Badan Hukum Indonesia sebagai pemegang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di dan menjadi
penduduk Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah
Negara.
• Badan Hukum Asing, yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara.
VI. Masalah-masalah Dalam Penyelesaian Jaminan Kredit
a. Penyelesaian Melalui Proses Litigasi
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata seorang berutang dinyatakan telah lalai
memenuhi prestasinya bila berdasarkan suatu surat perintah atau akta sejenisnya
dinyatakan demikian, kecuali jika perikatannya sendiri telah menetapkan bahwa
si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Surat
perintah adalah pernyataan resmi dari juru sita pengadilan, sedangkan akta
sejenis adalah peringatan tertulis.4 Apabila seorang debitur sudah diperingatkan
4 R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 1978), hal 44.
16
dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia tetap tidak melaksanakan prestasinya
maka salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk menuntut
haknya adalah melakukan gugatan perdata melalui pengadilan.
Agar debitur tidak mengalihkan hartanya untuk memenuhi putusan pengadilan,
dalam gugatan harus dicantumkan permohonan putusan provisionil berupa
penetapan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta kekayaan tertentu
debitur. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196 HIR dapat dimintakan
bantuan Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan putusan itu secara paksa.
Pelaksanaan putusan secara paksa ini dibuat eksekusi atau execution forcee. Jika
sudah lewat jangka waktu yang ditetapkan pengadilan pihak yang dikalahkan
tidak memenuhi putusan atau tidak datang menghadap, sesuai dengan ketentuan
Pasal 196 jis Pasal 197 ayat (1) HIR harta benda yang bersangkutan sampai jumlah
yang dianggap cukup disita oleh pengadilan kemudian dijual melalui Kantor
Lelang Negara. Tata cara menjalankan putusan pengadilan menurut HIR adalah:
a) peringatan (aanmaning), b), sita eksekusi dan (c) penyanderaan. Penyelesalain
melalui litigasi ini sering membuat bank frustasi karena pihak pengadilan
menganggap bahwa dalam hubungan perjanjian kredit antara bank dan nasabah
debitur, nasabah bank adalah pihak yang lemah yang harus dilindungi terhadap
bank sehingga bank sering dikalahkan. Selain itu proses penyelesaian utang
melalui pengadilan ini sangat lamban. Menurut suatu penelitian, dibutuhkan
waktu 3-9 tahun untuk menyelesaikan utang piutang perbankan.5
b. Penyelesaian Melalui PUPN
Dalam praktek pelaksanaan pengurusan piutang negara dijumpai masalahmasalah
yuridis yang secara umum timbul akibat tindakan hukum yang dilakukan
oleh debitur ataupun pihak ketiga yang bekepentingan.
a). Putusan pengadilan yang meninjau/membatalkan pernyataan bersama dan
menetapkan jumlah piutang negara atau penjadwalan kembali angsuran
piutang negara.
PUPN mempunyai wewenang menetapkan jumlah piutang negara dan syaratsyarat
penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk Pernyataan Bersama antara
Ketua PUPN dengan debitur atau penanggung utang. Pernyataan Bersama ini
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara
perdata. Dengan demikian sebenarnya pengadilan tidak dapat membatalkan
Pernyataan Bersama. Mahkamah Agung dalam putusannya No.
1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980 dalam perkara antara BNI 1946
melawan Fa. Megaria antara lain menyatakan tidak ada sarana hukum lewat
prosedur peradilan biasa yang dapat ditempuh untuk menghapus adanya Surat
Pernyataan Bersama. Dalam prkatek sampai dengan akhir semester I tahun
1997/1998 terdapat 107 perkara aktif berupa bantahan atau gugatan melalui
pengadilan Negeri yang diajukan oleh Penanggung Utang menyangkut
kebenaran terhadap penetapan jumlah utang.
5 H.P. Panggabean, “Berbagai Masalah Yuridis yang Dihadapi Perbankan Mengamankan
Pengembalian Kredit yang Disalurkannya”, Varia Peradilan VII No. 80, 1992.
17
b) Pengadilan Negeri Membatalkan Penyitaan dan Pelelangan yang telah
dilakukan oleh PUPN karena penerbitan surat paksa sebagai dasar hukum
Pelelangan tidak didahului dengan Pernyataan Bersama
Dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena penanggung utang
tidak memenuhi panggilan meski telah dipangil dengan patut atau tidak
bersedia menandatangani Pernytaan Bersama, maka PUPN melaksanakan
penagihan sekaligus dengan surat paksa. Meskipun Surat Paksa yang
dikeluarkan PUPN mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dalam praktek
dapat saja tertunda bahkan batal pelaksanaannya atas permintaan debitur
kepada PN. Terdapat beberapa putusan PN yang menbatalkan penyitaan dan
pelelangan yang telah dilakukan PUPN atas dasar Surat Paksa sebagai dasar
hukum pelelangan tidak didahului Pernyataan Bersama.
c) Pengadilan TUN Menilai/Meninjau Surat Paksa, Penyitaan dan Pelelangan
PUPN adalah lembaga yang bertindak atas nama negara untuk mengurus
piutang negara yang terjadi karena adanya perbuatan hukum perdata (utang
piutang). Dalam Pasal 2 a UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN diatur
bahwa Keputusam Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.
Tugas PUPN yang dilaksanakan oleh BUPLN adalah melaksanakan peradilan
semu (quasi rech spraak).Oleh karena itu PUPN dan BUPLN bukanlah tugas
bagai Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam praktik, terdapat putusan
Pengadilan TUN yang meninjau surat paksa, penyitaan dan pelelangan yang
dikeluarkan oleh PUPN.
d) Adanya Putusan Sela (Provisi) dari PN Berupa Penundaan/Pembatalan Lelang
Eksekusi PUPN
Pelelangan yang dilakukan PUPN berdasarkan Pernyataan Bersama dan atau
Surat Paksa bersifat parate eksekusi yang mempunyai kekuatan seperti
putusan hakim. Dengan demikian menurut penjelasan Pasal 11 butir 13 (4) UU
No. 49 Prp. Tahun 1960 tidak dapat ditunda atau dibatalkan karena adanya
sanggahan yang diajukan terhadap sahnya atau kebenaran piutang negara.
Dengan demikian, putusan sela yang dikeluarkan sebelum pemeriksaan pokok
perkara seharusnya hanya dikeluarkan untuk sengketa mengenai pemilikan
objek yang akan dilelang saja.
e) PN Meletakkan Sita Jaminan atau Sita Eksekusi atas Barang yang Telah Disita
Lebih Dahulu oleh PUPN
Pasal 201 dan 202 HIR secara implisit menyatakan bahwa terhadap barang
yang sama tidak dapat diadakan sita rangkap. PUPN seringa mengalami
kesulitan untuk memproses pengurusan piutang negara sampai pada tahap
eksekusi lelang, karena sering terjadi sita rangkap (ganda) yang dilakukan
oleh PN.
f) PN Meletakkan Sita Jaminan atas Barang Jaminan Kredit
Putusan MA No. 394K/PDT/1084 tanggal 13 Mei 1984 menyatakan bahwa PN
tidak dapat melaksanakan sita jaminan atas barang milik Penanggung Utang
yang dijaminkan dan telah diikat hipotik. Dalam praktek terdapat putusan PN
18
yang meletakan sita jaminan terhadap barang yang dijaminkan untuk
melunasi piutang negara yang diikat hipotik atas permintaan pihak ketiga.
g) Untuk Mengosongkan Objek Lelang yang masih Dikuasai oleh Debitur atau
Pihak Lain, PN Mengharuskan Pemenang Lelang Eksekusi PUPN Mengajukan
Gugatan Perdata
Ketentuan mengenai pengosongan rumah atau bangunan yang didiami oleh
penanggung utang atau pihak lain diatur dalam penjelsan Pasal 11 butir 11 UU
No. 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pembeli lelang mengajukan permohonan
kepada Ketua PN untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada juru sita untuk
mengusahakan pengosongan rumah atau bangunan, jika perlu dengan bantuan
alat kekuasaan negara. Namun demikian, PN mengharuskan pemenang lelang
menempuh prosedur gugatan perdata.
c. Masalah Eksekusi Grosse Akta
Pada dasarnya eksekusi atau pelaksanaan putusan dilakukan apabila pihak
tergugat tidak mau melaksanakan putusan hakim yang bersifat condemnatoir dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap secara sukarela. Berdasarkan Pasal 224 HIR,
Grosse Akta merupakan perangkat hukum yang disamakan dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam praktik eksekusi grosse akta
tidak semudah bunyi Pasal 224 HIR. Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksekusi
grosse akta menjadi sulit, yaitu nasabah debitur sengaja mengulur-ulur waktu dengan
mengajukan upaya hukum, adanya perlawanan dari pihak ketiga, kesalahan pihak bank
dalam membuat grosse akta dan Ketua PN kurang memahami pengertian grosse akta.
1. Upaya Hukum Nasabah Debitur atau Pihak Ketiga
Dalam praktik eksekusi grosse akta, tidak sedikit nasabah debitur atau pihak
ketiga yang melakukan upaya hukum untuk menghambat proses eksekusi grosse
akta yang hendak dijalankan oleh Ketua PN. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan nasabah debitur atau pihak ketiga melakukan gugatan perlawanan
(verzet) yaitu antara lain nasabah debitur sengaja melakukannya untuk
menghambat proses dan nasabah debitur merasa dirugikan oleh kecurangan
kreditur dalam menghitung angsuran utang. Contoh kasus adanya perlawanan
pihak ketiga yang disebabkan karena pihak bank lalai untuk meniliti dokumendokumen
yang dibuat antara pihak ketiga dengan nasabah debitur. Dalam perkara
antara PT Bank Kesawan melawan Patsan Oloan Ny. Sitodoer Boru Tupang, PT
Bank Kesawan memberikan kredit pada Citra Pujiarta dengan jaminan grosse akta
pemberian jaminan. Nasabah debitur wanprestasi sehingga bank mengajukan
permohonan eksekusi pada ketua PN Medan, yang kemudian dikabulkan. Pihak
bank kemudian membuat pengumuman lelang di surat kabar. Atas dasar
pengumuman tersebut, pihak pelawan mengajukan perlawanan dengan alasan
tanah yang akan dilelang tersebut adalah milik pelawan. Mahkamh Agung
mengeluarkan putusan yang pada pokoknya menolak kasasi PT Bank Kesawan dan
menyatakan menurut hukum grosse akta adalah tidak sah dan memerintahkan
Wakil Juru Sita PN Medan untuk mencabut, mengangkat kembali sita eksekusi
atas tanah pelawan. Alasan MA adalah proses peralihan hak yang dijadikan
anggunan antara Pelawan dan nasabah debitur cacat hukum.
19
2. Kesalahan Notaris (Bank) Dalam Membuat Grosse Akta
Kekeliruan bank tidak terlepas dari kesalahan notaris yang dipercaya oleh bank
untuk membuat dokumen-dokumen tersebut. Kesalahan ini disebabkan perbedaan
penafsiran mengenai grosse akta. Dalam Pasal 224 HIR hanya dikenal dua bentuk
grosse akta yaitu grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotik yang
masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai spesifikasi yang berbeda. MA hanya
membolehkan kalangan perbankan memilih salah satu dari grosse akta tersebut.
Apabila nasabah debitur telah diikat dengan grosse akta pengakuan utang maka
nasabah debitur tidak boleh diikat lagi dengan bentuk perjanjian hipotik.
Disamping kesalahan mencampuradukkan dua bentuk grosse akta menjadi satu,
kalangan perbankan dan notaris sering juga melakukan kesalahan dalam
pembuatan akta pengakuan utang. Akta pengakuan utang yang dibuat oleh
perbankan dan notaris kadang-kadang bukan berisi pernyataan sepihak dari
nasabah debitur, tetapi merupakan perikatan antara bank dan nasabah debitur
yang masing-masing mengikatkan diri dalam akta pengakuan utang. Dalam
perkara PT Waringin Metal Printing & Santosa melawan Nichimen Co. Ltd. &
Takegawa Co, MA menolak permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang
dengan pertimbangan isi akta pengakuan utang tersebut disertai dengan
perjanjian pinjam uang sejamlah $ 1.952.614,47. Pada hakekatnya surat
pengakuan utang hanya dapat memuat suatu pengakuan utang dengan kewajiban
untuk membayar utang tersebut, yang mempunyai akibat bagi pihak yang
berutang tidak lagi mempunyai hak untuk membela diri. Dalam perkara PT Bank
Pasifik Cabang Medan, MA dalam putusan No. 2414 K.Pdt/1987 tanggal 12
Februari 1990 berpendapat bahwa grosse akta berisikan pengakuan utang dengan
pemberian jamian, dimana diperjanjikan pula mengenai barang-barang yang akan
dijaminkan dan syarat-syarat mengenai jaminan tersebut. Dengan demikian
grosse akta semacam itu bukanlah merupakan grosse akta yang dapat dieksekusi
sesuai Pasal 224 HIR.
Dalam perkara antara Bank of America Jakarta mewalan Trisnawati Sudarto, MA
mengabulkan bantahan Trisnawati dengan pertimbangan antara lain Akta
Pernyataan yang dibuat tanggal 15 Januari 1984 hanyalah merupakan akta di
bawah tangan yang tidak berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Oleh karena itu eksekusi yang diajukan oleh BOA adalah tidak ada
dasar hukummya, bahwa Akta Notaris No. 147 yang berisi loan agreement dan
Akta Noratis No. 148 yang berisi acknowledgement of indebtedness and security
agreement adalah bukan grosse akta.
Dalam pembuatan akta pengakuan utang sering juga ditemui jumlah utang
nasabah debitur belum dapat dipastikan jumlahnya. MA berpendapat akta
pengakuan utang seperti ini tidak dapat dieksekusi. Nasabah debitur yang tidak
bersedia menandatangani Surat Pernyataan Bersama juga dapat ditafsirkan
bahwa secara hukum belum terdapat jumlah utang yang pasti. Satu hal yang
merupakan kesalahan adalah adanya anggapan bahwa grosse akta perjanjian
kredit mempunyai fungsi yang sama dengan grosse akta pengakuan utang. Dengan
bekal pemahaman ini. Kalangan notaris dan perbankan menganggap dengan
dicantumkannya kata-kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada grosse akta perjanjian kredit, maka grosse akta tersebut telah
mempunyai kekuatan eksekutorial. MA tidak mengakui grosse akta perjanjian
20
kreidt sebagai grosse akta pengakuan utang. Hal ini dapat dilihat dalam
Keputusan MA No. 1520.K/Pdt./1984 yang melibatkan PT Pan Indonesian Bank
melawan PT Ripe Indonesia.
d. Agunan Harta Bersama
Mahkamah Agung dalam perkara No.1851 K/Pdt/1996 tanggal 23 Pebruari 1998
menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian
yang mengharuskan manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak Penggugat adalah
usteri tergugat yang tidak turut menandatangani surat agunan tersebut. Pembebanan
tanah harta bersama tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar
pertimbangan adil dan patut. Dalam perkara ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera
Utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah adanya penjaminan utang yang
dibuat dalam grosse akta. Pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum
lain, dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan permohonan eksekusi tersebut.
Penggugat merasa dirugikan karena objek yang dimohonkan eksekusi adalah harta
bersama. Harta bersama dapat dikategorikan sebagai hak milik bersama. Dikatakan hak
milik bersama karena terdapat beberapa orang pemilik ata suatu benda yang sama.
Selain KUHPerdata, UU Perkawinan mengenal adanya harta milik bersama yang disebut
sebagai harta bersama. Hak milik bersama ada dua macam yaitu hak milik bersama yang
bebas dan hal milik yang terkait. Hak milik bersama yang bebas terjadi karena
diperjanjikan antara beberapa pemilik bersama atas suatu benda. Hak milik bersama
yang terkait terjadi karena ketentuan undang-undang dan sebagai akibat hubungan
hukum yang sudah ada lebih dahulu. Misalnya pemilik bersama harta perkawinan akibat
adanya perkawinan, pemilik bersama atas harta peninggalan akibat adanya pewarisan.
Tiap pemilik harta bersama tidak dimungkinkan bebrbuat apa saja tanpa izin dari
pemilik bersama lainnya.
e. Penafsiran Pasal 1831 dan 1822 KUHPerdata: Penanggungan Utang
(borgtocht)Putusan Pengadilan Niaga No.70/PAILIT/1999/PN.NIAGA/JKT.PST
Tanggal 1 November 1999
Duduk perkara
PT Gardiana Interbullion Corporation (“GIC”) adalah debitur dari Bank Ekonomi
berdasarkan Akte perjanjian Kredit Nomor 79, tertanggal 13 Maret 1997 dan Akta
Perjanjian Kredit nomor 80, tertanggl 7 Mei 1997.
Perjanjian Kredit dimaksud dijamin oleh fixed asset dan Jaminan Pribadi dari Jasip
Ngakiwan berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) nomor 81 tertanggal 13 Maret
1997.
Pada saat jatuh tempo yaitu pada tanggal 13 Maret 1998, GIC tidak mampu
mengembalikan seluruh utangnya kepada Bank Ekonomi. Dan untuk itu telah dilakukan
pelelangan atas jaminan berupa fixed assets yang tidak mencukupi untuk melunasi
seluruh utang debitur.
Oleh karena hasil pelelangan jaminan fixed assets tidak mencukupi, maka bank Ekonomi
berdasarkan Akta Jaminan Pribadi menuntut pemenuhan pembayaran atas utang GIC dari
21
Jasip Ngakiwan selaku penjamin pribadi yang telah melepaskan sebagian hak-hak
istimewanya dan dengan demikian bertanggung jawab layaknya seorang debitur yang
menggantikan debitur semula (GIC).
Dalil pemohon
Bank Ekonomi (selanjutnya disebut sebagai pemohon) mendalilkan sebagai berikut:
- Bahwa oleh karena GIC telah tidak mampu membayar, maka Jasip Ngakiwan
(selanjutnya disebut Termohon) selaku Penjamin Pribadi otomatis menggantukan
kedudukan GIC selaku Debitur;
- Bahwa Termohon telah melepaskan segala hak-hak dan hak utama yang diberikan
Undang-undang kepada Termohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1430, 1843,
1847, 1848 dan Pasal 1849 KUHP;
- Bahwa Termohon, selain menjadi Penjamin Pribadi dari GIC, adalah juga Debitur
dari Bani UUPINDO dan penjamin pribadi atas utang PT Goldpindo Rajabrana pada
Bank UPPINDO;
- Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Termohon telah secara sederhana
terbukti memiliki lebih dari satu kreditur dan telah tidak membayar sedikitnya
satu uatang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dalil Termohon
- Termohon menyatakan bahwa fakta-fakta yang diajukan pemohon tidak terbukti
secara hukum.
- Untuk itu permohonan Pemohon harus ditolak.
Pertimbangan Hukum
- Menimbang bahwa yang menjadi posita dari permohonan adalah bahwa Termohon
adalah penjamin guna menjamin pelunasan utang-utang GIC kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon telah menyatakan
dan mengikatkan diri sebagai Penjamin dan karenanya bertanggungjawab
sepenuhnya dengan harta bendanya guna menjamin utang-utang GIC kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dalam Akta Penjaminan dinyatakan bahwa Termohon secara
otomatis menggantikan kedudukan GIC untuk membayar lunas kewajibannya pada
Pemohon, setelah terpenuhinya syarat sebagai berikut:
1. Walaupun telah diperingatkan dengan layak, tidak atau belum dapat
memenuhi kewajibannya kepada Pemohon,
2. Jatuh pailit,
3. Minta penangguhan pembayaran utang atas putusan pengadilan,
4. Di likuidasi.
22
- Menimbang bahwa Pemohon telah melakukkan penegoran kepada GIC secara
patut;
- Menimbang bahwa telah dilakukan pelelangan atas harta-harta debitur, dimana
pelelangan dimaksud tidak mencukupi untuk melunasi utang debitur kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dengan demikian Termohon telah dan menggantikan
kedudukan GIC untuk membayar lunas seluruh kewajiban kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon tidak hanya
berkedudukan sebagai penjamin akan tetapi juga mengikatkan diri sebagai yang
bertanggung jawab atas kewajiban GIC;
- Menimbang bahwa degnan demikian termohon baik sebagai Penjamin maupun
sebagai Debitur dapat dipailitkan;
- Menimbang bahwa Termohon telah ditegor untuk membayar utang;
- Menimbang bahwa utang GIC telah jatuh tempo;
- Menimbang bahwa selain menjadi Penjamin pada Pemohon, Termohon adalah
juga Penjamin utang PT Godpindo Rajabrana pada Bank UPPINDO dan juga
Debitur pada Bank UPPINDO;
- Menimbang bahwa dengan demikian maka telah terbukti bahwa Termohon
memiliki utang kepada lebih satu kreditur dan sedikitnya tidak membayar satu
utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
- Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas setelah
dihubungkan satu dengan yang lainnya, ternyatalah bahwa sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3) UUK telah terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sah dan sederhana bahwa persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK telah terpenuhi, sehingga oleh karena itu
Termohon akan dinyatakan Pailit.
Mengadili
- Mengabulkan permohonan Pemohon;
- Menyatakan bahwa termohon: Jasip Ngakiwan dengan alamat Jl. Cempaka No. 22
RT. 011/RW 002 Pasar Baru-Jakarta Pusat PAILIT;
- Mengangkat dan menunjuk;
1. Sdr. Hasan Basri, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas,
2. Sdr. Gunawan Widyaatmadja, SH., & Rekan dengan alamat Jl. Bima No. 27
Kemanggisan Tomang Barat Jakarta sebagai Kurator.
- Menetapkan besarnya biaya Kurator sebesar 2,5% dari harta Debitur;
- Membebankan kepada Termohon untuk membayar segala ongkos perkara sebesar
Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).
~~***~~
1
JAMINAN KREDIT
Kendala dan Masalah•
I. Pendahuluan
Prinsip 5C dalam pemberian kredit telah digunakan selama bertahun-tahun dan
kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan. Prinsip ini meliputi:
• Character (watak);
• Capacity (Kemampuan);
• Capital (Modal);
• Conditions; and
• Collateral (Jaminan).
Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk
dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang,
ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan
faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan
untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence menjalankan bisnis tidak
diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan buruk, dan hasilnya kredit akan
mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya,
kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu,
penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk
mendapatkan pinjaman.
Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada bank
bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan track
record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di
Australia informasi semacam itu dapat didapatkan pada biro kredit, seperti Credit
Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). CRAA mengelola database yang berisi
data kredit baik perorangan maupun perusahaan yang ada di Australia, yang memuat
berbagai informasi dari kredit yang telah diajukan, pembayaran yang telat dan juga
putusan pengadilan yang berhubungan dengan kredit macet. Lembaga keuangan yang
menjadi anggota CRAA berhak untuk untuk mendapatkan informasi tentang si peminjam,
• Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk,
diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
2
dan sebagai imbalannya, mereka harus menyediakan informasi dari pinjaman yang akan
diajukan.
Di Indonesia informasi tentang nasabah dapat diperoleh melalui system informasi
kredit yang dimiliki Bank Indonesia. Namun karena tidak adanya system “kenal diri” yang
berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi
itu seringkali tidak akuran. Bank Indonesia saat ini sedang dalam proses untuk
mendirikan biro kredit yang berfungsi seperti CRAA.
Sedangkan modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari si
peminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu
memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan asset dan passiva dari si
peminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga pinjaman
mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas ratio maksimal asset dan
passiva.
Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi
eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk
mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang
memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak
mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai resiko dari pinjaman,
tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan. Bank tidak memberikan
kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat
membahayakan lingkungan.1
Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit macet.
Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang
diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan. Kesulitan bank dalam
melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C sebagaimana dikemukakan di atas
dapat diatas dengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit. Dengan adanya
skim tersebut maka bank lebih mudah menilai risiko kredit yang diberikannya.
II. Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya kebendaan yang dijadikan
objek jaminan, dan lain sebagainya.
a. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan
oleh seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal 1132, pasal
1134 ayat (1)). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang
dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya,
seperti gadai, hipotik, hak tanggungan dan fiducia.
1 PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney: Lawbook Co., 2001),
hal. 97-104.
3
b. Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan
menjadi jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditu. Kitab Undangundang
Hukum Perdata pada pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perserorangan. Hal ini berarti seluruh harta kekayaan milik debitur
akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua kreditur.
Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap,
baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang
baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah
perjanjian utang piutang diadakan.
Dengan demikian, seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan
umum atas pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak
diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena undang-undang,
sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.
Dalam jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditur mempunyai
kedudukan yang sama terhadap kreditur-kreditur lain, tidak ada kreditur yang
diutamakan atau diistimewakan dari kreditur-kreditur lain.
Karena jaminan umum kurang menguntungkan bagi kreditur, maka
diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus
sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan
mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada krediturkreditur
lain dalam pelunasan utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan
perlindungan kepada kreditur dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenai
hal ini. Jaminan khusus memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi
pemegangnya.
c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak
atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas
benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan
gadai, dan lain-lain).
Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan lansung pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan
terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya ( contoh:
borgtocht).
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat
berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda
bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.
Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan
jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan
4
pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan
account receivable.
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang
lainnya, dengan bentuk, yiatu:
1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu
hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang
diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut
dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.
2) Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas
tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu
ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditu lain.
3) Fiducia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan
hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.
Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk:
1) Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu
perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang
tersebut tidak memenuhinya.
2) Perjanjian Garansi/indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUH Perdata, yang
berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau
menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan
berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi
terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah
berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika
pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan
Sesuai dengan namanya, kredit diberikan kepada debitur berdasarkan
kepercayaan si kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar
kembali utang-utangnya kelak.
Sementara jaminan-jaminan lainnya yang bersifat kontraktual, seperti hak
tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fiducia, dan sebagainya hanya dianggap
sebagai “jaminan tambahan” semata-mata, yakni tambahan atas jaminan
utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.2
2 Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal.
69-70
5
e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang
dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan
menggunakan hak tanggungan atas tanah, sedangkan kalau yang dijamin adalah
kapal laut atau pesawat udara, maka pembebanannya dengan menggunakan
gadai, fiducia, cessie dan account receivable.
f. Jaminan regulative dan jaminan non regulative
Jaminan regulative adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri
sudah diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tergolong ke dalam jaminan regulative ini antara lain adalah hipotik,
gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang. Sedangkan jaminan non regulative
adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek.
Jaminan non regulative ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti
pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan
non regulative yang semata-mata hanya bersifat kontraktual, seperti kuasa
menjual dan lain-lainnya.
g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional
Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama
dikenal dalam system hukum kita, baik yang telah diatur dalam perundangundangan,
hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan
yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama dilaksanakan
dalam praktek, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang bergerak, gadai
tanah, fiducia, garansi, dan akta pengakuan utang.
Sementara itu bentuk-bentuk jaminan non konvensional adalah bentukbentuk
jaminan yang eksistensinya dalam system hukum jaminan yang masih
terbilang baru sungguh pun sudah dilaksanakannya secara meluas, sehingga
pranatanya belum sempat pula diatur secara rapi, antara lain seperti pengalihan
hak tagih debitur (assignment of receivable for security purposes), pengalihan
hak tagih klaim (assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan
menutupi kekurangan biaya (cash deficiency).
h. Saham sebagai agunan tambahan
Dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal yang sehat,
diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal,
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Sehubungan dengan hal itu, bank diperkenankan meminta agunan
tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya jaminan
pemberian kredit.
6
Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU masing-masing
tanggal 7 September 1993 perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang
menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit.
Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada
Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham.
Ditegaskan bahwa bank diperkenankan untuk memberikan kredit dalam
agunan tambahan berupa saham perusahaan yang dibiayai dalam rangka ekspansi
atau akuisisi.
Berdasarkan ketentuan yang baru, bank juga diperbolehkan memberikan
kredit dengan agunan tambahan berupa saham, baik yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar di bursa efek.
Untuk pemberian kredit dalam rangka ekspansi atau akuisisi, bank
diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham yang terdaftar maupun
yang tidak terdaftar di bursa efek. Jika saham yang diagunkan termasuk saham
yang terdaftar di bursa, maka saham yang bersangkutan tidak termasuk saham
yang tidak mengalami transaksi dalam waktu tiga bulan berturut-turut sebelum
saat akad kredit ditandatangani dan saham dengan harga pasar dibawah nilai
nominal pada saat akad kredit ditandatangani.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit maksimim
sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan dibursa efek
pada saat akad kredit ditandatangani. Sebaliknya jika saham yang diagunkan
berupa saham yang tidak terdaftar di bursa efek, maka saham tersebut dibatasi
hanya pada saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit yang
bersangkutan.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kreditnya adalah
maksimum sebesar nilai nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga perusahaan yang bersangkutan.
III Hak-Hak yang Memberi Jaminan yang Mempunyai Sifat Privilege
1. Pengertian
Privilege termasuk jenis piutang yang diberikan keistimewan atau piutang yang
lebih didahulukan (bevoorrechte scdhulden) dalam hal ada pelelangan (executie) dari
harta kekayaan debitur dan dalam hal terjadi kepailitan. Hak untuk didahulukan
diantara orang-orang berpiutang menurut ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata timbul
dari hak istimewa (privilege), disamping dari gadai dan hipotik.
Selanjutnya Pasal 1134 KUHPerdata mengatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Hak istimewa (privilege) adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
7
2. Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam halhal
dimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dengan demikian Privilege adalah hak yang diberikan undang-undang terhadap
seseorang, dan tidak diperjanjikan seperti halnya Gadai dan Hipotik.
Privilege sendiri dapat dibagi dalam dua macam yaitu:
1. Privilege khusus yang tercantum dalam Pasal 1139 KUHPerdata ada 9, merupakan
privilege yang diberikan terhadap benda-benda tertentu dari debitur.
2. Privilege umum diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata ada 7, merupakan privilege
yang diberikan terhadap semua kekayaan debitur.
Privilege khusus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Privilege
umum (Pasal 1138 KUHPerdata) dan tidak ditentukan urutannya, maksudnya
walaupun disebut berturut-turut tapi tidak mengharuskan adanya urutan; sedangkan
Privilege umum ditentukan urutannya artinya yang lebih dahulu disebut, dengan
sendirinya didahulukan dalam pelunasannya.
2. Ciri-Ciri/Sifat-sifat Privilage
a. Privilege baru ada kalau terjadi penyitaan barang dan hasil penjualannya
tidak cukup untuk membayar seluruh hutang kepada kreditur.
b. Privilege tidak memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda
c. Merupakan hak terhadap benda debitur
d. Merupakan hak untuk didahulukan dalam pelunasannya.
Oleh karena itu Privilege bukanlah termasuk jaminan kebendaan karena pada hak
kebendaan cirri-ciri sebagai berikut:
1. Hak itu sudah ada tanpa harus menunggu ada penyitaan barang debitur
terlebih dahulu.
2. Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda.
3. hak kebendaan merupakan hak terhadap suatu benda.
Namun Privilege diatur dalam Buku II KUHPerdata sejajar dengan hak kebendaan.
Hal ini disebabkan Privilege juga memiliki sifat droit de suite dan merupakan hak
yang memberikan jaminan seperti halnya Gadai dan Hipotik. Namun para sarjana
menganggap bahwa seharusnya Privilege dimasukkan kedalam Hukum Acara pedata
yang termasuk Executie (pelelangan) harta kekayaan debitur dan dalam hal debitur
jatuh pailit.
Privilege juga bukan merupakan jaminan perorangan sebab hak perorangan itu
timbul pada saat suatu perjanjian terjadi misalnya, jual beli, sewa menyewa dan
lain-lain, sedangkan Privilege timbul bila barang-barang yang disita tidak mencukupi
untuk langsung melunasi hutang. Disamping itu hak perongan lansgsung memberikan
suatu tuntutan/tagihan terhadap seseorang, sedangkan pada Privilage baru ada
tuntutan dalam hal debitur pailit.
Perbedaan antara Gadai dan Hipotik dengan Privilege adalah kalau Gadai dan
Hipotik adalah karena diperjanjikan sedangkan Privilege diberikan/ditentukan oleh
8
Undang-undang. Kemudian Gadai dan Hipotik lebih didahulukan daripada Privilege,
kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2),
1139 ayat (1) dan 1149 ayat (1) KUHPerdata); antara Gadai dan Hipotik tidak
dipersoalkan mana yang harus didahulukan sebab Gadai berkaitan dengan benda
bergerak sedangkan Hipotik mengenai benda tidak bergerak. Selanjutnya pada
Gadai, para pihak bebas untuk menjamin dengan Gadai terhadap piutang apapun
juga, sedangkan pada Privilege, Undang-undang mengaitkan Privilege itu pada
hubungan-hubungan hukum tertentu.
Meskipun Gadai dan Hipotik berada dalam urutan di atas Privilege artinya hak
utama yang diperjanjikan berada di atas hak utama menurut undang-undang namun
ada pengecualiannya yaitu dalam hal undang-undang menentukan sebaliknya;
termasuk didalamnya antara lain hutang-hutang sebagai berikut:
1. Ongkos-ongkos dalam rangka eksekusi
2. Uang sewa
3. Ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk pemeliharaan benda-benda yang
bersangkutan sesudah benda-benda tersebut digadaikan.
4. Beberapa Privilege lainnya seperti pajak-pajak, bea-cukai dan lain-lain.
5. Hak-hak utama dalam Pasal 318 KUHDagang dan lain-lain
IV. Surety Bond dan Bank Garansi
Praktek penjaminan sudah sejak lama dilakukan oleh lembaga keuangan
khususnya bank, dalam bentuk bank garansi. Sedangkan dalam dunia asuransi
penjaminan dilakukan dalam bentuk surety bond merupakan suatu bentuk penjaminan
yang relatif baru di Indonesia. Bisnis surety bond di Indonesia mulai diperkenalkan sejak
tahun 1980 atas kebijakan pemerintah dengan tujuan untuk membantu para pengusaha
ekonomi lemah untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk itu pemerintah
mengeluarkan Keppres No. 14A/80 tahun 1980 tentang pelaksanaan APBN/APBD dan
bantuan luar negeri. Berdasarkan Keppres tersebut dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 271/KMK.011/1980 Tentang Pemberian Ijin Bagi Bank-bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank untuk dapat Menerbitkan Jaminan. Dalam pelaksanaannya
pemerintah menetapkan pemberian ijin kepada lembaga keuangan non bank untuk
menerbitkan surety bond sebagai alternatif bank garansi, yang ditunjuk pada waktu itu
adalah PT. Asuransi Jasa Raharja (persero).
Secara teori dan praktek terdapat kemiripan antara bank garansi dan garansi
asuransi dalam bentuk surety bond yang pada intinya bahwa baik bank atau asuransi
menjamin untuk memenuhi kewajiban apabila yang dijamin di kemudian hari ternyata
tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga sebagaimana telah diperjanjikan.
Bank garansi sudah lebih dahulu dikenal sebagai lembaga penjaminan atas hutang
atau kewajiban debitur kepada pihak ketiga, dimana tentunya prinsip-prinsip perbankan
dan kehati-hatian diterapkan dalam menganalisa permohonan bank garansi oleh debitur.
Melihat potensi pasar yang cukup menggiurkan itulah perusahaan asuransi
kerugian meluncurkan produk penjaminan yang mirip bank garansi yang lebih dikenal
dengan surety bond, yang merupakan produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan
9
asuransi sebagai upaya pengambilalihan resiko kerugian yang mungkin dialami debitur
yang umumnya sebagai kontraktor yang diberikan kepercayaan oleh pemilik proyek
dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan
tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi
selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur) sebagai
konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur) tersebut.
Dasar hukum antara surety bond dan bank garansi terdapatl perbedaan. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh sifat alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan
penerbitannya tidak lepas dari prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan
permohonan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang
diajukan untuk penerbitan bank garansi. Perbedaan pokok surety bond dan bank garansi.
Pertama, lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety bond
oleh lembaga asuransi. Oleh karena itu, teknis penerbitannya mengikuti ketentuan yang
berlaku bagi lembaga tersebut yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi.
Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral). Sedang asuransi
mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko disebar diantara
penanggung uang (reasuransi). Kedua, bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang
penanggungan hutang/borgtoght sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya
pasal 1831 dimana bank dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk
pelunasan kewajibannya. Sedangkan surety bond adalah perjanjian indemnitas dan
diatur dalam pasal 1316 KUH Perdata di mana kedudukan lembaga asuransi sebagai
penjamin dan prinsipal adalah setara dan mengganti secara tanggungan renteng. Ketiga,
garansi yang diterbitkan bank mempunyai jangka waktu terbatas dalam arti tidak dapat
diperpanjang secara otomatis. Apabila setelah dikaji ternyata nasabah tidak layak diberi
jaminan atau posisi penjamin tidak memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan
yang sudah jatuh tempoh maka bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang
jaminan dimaksud. Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka
waktu surety bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat prinsipal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan kontrak
surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak pembayaran.
Keempat, dalam surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor gagal
maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang pemutusan
hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus diperhitungkan dengan
pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak surety dalam hal ini asuransi
membayar hanya sebesar kerugian yang sungguh, sungguh diderita obligee. Berbeda
halnya dengan bank garansi yang bersifat tanpa syarat (unconditional) dimana apabila
principal telah gagal/lalai memenuhi kewajibannya maka obligee secara sepihak dan
mutlak dapat melakukan pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan prinsipal
sama sekali tidak diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara
penuh.
Setelah diuraikan dasar hukum dan prinsip surety bond dan bank garansi di atas
dapatlah ditarik perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat
alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan penerbitannya tidak lepas dari
prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan permohonan surety bond terhadap
10
perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan bank
garansi yang menggunakan prinsip perbankan yang berhati-hati.
Adanya ketentuan tentang prinsip “5C” membuat ketergantungan pihak bank
terhadap principal lebih kecil dalam hal harus dilakukan pencairan bank garansi terebut.
Bank akan berani hanya melihat pada alasan-alasan hukum telah terjadi wanprestasi dari
pihak yang dijamin (principal) tanpa harus takut hak subrograsinya3 akan mengalami
persoalan bila tidak terlebih dahulu mendapat pengakuan wanprestasi dari principal. Hal
ini dapat terjadi karena pada umumnya bank telah memegang jaminan yang cukup
sebagai kontra garansi terhadap bank garansi yang diberikan.
Bank garansi dalam memberikan jaminan harus memperhatikan kemampuan bank
dalam menanggung resiko dan biasanya erat dikaitkan dengan nilai batas maksimum
pemberian kredit. Sedang dalam surety bond, asuransi dapat menjamin lebih besar,
karena dalam perusahaan asuransi dapat diatasi dengan mekanisme pertanggungan ulang
atau reasuransi.
Perbedaan pemahaman antara lembaga perbankan dan lembaga perasuransian
terhadap penjaminan tersebut, membuat sikap lembaga perbankan dan asuransi
mengenai jaminan (collateral antau kontra garansi) sebagai bagian dari aktivitas
pemberian kredit yang menimbulkan “contigent liabilitas”, menerapkan syarat
pemberian kredit yang melihat collateral sebagai back-up dari bank garansi yang
diberikan. Sementara bagi lembaga perasuransian yang tidak melihat hal ini sebagai
kredit melainkan peralihan resiko dan tanggung jawab hukum, sehingga sampai saat ini
belum melihat collateral sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety
dalam hal terjadinya claim pencairan surety bond dari pihak penerima jaminan
(obligee). Sementara itu upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral dengan
mewajibkan principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity
agreement) hampir tidak memberikan perbedaan upaya-upaya, karena walaupun
indemnitu agreement tidak ditandatangani, hak subrograsi dari perusahaan asuransi
untuk dapat penggantian dari debitur atas telah dilaksanakan pencairan jaminan
principal kepada obligee, artinya tanpa indemnity agreement, asuransi tetap dapat
melaksanakan hak subrograsinya kepada principal. Untuk dapat lebih memahami
perbedaan di atas, ada baiknya dikemukakan perbedaan pokok surety bond dan bank
garansi sebagai berikut:
1. Teknis penerbitan
Karena lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety
bond oleh lembaga asuransi, maka teknis penerbitan mengikuti lembaga tersebut
yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi sebagai lembaga penerbit
dimaksud. Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral).
Sedang asuransi mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko
disebar diantara penanggung uang (reasuransi).
2. Hukum perjanjiannya.
Bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang penanggungan hutang/brogtoght
sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya pasal 1831 dimana bank
3 Subrograsi menurut pasal 1840 KUH Perdata adalah “Bahwa si penanggung telah
membayar, maka ia akan menggantikan demi hukum segala hak si berpiutang terhadap si
berhutang”.
11
dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk pelunasan
kewajibannya. Sedangkan surety bond diatas dalam perjanjian indemnitas (J.
Satrio menyebutkan perjanjian garansi) pasal 1316 KUH Perdata di mana
kedudukan lembaga asuransi sebagai penjamin dan principal adalah setara dan
mengganti secara tanggungan renteng.
3. Jangka waktu berlakunya jaminan
Garansi diterbitkan oleh kalangan perbankan mempunyai jangka waktu terbatas
dalam arti tidak dapat diperpanjang secara otomatis. Hal ini terjadi karena
setiap bank penerbit jaminan akan mengikuti aturan yang telah digariskan Bank
Indonesia yang dalam periode tertentu akan dikaji ulang. Apabila setelah dikaji
ternyata nasabah tidak layak diberi jaminan atau posisi penjamin tidak
memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan yang sudah jatuh tempoh maka
bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang jaminan dimaksud.
Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka waktu surety
bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat principal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan
kontrak surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak
pembayaran.
4. Penyelesaian claim
Bagi Surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor
gagal maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang
pemutusan hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus
diperhitungkan dengan pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak
surety dalam hal ini asuransi membyar hanya sebesar kerugian yang sungguh,
sungguh diderita obligee. Berbeda halnya dengan bank garansi yang bersifat
tanpa syarat (unconditional) dimana apabila principal telah gagal/lalai memenuhi
kewajibannya maka obligee secara sepihak dan mutlak dapat melakukan
pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan principal sama sekali tidak
diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara penuh.
V. Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT)
UUHT disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996. Undangundang
ini adalah sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang (RUU) Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam
Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tersebut yang disampaikan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional pada tanggal 15 September 1996 disebutkan
beberapa hal yang menjadi latar belakang diajukannya RUU yang bersangkutan yaitu:
1. Untuk memenuhi tuntutan pembangunan
2. Melaksanakan amanat UUPA
12
A. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebenarnya menyangkut tiga aspek sekaligus yaitu pertama,
yang berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah, kedua, yang berkaitan dengan
kegiatan perkreditan, dan yang ketiga berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para
pihak yang terkait.
1. Berkaitan Erat dengan Hak Jaminan atas tanah
Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat sebagai
berikut:
1) Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanak tidak hanya
menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga benda-benda
yang akan ada (Pasal 4 ayat(4); bandingkan dengan Pasal 1175
KUHPerdata).
2) Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak
atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan Hak
Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu
olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 UUHT).
2. Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan
Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka Hak tanggungan
adalah salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan
khusus kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Oleh karena itu jika dikaitkan
dengan sifatnya, Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan
memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Maka kreditur
yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek Hak Tanggungan tersebut disediakan
khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.
3. Berkaitan dengan Perlindungan Hukum
Hal ini berhubungan dengan masalah perjanjian, hubungan hutang ppiutang
antara kreditur dengan debitur, dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur,
dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur misalnya tidak dapat memenuhi
apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.
B. Ciri-ciri dan Sifat-sifat Hak Tanggungan
1. Ciri-ciri Hak tanggungan
Dalam Penjelasan Umum angka 3 UUHT dijelaskan ciri-ciri Hak tanggungan
sebagai berikut:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya (dalam Hukum Perdata Barat disebut droit de preference).
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UUHT dan Pasal 20 ayat (1)b.
13
b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun objek itu
berada (dikenal sebagai droit de suite). Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 7 UUHT.
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan (Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 UUHT).
Asas spesialitas berisi antara lain:
• Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
• Domisili para pihak
• Penunjukan secara jelas hutang-hutang yang dijamin
• Nilai tanggungan, dan
• Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Asas Publisitas berisi antara lain:
Hak Tanggungan yang diberikan juga wajib didaftar di Kantor Pertanahan
sehingga adanya Hak tanggungan serta apa yang disebut dalam APHT
dapat dengan mudah diketahui oleh pihak ketiga atau orang-orang yang
berkepentingan (Pasal 13 UUHT).
c. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Sebagaimana diketahui dalam eksekusi putusan dikenal 4 (emapt) macam
eksekusi, yaitu: Pertama, eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR
merupakan eksekusi putusan yang menhukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Kedua, eksekusi yang diatur dalam Pasal 225
HIR, adalah eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan. Ketiga, eksekusi riil yang tidak diatur dalam HIE tetapi
dalam P:asal 1033 RV yang merupakan pelaksanaan putusan yang berupa
pengosongan benda tidak bergerak. Keempat, eksekusi paraat (parate
executie) dikenal juga sebagai eigenmachtige verkoop terjadi apabila
seseorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa
mempunyai title eksekutorial (Pasal 1155, 1178 ayat (2) KUHPerdata)
artinya, merupakan pelaksanaan perjanjian tanpa melalui gugatan atau
tanpa melalui pengadilan.
2. Sifat-sifat Hak Tanggungan
Sifat-sifat khusus antara lain:
a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar) yang berarti hak
tanggungannya membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian
daripadanya.
Pengecualiannya jika diperjanjikan dalam Akte Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan
dengan cara angsuran (roya partial). Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUHT jo.
Pasal 16 UURS.
b. Perjanjian tambahan atau ikutan (accessoir) yang berarti merupakan
perjanjian tambahan atau pelengkap dari perjanjian pokok; yaitu adanya
14
Hak tanggungan tergantung pada adanya perjanjian hutang piutang antara
debitur dengan kreditur yang dijadikan jaminan pelunasan.
c. Pembebanan objek Hak Tanggungan lebih dari satu kali.
Satu objek Hak tanggunan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak
tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Jadi ada
peringkat pertama, kedua dan seterusnya yang ditentukan menurut
tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
d. Parate Executie/Eigenmechtige verkoop
Apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggugnan atas kekuasaan
sendiri (parate executie) melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
a. Objek Hak Tanggungan
Persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai objek
antara lain:
a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa
uang.
b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus
memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur
cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.
d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang.
Maka sesuai dengan syarat diatas objek Hak Tanggungan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UUHT dan Penjelasan Umum angka 5 adalah
hak atas tanah dengan status sebagai berikut:
1) Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1)a, b, c
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA (Pasal 4 ayat
(1) UUHT) yaitu:
• Hak Milik (Pasal 25)
• Hak Guna Usaha (Pasal 33)
• Hak Guna Bangunan (Pasal 39)
2) Yang ditunjuk oleh UURS (lihat Pasal 27 UUHT jo. Pasal 12 dan 13
UURS).
3) Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a UURS jo. Pasal
27 UUHT berikut penjelasannya).
4) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas
tanak Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara
(Pasal 13a UURS jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
15
5) Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
6) Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
b. Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan subjek Hak Tanggungan menurut Pasl 8 ayat (1)
dan Pasal 9 UUHT, baik pemberi maupun penegang Hak Tanggungan adalah
orang perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan; sedangkan pemegang Hak Tanggungan berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang (kreditur).
Syarat-syarat sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak
Tanggungan adalah:
• Warga Negara Indonesia
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di Indonesia maupun di
manca negara
• Badan Hukum Indonesia
• Badan Hukum Asing, baik yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia maupun yang berkantor pusat di manca negara.
Pemberi Hak Tanggungan:
• Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan tunggal sebagai
pemegang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah Negara.
• Badan Hukum Indonesia sebagai pemegang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di dan menjadi
penduduk Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah
Negara.
• Badan Hukum Asing, yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara.
VI. Masalah-masalah Dalam Penyelesaian Jaminan Kredit
a. Penyelesaian Melalui Proses Litigasi
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata seorang berutang dinyatakan telah lalai
memenuhi prestasinya bila berdasarkan suatu surat perintah atau akta sejenisnya
dinyatakan demikian, kecuali jika perikatannya sendiri telah menetapkan bahwa
si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Surat
perintah adalah pernyataan resmi dari juru sita pengadilan, sedangkan akta
sejenis adalah peringatan tertulis.4 Apabila seorang debitur sudah diperingatkan
4 R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 1978), hal 44.
16
dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia tetap tidak melaksanakan prestasinya
maka salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk menuntut
haknya adalah melakukan gugatan perdata melalui pengadilan.
Agar debitur tidak mengalihkan hartanya untuk memenuhi putusan pengadilan,
dalam gugatan harus dicantumkan permohonan putusan provisionil berupa
penetapan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta kekayaan tertentu
debitur. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196 HIR dapat dimintakan
bantuan Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan putusan itu secara paksa.
Pelaksanaan putusan secara paksa ini dibuat eksekusi atau execution forcee. Jika
sudah lewat jangka waktu yang ditetapkan pengadilan pihak yang dikalahkan
tidak memenuhi putusan atau tidak datang menghadap, sesuai dengan ketentuan
Pasal 196 jis Pasal 197 ayat (1) HIR harta benda yang bersangkutan sampai jumlah
yang dianggap cukup disita oleh pengadilan kemudian dijual melalui Kantor
Lelang Negara. Tata cara menjalankan putusan pengadilan menurut HIR adalah:
a) peringatan (aanmaning), b), sita eksekusi dan (c) penyanderaan. Penyelesalain
melalui litigasi ini sering membuat bank frustasi karena pihak pengadilan
menganggap bahwa dalam hubungan perjanjian kredit antara bank dan nasabah
debitur, nasabah bank adalah pihak yang lemah yang harus dilindungi terhadap
bank sehingga bank sering dikalahkan. Selain itu proses penyelesaian utang
melalui pengadilan ini sangat lamban. Menurut suatu penelitian, dibutuhkan
waktu 3-9 tahun untuk menyelesaikan utang piutang perbankan.5
b. Penyelesaian Melalui PUPN
Dalam praktek pelaksanaan pengurusan piutang negara dijumpai masalahmasalah
yuridis yang secara umum timbul akibat tindakan hukum yang dilakukan
oleh debitur ataupun pihak ketiga yang bekepentingan.
a). Putusan pengadilan yang meninjau/membatalkan pernyataan bersama dan
menetapkan jumlah piutang negara atau penjadwalan kembali angsuran
piutang negara.
PUPN mempunyai wewenang menetapkan jumlah piutang negara dan syaratsyarat
penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk Pernyataan Bersama antara
Ketua PUPN dengan debitur atau penanggung utang. Pernyataan Bersama ini
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara
perdata. Dengan demikian sebenarnya pengadilan tidak dapat membatalkan
Pernyataan Bersama. Mahkamah Agung dalam putusannya No.
1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980 dalam perkara antara BNI 1946
melawan Fa. Megaria antara lain menyatakan tidak ada sarana hukum lewat
prosedur peradilan biasa yang dapat ditempuh untuk menghapus adanya Surat
Pernyataan Bersama. Dalam prkatek sampai dengan akhir semester I tahun
1997/1998 terdapat 107 perkara aktif berupa bantahan atau gugatan melalui
pengadilan Negeri yang diajukan oleh Penanggung Utang menyangkut
kebenaran terhadap penetapan jumlah utang.
5 H.P. Panggabean, “Berbagai Masalah Yuridis yang Dihadapi Perbankan Mengamankan
Pengembalian Kredit yang Disalurkannya”, Varia Peradilan VII No. 80, 1992.
17
b) Pengadilan Negeri Membatalkan Penyitaan dan Pelelangan yang telah
dilakukan oleh PUPN karena penerbitan surat paksa sebagai dasar hukum
Pelelangan tidak didahului dengan Pernyataan Bersama
Dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena penanggung utang
tidak memenuhi panggilan meski telah dipangil dengan patut atau tidak
bersedia menandatangani Pernytaan Bersama, maka PUPN melaksanakan
penagihan sekaligus dengan surat paksa. Meskipun Surat Paksa yang
dikeluarkan PUPN mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dalam praktek
dapat saja tertunda bahkan batal pelaksanaannya atas permintaan debitur
kepada PN. Terdapat beberapa putusan PN yang menbatalkan penyitaan dan
pelelangan yang telah dilakukan PUPN atas dasar Surat Paksa sebagai dasar
hukum pelelangan tidak didahului Pernyataan Bersama.
c) Pengadilan TUN Menilai/Meninjau Surat Paksa, Penyitaan dan Pelelangan
PUPN adalah lembaga yang bertindak atas nama negara untuk mengurus
piutang negara yang terjadi karena adanya perbuatan hukum perdata (utang
piutang). Dalam Pasal 2 a UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN diatur
bahwa Keputusam Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.
Tugas PUPN yang dilaksanakan oleh BUPLN adalah melaksanakan peradilan
semu (quasi rech spraak).Oleh karena itu PUPN dan BUPLN bukanlah tugas
bagai Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam praktik, terdapat putusan
Pengadilan TUN yang meninjau surat paksa, penyitaan dan pelelangan yang
dikeluarkan oleh PUPN.
d) Adanya Putusan Sela (Provisi) dari PN Berupa Penundaan/Pembatalan Lelang
Eksekusi PUPN
Pelelangan yang dilakukan PUPN berdasarkan Pernyataan Bersama dan atau
Surat Paksa bersifat parate eksekusi yang mempunyai kekuatan seperti
putusan hakim. Dengan demikian menurut penjelasan Pasal 11 butir 13 (4) UU
No. 49 Prp. Tahun 1960 tidak dapat ditunda atau dibatalkan karena adanya
sanggahan yang diajukan terhadap sahnya atau kebenaran piutang negara.
Dengan demikian, putusan sela yang dikeluarkan sebelum pemeriksaan pokok
perkara seharusnya hanya dikeluarkan untuk sengketa mengenai pemilikan
objek yang akan dilelang saja.
e) PN Meletakkan Sita Jaminan atau Sita Eksekusi atas Barang yang Telah Disita
Lebih Dahulu oleh PUPN
Pasal 201 dan 202 HIR secara implisit menyatakan bahwa terhadap barang
yang sama tidak dapat diadakan sita rangkap. PUPN seringa mengalami
kesulitan untuk memproses pengurusan piutang negara sampai pada tahap
eksekusi lelang, karena sering terjadi sita rangkap (ganda) yang dilakukan
oleh PN.
f) PN Meletakkan Sita Jaminan atas Barang Jaminan Kredit
Putusan MA No. 394K/PDT/1084 tanggal 13 Mei 1984 menyatakan bahwa PN
tidak dapat melaksanakan sita jaminan atas barang milik Penanggung Utang
yang dijaminkan dan telah diikat hipotik. Dalam praktek terdapat putusan PN
18
yang meletakan sita jaminan terhadap barang yang dijaminkan untuk
melunasi piutang negara yang diikat hipotik atas permintaan pihak ketiga.
g) Untuk Mengosongkan Objek Lelang yang masih Dikuasai oleh Debitur atau
Pihak Lain, PN Mengharuskan Pemenang Lelang Eksekusi PUPN Mengajukan
Gugatan Perdata
Ketentuan mengenai pengosongan rumah atau bangunan yang didiami oleh
penanggung utang atau pihak lain diatur dalam penjelsan Pasal 11 butir 11 UU
No. 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pembeli lelang mengajukan permohonan
kepada Ketua PN untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada juru sita untuk
mengusahakan pengosongan rumah atau bangunan, jika perlu dengan bantuan
alat kekuasaan negara. Namun demikian, PN mengharuskan pemenang lelang
menempuh prosedur gugatan perdata.
c. Masalah Eksekusi Grosse Akta
Pada dasarnya eksekusi atau pelaksanaan putusan dilakukan apabila pihak
tergugat tidak mau melaksanakan putusan hakim yang bersifat condemnatoir dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap secara sukarela. Berdasarkan Pasal 224 HIR,
Grosse Akta merupakan perangkat hukum yang disamakan dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam praktik eksekusi grosse akta
tidak semudah bunyi Pasal 224 HIR. Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksekusi
grosse akta menjadi sulit, yaitu nasabah debitur sengaja mengulur-ulur waktu dengan
mengajukan upaya hukum, adanya perlawanan dari pihak ketiga, kesalahan pihak bank
dalam membuat grosse akta dan Ketua PN kurang memahami pengertian grosse akta.
1. Upaya Hukum Nasabah Debitur atau Pihak Ketiga
Dalam praktik eksekusi grosse akta, tidak sedikit nasabah debitur atau pihak
ketiga yang melakukan upaya hukum untuk menghambat proses eksekusi grosse
akta yang hendak dijalankan oleh Ketua PN. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan nasabah debitur atau pihak ketiga melakukan gugatan perlawanan
(verzet) yaitu antara lain nasabah debitur sengaja melakukannya untuk
menghambat proses dan nasabah debitur merasa dirugikan oleh kecurangan
kreditur dalam menghitung angsuran utang. Contoh kasus adanya perlawanan
pihak ketiga yang disebabkan karena pihak bank lalai untuk meniliti dokumendokumen
yang dibuat antara pihak ketiga dengan nasabah debitur. Dalam perkara
antara PT Bank Kesawan melawan Patsan Oloan Ny. Sitodoer Boru Tupang, PT
Bank Kesawan memberikan kredit pada Citra Pujiarta dengan jaminan grosse akta
pemberian jaminan. Nasabah debitur wanprestasi sehingga bank mengajukan
permohonan eksekusi pada ketua PN Medan, yang kemudian dikabulkan. Pihak
bank kemudian membuat pengumuman lelang di surat kabar. Atas dasar
pengumuman tersebut, pihak pelawan mengajukan perlawanan dengan alasan
tanah yang akan dilelang tersebut adalah milik pelawan. Mahkamh Agung
mengeluarkan putusan yang pada pokoknya menolak kasasi PT Bank Kesawan dan
menyatakan menurut hukum grosse akta adalah tidak sah dan memerintahkan
Wakil Juru Sita PN Medan untuk mencabut, mengangkat kembali sita eksekusi
atas tanah pelawan. Alasan MA adalah proses peralihan hak yang dijadikan
anggunan antara Pelawan dan nasabah debitur cacat hukum.
19
2. Kesalahan Notaris (Bank) Dalam Membuat Grosse Akta
Kekeliruan bank tidak terlepas dari kesalahan notaris yang dipercaya oleh bank
untuk membuat dokumen-dokumen tersebut. Kesalahan ini disebabkan perbedaan
penafsiran mengenai grosse akta. Dalam Pasal 224 HIR hanya dikenal dua bentuk
grosse akta yaitu grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotik yang
masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai spesifikasi yang berbeda. MA hanya
membolehkan kalangan perbankan memilih salah satu dari grosse akta tersebut.
Apabila nasabah debitur telah diikat dengan grosse akta pengakuan utang maka
nasabah debitur tidak boleh diikat lagi dengan bentuk perjanjian hipotik.
Disamping kesalahan mencampuradukkan dua bentuk grosse akta menjadi satu,
kalangan perbankan dan notaris sering juga melakukan kesalahan dalam
pembuatan akta pengakuan utang. Akta pengakuan utang yang dibuat oleh
perbankan dan notaris kadang-kadang bukan berisi pernyataan sepihak dari
nasabah debitur, tetapi merupakan perikatan antara bank dan nasabah debitur
yang masing-masing mengikatkan diri dalam akta pengakuan utang. Dalam
perkara PT Waringin Metal Printing & Santosa melawan Nichimen Co. Ltd. &
Takegawa Co, MA menolak permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang
dengan pertimbangan isi akta pengakuan utang tersebut disertai dengan
perjanjian pinjam uang sejamlah $ 1.952.614,47. Pada hakekatnya surat
pengakuan utang hanya dapat memuat suatu pengakuan utang dengan kewajiban
untuk membayar utang tersebut, yang mempunyai akibat bagi pihak yang
berutang tidak lagi mempunyai hak untuk membela diri. Dalam perkara PT Bank
Pasifik Cabang Medan, MA dalam putusan No. 2414 K.Pdt/1987 tanggal 12
Februari 1990 berpendapat bahwa grosse akta berisikan pengakuan utang dengan
pemberian jamian, dimana diperjanjikan pula mengenai barang-barang yang akan
dijaminkan dan syarat-syarat mengenai jaminan tersebut. Dengan demikian
grosse akta semacam itu bukanlah merupakan grosse akta yang dapat dieksekusi
sesuai Pasal 224 HIR.
Dalam perkara antara Bank of America Jakarta mewalan Trisnawati Sudarto, MA
mengabulkan bantahan Trisnawati dengan pertimbangan antara lain Akta
Pernyataan yang dibuat tanggal 15 Januari 1984 hanyalah merupakan akta di
bawah tangan yang tidak berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Oleh karena itu eksekusi yang diajukan oleh BOA adalah tidak ada
dasar hukummya, bahwa Akta Notaris No. 147 yang berisi loan agreement dan
Akta Noratis No. 148 yang berisi acknowledgement of indebtedness and security
agreement adalah bukan grosse akta.
Dalam pembuatan akta pengakuan utang sering juga ditemui jumlah utang
nasabah debitur belum dapat dipastikan jumlahnya. MA berpendapat akta
pengakuan utang seperti ini tidak dapat dieksekusi. Nasabah debitur yang tidak
bersedia menandatangani Surat Pernyataan Bersama juga dapat ditafsirkan
bahwa secara hukum belum terdapat jumlah utang yang pasti. Satu hal yang
merupakan kesalahan adalah adanya anggapan bahwa grosse akta perjanjian
kredit mempunyai fungsi yang sama dengan grosse akta pengakuan utang. Dengan
bekal pemahaman ini. Kalangan notaris dan perbankan menganggap dengan
dicantumkannya kata-kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada grosse akta perjanjian kredit, maka grosse akta tersebut telah
mempunyai kekuatan eksekutorial. MA tidak mengakui grosse akta perjanjian
20
kreidt sebagai grosse akta pengakuan utang. Hal ini dapat dilihat dalam
Keputusan MA No. 1520.K/Pdt./1984 yang melibatkan PT Pan Indonesian Bank
melawan PT Ripe Indonesia.
d. Agunan Harta Bersama
Mahkamah Agung dalam perkara No.1851 K/Pdt/1996 tanggal 23 Pebruari 1998
menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian
yang mengharuskan manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak Penggugat adalah
usteri tergugat yang tidak turut menandatangani surat agunan tersebut. Pembebanan
tanah harta bersama tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar
pertimbangan adil dan patut. Dalam perkara ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera
Utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah adanya penjaminan utang yang
dibuat dalam grosse akta. Pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum
lain, dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan permohonan eksekusi tersebut.
Penggugat merasa dirugikan karena objek yang dimohonkan eksekusi adalah harta
bersama. Harta bersama dapat dikategorikan sebagai hak milik bersama. Dikatakan hak
milik bersama karena terdapat beberapa orang pemilik ata suatu benda yang sama.
Selain KUHPerdata, UU Perkawinan mengenal adanya harta milik bersama yang disebut
sebagai harta bersama. Hak milik bersama ada dua macam yaitu hak milik bersama yang
bebas dan hal milik yang terkait. Hak milik bersama yang bebas terjadi karena
diperjanjikan antara beberapa pemilik bersama atas suatu benda. Hak milik bersama
yang terkait terjadi karena ketentuan undang-undang dan sebagai akibat hubungan
hukum yang sudah ada lebih dahulu. Misalnya pemilik bersama harta perkawinan akibat
adanya perkawinan, pemilik bersama atas harta peninggalan akibat adanya pewarisan.
Tiap pemilik harta bersama tidak dimungkinkan bebrbuat apa saja tanpa izin dari
pemilik bersama lainnya.
e. Penafsiran Pasal 1831 dan 1822 KUHPerdata: Penanggungan Utang
(borgtocht)Putusan Pengadilan Niaga No.70/PAILIT/1999/PN.NIAGA/JKT.PST
Tanggal 1 November 1999
Duduk perkara
PT Gardiana Interbullion Corporation (“GIC”) adalah debitur dari Bank Ekonomi
berdasarkan Akte perjanjian Kredit Nomor 79, tertanggal 13 Maret 1997 dan Akta
Perjanjian Kredit nomor 80, tertanggl 7 Mei 1997.
Perjanjian Kredit dimaksud dijamin oleh fixed asset dan Jaminan Pribadi dari Jasip
Ngakiwan berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) nomor 81 tertanggal 13 Maret
1997.
Pada saat jatuh tempo yaitu pada tanggal 13 Maret 1998, GIC tidak mampu
mengembalikan seluruh utangnya kepada Bank Ekonomi. Dan untuk itu telah dilakukan
pelelangan atas jaminan berupa fixed assets yang tidak mencukupi untuk melunasi
seluruh utang debitur.
Oleh karena hasil pelelangan jaminan fixed assets tidak mencukupi, maka bank Ekonomi
berdasarkan Akta Jaminan Pribadi menuntut pemenuhan pembayaran atas utang GIC dari
21
Jasip Ngakiwan selaku penjamin pribadi yang telah melepaskan sebagian hak-hak
istimewanya dan dengan demikian bertanggung jawab layaknya seorang debitur yang
menggantikan debitur semula (GIC).
Dalil pemohon
Bank Ekonomi (selanjutnya disebut sebagai pemohon) mendalilkan sebagai berikut:
- Bahwa oleh karena GIC telah tidak mampu membayar, maka Jasip Ngakiwan
(selanjutnya disebut Termohon) selaku Penjamin Pribadi otomatis menggantukan
kedudukan GIC selaku Debitur;
- Bahwa Termohon telah melepaskan segala hak-hak dan hak utama yang diberikan
Undang-undang kepada Termohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1430, 1843,
1847, 1848 dan Pasal 1849 KUHP;
- Bahwa Termohon, selain menjadi Penjamin Pribadi dari GIC, adalah juga Debitur
dari Bani UUPINDO dan penjamin pribadi atas utang PT Goldpindo Rajabrana pada
Bank UPPINDO;
- Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Termohon telah secara sederhana
terbukti memiliki lebih dari satu kreditur dan telah tidak membayar sedikitnya
satu uatang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dalil Termohon
- Termohon menyatakan bahwa fakta-fakta yang diajukan pemohon tidak terbukti
secara hukum.
- Untuk itu permohonan Pemohon harus ditolak.
Pertimbangan Hukum
- Menimbang bahwa yang menjadi posita dari permohonan adalah bahwa Termohon
adalah penjamin guna menjamin pelunasan utang-utang GIC kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon telah menyatakan
dan mengikatkan diri sebagai Penjamin dan karenanya bertanggungjawab
sepenuhnya dengan harta bendanya guna menjamin utang-utang GIC kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dalam Akta Penjaminan dinyatakan bahwa Termohon secara
otomatis menggantikan kedudukan GIC untuk membayar lunas kewajibannya pada
Pemohon, setelah terpenuhinya syarat sebagai berikut:
1. Walaupun telah diperingatkan dengan layak, tidak atau belum dapat
memenuhi kewajibannya kepada Pemohon,
2. Jatuh pailit,
3. Minta penangguhan pembayaran utang atas putusan pengadilan,
4. Di likuidasi.
22
- Menimbang bahwa Pemohon telah melakukkan penegoran kepada GIC secara
patut;
- Menimbang bahwa telah dilakukan pelelangan atas harta-harta debitur, dimana
pelelangan dimaksud tidak mencukupi untuk melunasi utang debitur kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dengan demikian Termohon telah dan menggantikan
kedudukan GIC untuk membayar lunas seluruh kewajiban kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon tidak hanya
berkedudukan sebagai penjamin akan tetapi juga mengikatkan diri sebagai yang
bertanggung jawab atas kewajiban GIC;
- Menimbang bahwa degnan demikian termohon baik sebagai Penjamin maupun
sebagai Debitur dapat dipailitkan;
- Menimbang bahwa Termohon telah ditegor untuk membayar utang;
- Menimbang bahwa utang GIC telah jatuh tempo;
- Menimbang bahwa selain menjadi Penjamin pada Pemohon, Termohon adalah
juga Penjamin utang PT Godpindo Rajabrana pada Bank UPPINDO dan juga
Debitur pada Bank UPPINDO;
- Menimbang bahwa dengan demikian maka telah terbukti bahwa Termohon
memiliki utang kepada lebih satu kreditur dan sedikitnya tidak membayar satu
utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
- Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas setelah
dihubungkan satu dengan yang lainnya, ternyatalah bahwa sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3) UUK telah terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sah dan sederhana bahwa persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK telah terpenuhi, sehingga oleh karena itu
Termohon akan dinyatakan Pailit.
Mengadili
- Mengabulkan permohonan Pemohon;
- Menyatakan bahwa termohon: Jasip Ngakiwan dengan alamat Jl. Cempaka No. 22
RT. 011/RW 002 Pasar Baru-Jakarta Pusat PAILIT;
- Mengangkat dan menunjuk;
1. Sdr. Hasan Basri, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas,
2. Sdr. Gunawan Widyaatmadja, SH., & Rekan dengan alamat Jl. Bima No. 27
Kemanggisan Tomang Barat Jakarta sebagai Kurator.
- Menetapkan besarnya biaya Kurator sebesar 2,5% dari harta Debitur;
- Membebankan kepada Termohon untuk membayar segala ongkos perkara sebesar
Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).
~~***~~
Sumber : Dr. Zulkarnain Sitompul.
A.JAMINAN KREDIT
I. Pendahuluan
Prinsip 5C dalam pemberian kredit telah digunakan selama bertahun-tahun dan
kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan. Prinsip ini meliputi:
• Character (watak);
• Capacity (Kemampuan);
• Capital (Modal);
• Conditions; and
• Collateral (Jaminan).
Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk
dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang,
ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan
faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan
untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence menjalankan bisnis tidak
diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan buruk, dan hasilnya kredit akan
mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya,
kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu,
penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk
mendapatkan pinjaman.
Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada bank
bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan track
record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di
Australia informasi semacam itu dapat didapatkan pada biro kredit, seperti Credit
Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). CRAA mengelola database yang berisi
data kredit baik perorangan maupun perusahaan yang ada di Australia, yang memuat
berbagai informasi dari kredit yang telah diajukan, pembayaran yang telat dan juga
putusan pengadilan yang berhubungan dengan kredit macet. Lembaga keuangan yang
menjadi anggota CRAA berhak untuk untuk mendapatkan informasi tentang si peminjam,
• Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk,
diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
2
dan sebagai imbalannya, mereka harus menyediakan informasi dari pinjaman yang akan
diajukan.
Di Indonesia informasi tentang nasabah dapat diperoleh melalui system informasi
kredit yang dimiliki Bank Indonesia. Namun karena tidak adanya system “kenal diri” yang
berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi
itu seringkali tidak akuran. Bank Indonesia saat ini sedang dalam proses untuk
mendirikan biro kredit yang berfungsi seperti CRAA.
Sedangkan modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari si
peminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu
memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan asset dan passiva dari si
peminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga pinjaman
mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas ratio maksimal asset dan
passiva.
Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi
eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk
mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang
memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak
mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai resiko dari pinjaman,
tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan. Bank tidak memberikan
kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat
membahayakan lingkungan.1
Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit macet.
Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang
diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan. Kesulitan bank dalam
melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C sebagaimana dikemukakan di atas
dapat diatas dengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit. Dengan adanya
skim tersebut maka bank lebih mudah menilai risiko kredit yang diberikannya.
II. Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya kebendaan yang dijadikan
objek jaminan, dan lain sebagainya.
a. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan
oleh seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal 1132, pasal
1134 ayat (1)). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang
dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya,
seperti gadai, hipotik, hak tanggungan dan fiducia.
1 PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney: Lawbook Co., 2001),
hal. 97-104.
3
b. Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan
menjadi jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditu. Kitab Undangundang
Hukum Perdata pada pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perserorangan. Hal ini berarti seluruh harta kekayaan milik debitur
akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua kreditur.
Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap,
baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang
baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah
perjanjian utang piutang diadakan.
Dengan demikian, seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan
umum atas pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak
diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena undang-undang,
sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.
Dalam jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditur mempunyai
kedudukan yang sama terhadap kreditur-kreditur lain, tidak ada kreditur yang
diutamakan atau diistimewakan dari kreditur-kreditur lain.
Karena jaminan umum kurang menguntungkan bagi kreditur, maka
diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus
sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan
mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada krediturkreditur
lain dalam pelunasan utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan
perlindungan kepada kreditur dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenai
hal ini. Jaminan khusus memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi
pemegangnya.
c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak
atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas
benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan
gadai, dan lain-lain).
Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan lansung pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan
terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya ( contoh:
borgtocht).
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat
berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda
bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.
Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan
jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan
4
pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan
account receivable.
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang
lainnya, dengan bentuk, yiatu:
1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu
hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang
diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut
dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.
2) Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas
tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu
ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditu lain.
3) Fiducia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan
hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.
Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk:
1) Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu
perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang
tersebut tidak memenuhinya.
2) Perjanjian Garansi/indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUH Perdata, yang
berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau
menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan
berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi
terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah
berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika
pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan
Sesuai dengan namanya, kredit diberikan kepada debitur berdasarkan
kepercayaan si kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar
kembali utang-utangnya kelak.
Sementara jaminan-jaminan lainnya yang bersifat kontraktual, seperti hak
tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fiducia, dan sebagainya hanya dianggap
sebagai “jaminan tambahan” semata-mata, yakni tambahan atas jaminan
utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.2
2 Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal.
69-70
5
e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang
dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan
menggunakan hak tanggungan atas tanah, sedangkan kalau yang dijamin adalah
kapal laut atau pesawat udara, maka pembebanannya dengan menggunakan
gadai, fiducia, cessie dan account receivable.
f. Jaminan regulative dan jaminan non regulative
Jaminan regulative adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri
sudah diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tergolong ke dalam jaminan regulative ini antara lain adalah hipotik,
gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang. Sedangkan jaminan non regulative
adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek.
Jaminan non regulative ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti
pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan
non regulative yang semata-mata hanya bersifat kontraktual, seperti kuasa
menjual dan lain-lainnya.
g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional
Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama
dikenal dalam system hukum kita, baik yang telah diatur dalam perundangundangan,
hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan
yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama dilaksanakan
dalam praktek, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang bergerak, gadai
tanah, fiducia, garansi, dan akta pengakuan utang.
Sementara itu bentuk-bentuk jaminan non konvensional adalah bentukbentuk
jaminan yang eksistensinya dalam system hukum jaminan yang masih
terbilang baru sungguh pun sudah dilaksanakannya secara meluas, sehingga
pranatanya belum sempat pula diatur secara rapi, antara lain seperti pengalihan
hak tagih debitur (assignment of receivable for security purposes), pengalihan
hak tagih klaim (assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan
menutupi kekurangan biaya (cash deficiency).
h. Saham sebagai agunan tambahan
Dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal yang sehat,
diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal,
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Sehubungan dengan hal itu, bank diperkenankan meminta agunan
tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya jaminan
pemberian kredit.
6
Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU masing-masing
tanggal 7 September 1993 perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang
menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit.
Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada
Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham.
Ditegaskan bahwa bank diperkenankan untuk memberikan kredit dalam
agunan tambahan berupa saham perusahaan yang dibiayai dalam rangka ekspansi
atau akuisisi.
Berdasarkan ketentuan yang baru, bank juga diperbolehkan memberikan
kredit dengan agunan tambahan berupa saham, baik yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar di bursa efek.
Untuk pemberian kredit dalam rangka ekspansi atau akuisisi, bank
diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham yang terdaftar maupun
yang tidak terdaftar di bursa efek. Jika saham yang diagunkan termasuk saham
yang terdaftar di bursa, maka saham yang bersangkutan tidak termasuk saham
yang tidak mengalami transaksi dalam waktu tiga bulan berturut-turut sebelum
saat akad kredit ditandatangani dan saham dengan harga pasar dibawah nilai
nominal pada saat akad kredit ditandatangani.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit maksimim
sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan dibursa efek
pada saat akad kredit ditandatangani. Sebaliknya jika saham yang diagunkan
berupa saham yang tidak terdaftar di bursa efek, maka saham tersebut dibatasi
hanya pada saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit yang
bersangkutan.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kreditnya adalah
maksimum sebesar nilai nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga perusahaan yang bersangkutan.
III Hak-Hak yang Memberi Jaminan yang Mempunyai Sifat Privilege
1. Pengertian
Privilege termasuk jenis piutang yang diberikan keistimewan atau piutang yang
lebih didahulukan (bevoorrechte scdhulden) dalam hal ada pelelangan (executie) dari
harta kekayaan debitur dan dalam hal terjadi kepailitan. Hak untuk didahulukan
diantara orang-orang berpiutang menurut ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata timbul
dari hak istimewa (privilege), disamping dari gadai dan hipotik.
Selanjutnya Pasal 1134 KUHPerdata mengatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Hak istimewa (privilege) adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
7
2. Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam halhal
dimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dengan demikian Privilege adalah hak yang diberikan undang-undang terhadap
seseorang, dan tidak diperjanjikan seperti halnya Gadai dan Hipotik.
Privilege sendiri dapat dibagi dalam dua macam yaitu:
1. Privilege khusus yang tercantum dalam Pasal 1139 KUHPerdata ada 9, merupakan
privilege yang diberikan terhadap benda-benda tertentu dari debitur.
2. Privilege umum diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata ada 7, merupakan privilege
yang diberikan terhadap semua kekayaan debitur.
Privilege khusus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Privilege
umum (Pasal 1138 KUHPerdata) dan tidak ditentukan urutannya, maksudnya
walaupun disebut berturut-turut tapi tidak mengharuskan adanya urutan; sedangkan
Privilege umum ditentukan urutannya artinya yang lebih dahulu disebut, dengan
sendirinya didahulukan dalam pelunasannya.
2. Ciri-Ciri/Sifat-sifat Privilage
a. Privilege baru ada kalau terjadi penyitaan barang dan hasil penjualannya
tidak cukup untuk membayar seluruh hutang kepada kreditur.
b. Privilege tidak memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda
c. Merupakan hak terhadap benda debitur
d. Merupakan hak untuk didahulukan dalam pelunasannya.
Oleh karena itu Privilege bukanlah termasuk jaminan kebendaan karena pada hak
kebendaan cirri-ciri sebagai berikut:
1. Hak itu sudah ada tanpa harus menunggu ada penyitaan barang debitur
terlebih dahulu.
2. Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda.
3. hak kebendaan merupakan hak terhadap suatu benda.
Namun Privilege diatur dalam Buku II KUHPerdata sejajar dengan hak kebendaan.
Hal ini disebabkan Privilege juga memiliki sifat droit de suite dan merupakan hak
yang memberikan jaminan seperti halnya Gadai dan Hipotik. Namun para sarjana
menganggap bahwa seharusnya Privilege dimasukkan kedalam Hukum Acara pedata
yang termasuk Executie (pelelangan) harta kekayaan debitur dan dalam hal debitur
jatuh pailit.
Privilege juga bukan merupakan jaminan perorangan sebab hak perorangan itu
timbul pada saat suatu perjanjian terjadi misalnya, jual beli, sewa menyewa dan
lain-lain, sedangkan Privilege timbul bila barang-barang yang disita tidak mencukupi
untuk langsung melunasi hutang. Disamping itu hak perongan lansgsung memberikan
suatu tuntutan/tagihan terhadap seseorang, sedangkan pada Privilage baru ada
tuntutan dalam hal debitur pailit.
Perbedaan antara Gadai dan Hipotik dengan Privilege adalah kalau Gadai dan
Hipotik adalah karena diperjanjikan sedangkan Privilege diberikan/ditentukan oleh
8
Undang-undang. Kemudian Gadai dan Hipotik lebih didahulukan daripada Privilege,
kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2),
1139 ayat (1) dan 1149 ayat (1) KUHPerdata); antara Gadai dan Hipotik tidak
dipersoalkan mana yang harus didahulukan sebab Gadai berkaitan dengan benda
bergerak sedangkan Hipotik mengenai benda tidak bergerak. Selanjutnya pada
Gadai, para pihak bebas untuk menjamin dengan Gadai terhadap piutang apapun
juga, sedangkan pada Privilege, Undang-undang mengaitkan Privilege itu pada
hubungan-hubungan hukum tertentu.
Meskipun Gadai dan Hipotik berada dalam urutan di atas Privilege artinya hak
utama yang diperjanjikan berada di atas hak utama menurut undang-undang namun
ada pengecualiannya yaitu dalam hal undang-undang menentukan sebaliknya;
termasuk didalamnya antara lain hutang-hutang sebagai berikut:
1. Ongkos-ongkos dalam rangka eksekusi
2. Uang sewa
3. Ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk pemeliharaan benda-benda yang
bersangkutan sesudah benda-benda tersebut digadaikan.
4. Beberapa Privilege lainnya seperti pajak-pajak, bea-cukai dan lain-lain.
5. Hak-hak utama dalam Pasal 318 KUHDagang dan lain-lain
IV. Surety Bond dan Bank Garansi
Praktek penjaminan sudah sejak lama dilakukan oleh lembaga keuangan
khususnya bank, dalam bentuk bank garansi. Sedangkan dalam dunia asuransi
penjaminan dilakukan dalam bentuk surety bond merupakan suatu bentuk penjaminan
yang relatif baru di Indonesia. Bisnis surety bond di Indonesia mulai diperkenalkan sejak
tahun 1980 atas kebijakan pemerintah dengan tujuan untuk membantu para pengusaha
ekonomi lemah untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk itu pemerintah
mengeluarkan Keppres No. 14A/80 tahun 1980 tentang pelaksanaan APBN/APBD dan
bantuan luar negeri. Berdasarkan Keppres tersebut dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 271/KMK.011/1980 Tentang Pemberian Ijin Bagi Bank-bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank untuk dapat Menerbitkan Jaminan. Dalam pelaksanaannya
pemerintah menetapkan pemberian ijin kepada lembaga keuangan non bank untuk
menerbitkan surety bond sebagai alternatif bank garansi, yang ditunjuk pada waktu itu
adalah PT. Asuransi Jasa Raharja (persero).
Secara teori dan praktek terdapat kemiripan antara bank garansi dan garansi
asuransi dalam bentuk surety bond yang pada intinya bahwa baik bank atau asuransi
menjamin untuk memenuhi kewajiban apabila yang dijamin di kemudian hari ternyata
tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga sebagaimana telah diperjanjikan.
Bank garansi sudah lebih dahulu dikenal sebagai lembaga penjaminan atas hutang
atau kewajiban debitur kepada pihak ketiga, dimana tentunya prinsip-prinsip perbankan
dan kehati-hatian diterapkan dalam menganalisa permohonan bank garansi oleh debitur.
Melihat potensi pasar yang cukup menggiurkan itulah perusahaan asuransi
kerugian meluncurkan produk penjaminan yang mirip bank garansi yang lebih dikenal
dengan surety bond, yang merupakan produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan
9
asuransi sebagai upaya pengambilalihan resiko kerugian yang mungkin dialami debitur
yang umumnya sebagai kontraktor yang diberikan kepercayaan oleh pemilik proyek
dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan
tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi
selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur) sebagai
konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur) tersebut.
Dasar hukum antara surety bond dan bank garansi terdapatl perbedaan. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh sifat alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan
penerbitannya tidak lepas dari prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan
permohonan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang
diajukan untuk penerbitan bank garansi. Perbedaan pokok surety bond dan bank garansi.
Pertama, lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety bond
oleh lembaga asuransi. Oleh karena itu, teknis penerbitannya mengikuti ketentuan yang
berlaku bagi lembaga tersebut yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi.
Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral). Sedang asuransi
mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko disebar diantara
penanggung uang (reasuransi). Kedua, bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang
penanggungan hutang/borgtoght sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya
pasal 1831 dimana bank dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk
pelunasan kewajibannya. Sedangkan surety bond adalah perjanjian indemnitas dan
diatur dalam pasal 1316 KUH Perdata di mana kedudukan lembaga asuransi sebagai
penjamin dan prinsipal adalah setara dan mengganti secara tanggungan renteng. Ketiga,
garansi yang diterbitkan bank mempunyai jangka waktu terbatas dalam arti tidak dapat
diperpanjang secara otomatis. Apabila setelah dikaji ternyata nasabah tidak layak diberi
jaminan atau posisi penjamin tidak memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan
yang sudah jatuh tempoh maka bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang
jaminan dimaksud. Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka
waktu surety bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat prinsipal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan kontrak
surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak pembayaran.
Keempat, dalam surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor gagal
maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang pemutusan
hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus diperhitungkan dengan
pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak surety dalam hal ini asuransi
membayar hanya sebesar kerugian yang sungguh, sungguh diderita obligee. Berbeda
halnya dengan bank garansi yang bersifat tanpa syarat (unconditional) dimana apabila
principal telah gagal/lalai memenuhi kewajibannya maka obligee secara sepihak dan
mutlak dapat melakukan pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan prinsipal
sama sekali tidak diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara
penuh.
Setelah diuraikan dasar hukum dan prinsip surety bond dan bank garansi di atas
dapatlah ditarik perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat
alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan penerbitannya tidak lepas dari
prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan permohonan surety bond terhadap
10
perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan bank
garansi yang menggunakan prinsip perbankan yang berhati-hati.
Adanya ketentuan tentang prinsip “5C” membuat ketergantungan pihak bank
terhadap principal lebih kecil dalam hal harus dilakukan pencairan bank garansi terebut.
Bank akan berani hanya melihat pada alasan-alasan hukum telah terjadi wanprestasi dari
pihak yang dijamin (principal) tanpa harus takut hak subrograsinya3 akan mengalami
persoalan bila tidak terlebih dahulu mendapat pengakuan wanprestasi dari principal. Hal
ini dapat terjadi karena pada umumnya bank telah memegang jaminan yang cukup
sebagai kontra garansi terhadap bank garansi yang diberikan.
Bank garansi dalam memberikan jaminan harus memperhatikan kemampuan bank
dalam menanggung resiko dan biasanya erat dikaitkan dengan nilai batas maksimum
pemberian kredit. Sedang dalam surety bond, asuransi dapat menjamin lebih besar,
karena dalam perusahaan asuransi dapat diatasi dengan mekanisme pertanggungan ulang
atau reasuransi.
Perbedaan pemahaman antara lembaga perbankan dan lembaga perasuransian
terhadap penjaminan tersebut, membuat sikap lembaga perbankan dan asuransi
mengenai jaminan (collateral antau kontra garansi) sebagai bagian dari aktivitas
pemberian kredit yang menimbulkan “contigent liabilitas”, menerapkan syarat
pemberian kredit yang melihat collateral sebagai back-up dari bank garansi yang
diberikan. Sementara bagi lembaga perasuransian yang tidak melihat hal ini sebagai
kredit melainkan peralihan resiko dan tanggung jawab hukum, sehingga sampai saat ini
belum melihat collateral sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety
dalam hal terjadinya claim pencairan surety bond dari pihak penerima jaminan
(obligee). Sementara itu upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral dengan
mewajibkan principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity
agreement) hampir tidak memberikan perbedaan upaya-upaya, karena walaupun
indemnitu agreement tidak ditandatangani, hak subrograsi dari perusahaan asuransi
untuk dapat penggantian dari debitur atas telah dilaksanakan pencairan jaminan
principal kepada obligee, artinya tanpa indemnity agreement, asuransi tetap dapat
melaksanakan hak subrograsinya kepada principal. Untuk dapat lebih memahami
perbedaan di atas, ada baiknya dikemukakan perbedaan pokok surety bond dan bank
garansi sebagai berikut:
1. Teknis penerbitan
Karena lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety
bond oleh lembaga asuransi, maka teknis penerbitan mengikuti lembaga tersebut
yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi sebagai lembaga penerbit
dimaksud. Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral).
Sedang asuransi mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko
disebar diantara penanggung uang (reasuransi).
2. Hukum perjanjiannya.
Bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang penanggungan hutang/brogtoght
sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya pasal 1831 dimana bank
3 Subrograsi menurut pasal 1840 KUH Perdata adalah “Bahwa si penanggung telah
membayar, maka ia akan menggantikan demi hukum segala hak si berpiutang terhadap si
berhutang”.
11
dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk pelunasan
kewajibannya. Sedangkan surety bond diatas dalam perjanjian indemnitas (J.
Satrio menyebutkan perjanjian garansi) pasal 1316 KUH Perdata di mana
kedudukan lembaga asuransi sebagai penjamin dan principal adalah setara dan
mengganti secara tanggungan renteng.
3. Jangka waktu berlakunya jaminan
Garansi diterbitkan oleh kalangan perbankan mempunyai jangka waktu terbatas
dalam arti tidak dapat diperpanjang secara otomatis. Hal ini terjadi karena
setiap bank penerbit jaminan akan mengikuti aturan yang telah digariskan Bank
Indonesia yang dalam periode tertentu akan dikaji ulang. Apabila setelah dikaji
ternyata nasabah tidak layak diberi jaminan atau posisi penjamin tidak
memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan yang sudah jatuh tempoh maka
bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang jaminan dimaksud.
Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka waktu surety
bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat principal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan
kontrak surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak
pembayaran.
4. Penyelesaian claim
Bagi Surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor
gagal maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang
pemutusan hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus
diperhitungkan dengan pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak
surety dalam hal ini asuransi membyar hanya sebesar kerugian yang sungguh,
sungguh diderita obligee. Berbeda halnya dengan bank garansi yang bersifat
tanpa syarat (unconditional) dimana apabila principal telah gagal/lalai memenuhi
kewajibannya maka obligee secara sepihak dan mutlak dapat melakukan
pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan principal sama sekali tidak
diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara penuh.
V. Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT)
UUHT disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996. Undangundang
ini adalah sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang (RUU) Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam
Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tersebut yang disampaikan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional pada tanggal 15 September 1996 disebutkan
beberapa hal yang menjadi latar belakang diajukannya RUU yang bersangkutan yaitu:
1. Untuk memenuhi tuntutan pembangunan
2. Melaksanakan amanat UUPA
12
A. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebenarnya menyangkut tiga aspek sekaligus yaitu pertama,
yang berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah, kedua, yang berkaitan dengan
kegiatan perkreditan, dan yang ketiga berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para
pihak yang terkait.
1. Berkaitan Erat dengan Hak Jaminan atas tanah
Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat sebagai
berikut:
1) Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanak tidak hanya
menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga benda-benda
yang akan ada (Pasal 4 ayat(4); bandingkan dengan Pasal 1175
KUHPerdata).
2) Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak
atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan Hak
Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu
olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 UUHT).
2. Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan
Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka Hak tanggungan
adalah salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan
khusus kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Oleh karena itu jika dikaitkan
dengan sifatnya, Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan
memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Maka kreditur
yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek Hak Tanggungan tersebut disediakan
khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.
3. Berkaitan dengan Perlindungan Hukum
Hal ini berhubungan dengan masalah perjanjian, hubungan hutang ppiutang
antara kreditur dengan debitur, dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur,
dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur misalnya tidak dapat memenuhi
apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.
B. Ciri-ciri dan Sifat-sifat Hak Tanggungan
1. Ciri-ciri Hak tanggungan
Dalam Penjelasan Umum angka 3 UUHT dijelaskan ciri-ciri Hak tanggungan
sebagai berikut:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya (dalam Hukum Perdata Barat disebut droit de preference).
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UUHT dan Pasal 20 ayat (1)b.
13
b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun objek itu
berada (dikenal sebagai droit de suite). Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 7 UUHT.
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan (Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 UUHT).
Asas spesialitas berisi antara lain:
• Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
• Domisili para pihak
• Penunjukan secara jelas hutang-hutang yang dijamin
• Nilai tanggungan, dan
• Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Asas Publisitas berisi antara lain:
Hak Tanggungan yang diberikan juga wajib didaftar di Kantor Pertanahan
sehingga adanya Hak tanggungan serta apa yang disebut dalam APHT
dapat dengan mudah diketahui oleh pihak ketiga atau orang-orang yang
berkepentingan (Pasal 13 UUHT).
c. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Sebagaimana diketahui dalam eksekusi putusan dikenal 4 (emapt) macam
eksekusi, yaitu: Pertama, eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR
merupakan eksekusi putusan yang menhukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Kedua, eksekusi yang diatur dalam Pasal 225
HIR, adalah eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan. Ketiga, eksekusi riil yang tidak diatur dalam HIE tetapi
dalam P:asal 1033 RV yang merupakan pelaksanaan putusan yang berupa
pengosongan benda tidak bergerak. Keempat, eksekusi paraat (parate
executie) dikenal juga sebagai eigenmachtige verkoop terjadi apabila
seseorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa
mempunyai title eksekutorial (Pasal 1155, 1178 ayat (2) KUHPerdata)
artinya, merupakan pelaksanaan perjanjian tanpa melalui gugatan atau
tanpa melalui pengadilan.
2. Sifat-sifat Hak Tanggungan
Sifat-sifat khusus antara lain:
a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar) yang berarti hak
tanggungannya membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian
daripadanya.
Pengecualiannya jika diperjanjikan dalam Akte Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan
dengan cara angsuran (roya partial). Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUHT jo.
Pasal 16 UURS.
b. Perjanjian tambahan atau ikutan (accessoir) yang berarti merupakan
perjanjian tambahan atau pelengkap dari perjanjian pokok; yaitu adanya
14
Hak tanggungan tergantung pada adanya perjanjian hutang piutang antara
debitur dengan kreditur yang dijadikan jaminan pelunasan.
c. Pembebanan objek Hak Tanggungan lebih dari satu kali.
Satu objek Hak tanggunan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak
tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Jadi ada
peringkat pertama, kedua dan seterusnya yang ditentukan menurut
tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
d. Parate Executie/Eigenmechtige verkoop
Apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggugnan atas kekuasaan
sendiri (parate executie) melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
a. Objek Hak Tanggungan
Persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai objek
antara lain:
a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa
uang.
b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus
memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur
cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.
d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang.
Maka sesuai dengan syarat diatas objek Hak Tanggungan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UUHT dan Penjelasan Umum angka 5 adalah
hak atas tanah dengan status sebagai berikut:
1) Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1)a, b, c
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA (Pasal 4 ayat
(1) UUHT) yaitu:
• Hak Milik (Pasal 25)
• Hak Guna Usaha (Pasal 33)
• Hak Guna Bangunan (Pasal 39)
2) Yang ditunjuk oleh UURS (lihat Pasal 27 UUHT jo. Pasal 12 dan 13
UURS).
3) Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a UURS jo. Pasal
27 UUHT berikut penjelasannya).
4) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas
tanak Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara
(Pasal 13a UURS jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
15
5) Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
6) Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
b. Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan subjek Hak Tanggungan menurut Pasl 8 ayat (1)
dan Pasal 9 UUHT, baik pemberi maupun penegang Hak Tanggungan adalah
orang perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan; sedangkan pemegang Hak Tanggungan berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang (kreditur).
Syarat-syarat sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak
Tanggungan adalah:
• Warga Negara Indonesia
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di Indonesia maupun di
manca negara
• Badan Hukum Indonesia
• Badan Hukum Asing, baik yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia maupun yang berkantor pusat di manca negara.
Pemberi Hak Tanggungan:
• Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan tunggal sebagai
pemegang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah Negara.
• Badan Hukum Indonesia sebagai pemegang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di dan menjadi
penduduk Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah
Negara.
• Badan Hukum Asing, yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara.
VI. Masalah-masalah Dalam Penyelesaian Jaminan Kredit
a. Penyelesaian Melalui Proses Litigasi
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata seorang berutang dinyatakan telah lalai
memenuhi prestasinya bila berdasarkan suatu surat perintah atau akta sejenisnya
dinyatakan demikian, kecuali jika perikatannya sendiri telah menetapkan bahwa
si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Surat
perintah adalah pernyataan resmi dari juru sita pengadilan, sedangkan akta
sejenis adalah peringatan tertulis.4 Apabila seorang debitur sudah diperingatkan
4 R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 1978), hal 44.
16
dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia tetap tidak melaksanakan prestasinya
maka salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk menuntut
haknya adalah melakukan gugatan perdata melalui pengadilan.
Agar debitur tidak mengalihkan hartanya untuk memenuhi putusan pengadilan,
dalam gugatan harus dicantumkan permohonan putusan provisionil berupa
penetapan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta kekayaan tertentu
debitur. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196 HIR dapat dimintakan
bantuan Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan putusan itu secara paksa.
Pelaksanaan putusan secara paksa ini dibuat eksekusi atau execution forcee. Jika
sudah lewat jangka waktu yang ditetapkan pengadilan pihak yang dikalahkan
tidak memenuhi putusan atau tidak datang menghadap, sesuai dengan ketentuan
Pasal 196 jis Pasal 197 ayat (1) HIR harta benda yang bersangkutan sampai jumlah
yang dianggap cukup disita oleh pengadilan kemudian dijual melalui Kantor
Lelang Negara. Tata cara menjalankan putusan pengadilan menurut HIR adalah:
a) peringatan (aanmaning), b), sita eksekusi dan (c) penyanderaan. Penyelesalain
melalui litigasi ini sering membuat bank frustasi karena pihak pengadilan
menganggap bahwa dalam hubungan perjanjian kredit antara bank dan nasabah
debitur, nasabah bank adalah pihak yang lemah yang harus dilindungi terhadap
bank sehingga bank sering dikalahkan. Selain itu proses penyelesaian utang
melalui pengadilan ini sangat lamban. Menurut suatu penelitian, dibutuhkan
waktu 3-9 tahun untuk menyelesaikan utang piutang perbankan.5
b. Penyelesaian Melalui PUPN
Dalam praktek pelaksanaan pengurusan piutang negara dijumpai masalahmasalah
yuridis yang secara umum timbul akibat tindakan hukum yang dilakukan
oleh debitur ataupun pihak ketiga yang bekepentingan.
a). Putusan pengadilan yang meninjau/membatalkan pernyataan bersama dan
menetapkan jumlah piutang negara atau penjadwalan kembali angsuran
piutang negara.
PUPN mempunyai wewenang menetapkan jumlah piutang negara dan syaratsyarat
penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk Pernyataan Bersama antara
Ketua PUPN dengan debitur atau penanggung utang. Pernyataan Bersama ini
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara
perdata. Dengan demikian sebenarnya pengadilan tidak dapat membatalkan
Pernyataan Bersama. Mahkamah Agung dalam putusannya No.
1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980 dalam perkara antara BNI 1946
melawan Fa. Megaria antara lain menyatakan tidak ada sarana hukum lewat
prosedur peradilan biasa yang dapat ditempuh untuk menghapus adanya Surat
Pernyataan Bersama. Dalam prkatek sampai dengan akhir semester I tahun
1997/1998 terdapat 107 perkara aktif berupa bantahan atau gugatan melalui
pengadilan Negeri yang diajukan oleh Penanggung Utang menyangkut
kebenaran terhadap penetapan jumlah utang.
5 H.P. Panggabean, “Berbagai Masalah Yuridis yang Dihadapi Perbankan Mengamankan
Pengembalian Kredit yang Disalurkannya”, Varia Peradilan VII No. 80, 1992.
17
b) Pengadilan Negeri Membatalkan Penyitaan dan Pelelangan yang telah
dilakukan oleh PUPN karena penerbitan surat paksa sebagai dasar hukum
Pelelangan tidak didahului dengan Pernyataan Bersama
Dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena penanggung utang
tidak memenuhi panggilan meski telah dipangil dengan patut atau tidak
bersedia menandatangani Pernytaan Bersama, maka PUPN melaksanakan
penagihan sekaligus dengan surat paksa. Meskipun Surat Paksa yang
dikeluarkan PUPN mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dalam praktek
dapat saja tertunda bahkan batal pelaksanaannya atas permintaan debitur
kepada PN. Terdapat beberapa putusan PN yang menbatalkan penyitaan dan
pelelangan yang telah dilakukan PUPN atas dasar Surat Paksa sebagai dasar
hukum pelelangan tidak didahului Pernyataan Bersama.
c) Pengadilan TUN Menilai/Meninjau Surat Paksa, Penyitaan dan Pelelangan
PUPN adalah lembaga yang bertindak atas nama negara untuk mengurus
piutang negara yang terjadi karena adanya perbuatan hukum perdata (utang
piutang). Dalam Pasal 2 a UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN diatur
bahwa Keputusam Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.
Tugas PUPN yang dilaksanakan oleh BUPLN adalah melaksanakan peradilan
semu (quasi rech spraak).Oleh karena itu PUPN dan BUPLN bukanlah tugas
bagai Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam praktik, terdapat putusan
Pengadilan TUN yang meninjau surat paksa, penyitaan dan pelelangan yang
dikeluarkan oleh PUPN.
d) Adanya Putusan Sela (Provisi) dari PN Berupa Penundaan/Pembatalan Lelang
Eksekusi PUPN
Pelelangan yang dilakukan PUPN berdasarkan Pernyataan Bersama dan atau
Surat Paksa bersifat parate eksekusi yang mempunyai kekuatan seperti
putusan hakim. Dengan demikian menurut penjelasan Pasal 11 butir 13 (4) UU
No. 49 Prp. Tahun 1960 tidak dapat ditunda atau dibatalkan karena adanya
sanggahan yang diajukan terhadap sahnya atau kebenaran piutang negara.
Dengan demikian, putusan sela yang dikeluarkan sebelum pemeriksaan pokok
perkara seharusnya hanya dikeluarkan untuk sengketa mengenai pemilikan
objek yang akan dilelang saja.
e) PN Meletakkan Sita Jaminan atau Sita Eksekusi atas Barang yang Telah Disita
Lebih Dahulu oleh PUPN
Pasal 201 dan 202 HIR secara implisit menyatakan bahwa terhadap barang
yang sama tidak dapat diadakan sita rangkap. PUPN seringa mengalami
kesulitan untuk memproses pengurusan piutang negara sampai pada tahap
eksekusi lelang, karena sering terjadi sita rangkap (ganda) yang dilakukan
oleh PN.
f) PN Meletakkan Sita Jaminan atas Barang Jaminan Kredit
Putusan MA No. 394K/PDT/1084 tanggal 13 Mei 1984 menyatakan bahwa PN
tidak dapat melaksanakan sita jaminan atas barang milik Penanggung Utang
yang dijaminkan dan telah diikat hipotik. Dalam praktek terdapat putusan PN
18
yang meletakan sita jaminan terhadap barang yang dijaminkan untuk
melunasi piutang negara yang diikat hipotik atas permintaan pihak ketiga.
g) Untuk Mengosongkan Objek Lelang yang masih Dikuasai oleh Debitur atau
Pihak Lain, PN Mengharuskan Pemenang Lelang Eksekusi PUPN Mengajukan
Gugatan Perdata
Ketentuan mengenai pengosongan rumah atau bangunan yang didiami oleh
penanggung utang atau pihak lain diatur dalam penjelsan Pasal 11 butir 11 UU
No. 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pembeli lelang mengajukan permohonan
kepada Ketua PN untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada juru sita untuk
mengusahakan pengosongan rumah atau bangunan, jika perlu dengan bantuan
alat kekuasaan negara. Namun demikian, PN mengharuskan pemenang lelang
menempuh prosedur gugatan perdata.
c. Masalah Eksekusi Grosse Akta
Pada dasarnya eksekusi atau pelaksanaan putusan dilakukan apabila pihak
tergugat tidak mau melaksanakan putusan hakim yang bersifat condemnatoir dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap secara sukarela. Berdasarkan Pasal 224 HIR,
Grosse Akta merupakan perangkat hukum yang disamakan dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam praktik eksekusi grosse akta
tidak semudah bunyi Pasal 224 HIR. Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksekusi
grosse akta menjadi sulit, yaitu nasabah debitur sengaja mengulur-ulur waktu dengan
mengajukan upaya hukum, adanya perlawanan dari pihak ketiga, kesalahan pihak bank
dalam membuat grosse akta dan Ketua PN kurang memahami pengertian grosse akta.
1. Upaya Hukum Nasabah Debitur atau Pihak Ketiga
Dalam praktik eksekusi grosse akta, tidak sedikit nasabah debitur atau pihak
ketiga yang melakukan upaya hukum untuk menghambat proses eksekusi grosse
akta yang hendak dijalankan oleh Ketua PN. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan nasabah debitur atau pihak ketiga melakukan gugatan perlawanan
(verzet) yaitu antara lain nasabah debitur sengaja melakukannya untuk
menghambat proses dan nasabah debitur merasa dirugikan oleh kecurangan
kreditur dalam menghitung angsuran utang. Contoh kasus adanya perlawanan
pihak ketiga yang disebabkan karena pihak bank lalai untuk meniliti dokumendokumen
yang dibuat antara pihak ketiga dengan nasabah debitur. Dalam perkara
antara PT Bank Kesawan melawan Patsan Oloan Ny. Sitodoer Boru Tupang, PT
Bank Kesawan memberikan kredit pada Citra Pujiarta dengan jaminan grosse akta
pemberian jaminan. Nasabah debitur wanprestasi sehingga bank mengajukan
permohonan eksekusi pada ketua PN Medan, yang kemudian dikabulkan. Pihak
bank kemudian membuat pengumuman lelang di surat kabar. Atas dasar
pengumuman tersebut, pihak pelawan mengajukan perlawanan dengan alasan
tanah yang akan dilelang tersebut adalah milik pelawan. Mahkamh Agung
mengeluarkan putusan yang pada pokoknya menolak kasasi PT Bank Kesawan dan
menyatakan menurut hukum grosse akta adalah tidak sah dan memerintahkan
Wakil Juru Sita PN Medan untuk mencabut, mengangkat kembali sita eksekusi
atas tanah pelawan. Alasan MA adalah proses peralihan hak yang dijadikan
anggunan antara Pelawan dan nasabah debitur cacat hukum.
19
2. Kesalahan Notaris (Bank) Dalam Membuat Grosse Akta
Kekeliruan bank tidak terlepas dari kesalahan notaris yang dipercaya oleh bank
untuk membuat dokumen-dokumen tersebut. Kesalahan ini disebabkan perbedaan
penafsiran mengenai grosse akta. Dalam Pasal 224 HIR hanya dikenal dua bentuk
grosse akta yaitu grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotik yang
masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai spesifikasi yang berbeda. MA hanya
membolehkan kalangan perbankan memilih salah satu dari grosse akta tersebut.
Apabila nasabah debitur telah diikat dengan grosse akta pengakuan utang maka
nasabah debitur tidak boleh diikat lagi dengan bentuk perjanjian hipotik.
Disamping kesalahan mencampuradukkan dua bentuk grosse akta menjadi satu,
kalangan perbankan dan notaris sering juga melakukan kesalahan dalam
pembuatan akta pengakuan utang. Akta pengakuan utang yang dibuat oleh
perbankan dan notaris kadang-kadang bukan berisi pernyataan sepihak dari
nasabah debitur, tetapi merupakan perikatan antara bank dan nasabah debitur
yang masing-masing mengikatkan diri dalam akta pengakuan utang. Dalam
perkara PT Waringin Metal Printing & Santosa melawan Nichimen Co. Ltd. &
Takegawa Co, MA menolak permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang
dengan pertimbangan isi akta pengakuan utang tersebut disertai dengan
perjanjian pinjam uang sejamlah $ 1.952.614,47. Pada hakekatnya surat
pengakuan utang hanya dapat memuat suatu pengakuan utang dengan kewajiban
untuk membayar utang tersebut, yang mempunyai akibat bagi pihak yang
berutang tidak lagi mempunyai hak untuk membela diri. Dalam perkara PT Bank
Pasifik Cabang Medan, MA dalam putusan No. 2414 K.Pdt/1987 tanggal 12
Februari 1990 berpendapat bahwa grosse akta berisikan pengakuan utang dengan
pemberian jamian, dimana diperjanjikan pula mengenai barang-barang yang akan
dijaminkan dan syarat-syarat mengenai jaminan tersebut. Dengan demikian
grosse akta semacam itu bukanlah merupakan grosse akta yang dapat dieksekusi
sesuai Pasal 224 HIR.
Dalam perkara antara Bank of America Jakarta mewalan Trisnawati Sudarto, MA
mengabulkan bantahan Trisnawati dengan pertimbangan antara lain Akta
Pernyataan yang dibuat tanggal 15 Januari 1984 hanyalah merupakan akta di
bawah tangan yang tidak berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Oleh karena itu eksekusi yang diajukan oleh BOA adalah tidak ada
dasar hukummya, bahwa Akta Notaris No. 147 yang berisi loan agreement dan
Akta Noratis No. 148 yang berisi acknowledgement of indebtedness and security
agreement adalah bukan grosse akta.
Dalam pembuatan akta pengakuan utang sering juga ditemui jumlah utang
nasabah debitur belum dapat dipastikan jumlahnya. MA berpendapat akta
pengakuan utang seperti ini tidak dapat dieksekusi. Nasabah debitur yang tidak
bersedia menandatangani Surat Pernyataan Bersama juga dapat ditafsirkan
bahwa secara hukum belum terdapat jumlah utang yang pasti. Satu hal yang
merupakan kesalahan adalah adanya anggapan bahwa grosse akta perjanjian
kredit mempunyai fungsi yang sama dengan grosse akta pengakuan utang. Dengan
bekal pemahaman ini. Kalangan notaris dan perbankan menganggap dengan
dicantumkannya kata-kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada grosse akta perjanjian kredit, maka grosse akta tersebut telah
mempunyai kekuatan eksekutorial. MA tidak mengakui grosse akta perjanjian
20
kreidt sebagai grosse akta pengakuan utang. Hal ini dapat dilihat dalam
Keputusan MA No. 1520.K/Pdt./1984 yang melibatkan PT Pan Indonesian Bank
melawan PT Ripe Indonesia.
d. Agunan Harta Bersama
Mahkamah Agung dalam perkara No.1851 K/Pdt/1996 tanggal 23 Pebruari 1998
menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian
yang mengharuskan manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak Penggugat adalah
usteri tergugat yang tidak turut menandatangani surat agunan tersebut. Pembebanan
tanah harta bersama tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar
pertimbangan adil dan patut. Dalam perkara ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera
Utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah adanya penjaminan utang yang
dibuat dalam grosse akta. Pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum
lain, dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan permohonan eksekusi tersebut.
Penggugat merasa dirugikan karena objek yang dimohonkan eksekusi adalah harta
bersama. Harta bersama dapat dikategorikan sebagai hak milik bersama. Dikatakan hak
milik bersama karena terdapat beberapa orang pemilik ata suatu benda yang sama.
Selain KUHPerdata, UU Perkawinan mengenal adanya harta milik bersama yang disebut
sebagai harta bersama. Hak milik bersama ada dua macam yaitu hak milik bersama yang
bebas dan hal milik yang terkait. Hak milik bersama yang bebas terjadi karena
diperjanjikan antara beberapa pemilik bersama atas suatu benda. Hak milik bersama
yang terkait terjadi karena ketentuan undang-undang dan sebagai akibat hubungan
hukum yang sudah ada lebih dahulu. Misalnya pemilik bersama harta perkawinan akibat
adanya perkawinan, pemilik bersama atas harta peninggalan akibat adanya pewarisan.
Tiap pemilik harta bersama tidak dimungkinkan bebrbuat apa saja tanpa izin dari
pemilik bersama lainnya.
e. Penafsiran Pasal 1831 dan 1822 KUHPerdata: Penanggungan Utang
(borgtocht)Putusan Pengadilan Niaga No.70/PAILIT/1999/PN.NIAGA/JKT.PST
Tanggal 1 November 1999
Duduk perkara
PT Gardiana Interbullion Corporation (“GIC”) adalah debitur dari Bank Ekonomi
berdasarkan Akte perjanjian Kredit Nomor 79, tertanggal 13 Maret 1997 dan Akta
Perjanjian Kredit nomor 80, tertanggl 7 Mei 1997.
Perjanjian Kredit dimaksud dijamin oleh fixed asset dan Jaminan Pribadi dari Jasip
Ngakiwan berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) nomor 81 tertanggal 13 Maret
1997.
Pada saat jatuh tempo yaitu pada tanggal 13 Maret 1998, GIC tidak mampu
mengembalikan seluruh utangnya kepada Bank Ekonomi. Dan untuk itu telah dilakukan
pelelangan atas jaminan berupa fixed assets yang tidak mencukupi untuk melunasi
seluruh utang debitur.
Oleh karena hasil pelelangan jaminan fixed assets tidak mencukupi, maka bank Ekonomi
berdasarkan Akta Jaminan Pribadi menuntut pemenuhan pembayaran atas utang GIC dari
21
Jasip Ngakiwan selaku penjamin pribadi yang telah melepaskan sebagian hak-hak
istimewanya dan dengan demikian bertanggung jawab layaknya seorang debitur yang
menggantikan debitur semula (GIC).
Dalil pemohon
Bank Ekonomi (selanjutnya disebut sebagai pemohon) mendalilkan sebagai berikut:
- Bahwa oleh karena GIC telah tidak mampu membayar, maka Jasip Ngakiwan
(selanjutnya disebut Termohon) selaku Penjamin Pribadi otomatis menggantukan
kedudukan GIC selaku Debitur;
- Bahwa Termohon telah melepaskan segala hak-hak dan hak utama yang diberikan
Undang-undang kepada Termohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1430, 1843,
1847, 1848 dan Pasal 1849 KUHP;
- Bahwa Termohon, selain menjadi Penjamin Pribadi dari GIC, adalah juga Debitur
dari Bani UUPINDO dan penjamin pribadi atas utang PT Goldpindo Rajabrana pada
Bank UPPINDO;
- Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Termohon telah secara sederhana
terbukti memiliki lebih dari satu kreditur dan telah tidak membayar sedikitnya
satu uatang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dalil Termohon
- Termohon menyatakan bahwa fakta-fakta yang diajukan pemohon tidak terbukti
secara hukum.
- Untuk itu permohonan Pemohon harus ditolak.
Pertimbangan Hukum
- Menimbang bahwa yang menjadi posita dari permohonan adalah bahwa Termohon
adalah penjamin guna menjamin pelunasan utang-utang GIC kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon telah menyatakan
dan mengikatkan diri sebagai Penjamin dan karenanya bertanggungjawab
sepenuhnya dengan harta bendanya guna menjamin utang-utang GIC kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dalam Akta Penjaminan dinyatakan bahwa Termohon secara
otomatis menggantikan kedudukan GIC untuk membayar lunas kewajibannya pada
Pemohon, setelah terpenuhinya syarat sebagai berikut:
1. Walaupun telah diperingatkan dengan layak, tidak atau belum dapat
memenuhi kewajibannya kepada Pemohon,
2. Jatuh pailit,
3. Minta penangguhan pembayaran utang atas putusan pengadilan,
4. Di likuidasi.
22
- Menimbang bahwa Pemohon telah melakukkan penegoran kepada GIC secara
patut;
- Menimbang bahwa telah dilakukan pelelangan atas harta-harta debitur, dimana
pelelangan dimaksud tidak mencukupi untuk melunasi utang debitur kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dengan demikian Termohon telah dan menggantikan
kedudukan GIC untuk membayar lunas seluruh kewajiban kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon tidak hanya
berkedudukan sebagai penjamin akan tetapi juga mengikatkan diri sebagai yang
bertanggung jawab atas kewajiban GIC;
- Menimbang bahwa degnan demikian termohon baik sebagai Penjamin maupun
sebagai Debitur dapat dipailitkan;
- Menimbang bahwa Termohon telah ditegor untuk membayar utang;
- Menimbang bahwa utang GIC telah jatuh tempo;
- Menimbang bahwa selain menjadi Penjamin pada Pemohon, Termohon adalah
juga Penjamin utang PT Godpindo Rajabrana pada Bank UPPINDO dan juga
Debitur pada Bank UPPINDO;
- Menimbang bahwa dengan demikian maka telah terbukti bahwa Termohon
memiliki utang kepada lebih satu kreditur dan sedikitnya tidak membayar satu
utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
- Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas setelah
dihubungkan satu dengan yang lainnya, ternyatalah bahwa sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3) UUK telah terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sah dan sederhana bahwa persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK telah terpenuhi, sehingga oleh karena itu
Termohon akan dinyatakan Pailit.
Mengadili
- Mengabulkan permohonan Pemohon;
- Menyatakan bahwa termohon: Jasip Ngakiwan dengan alamat Jl. Cempaka No. 22
RT. 011/RW 002 Pasar Baru-Jakarta Pusat PAILIT;
- Mengangkat dan menunjuk;
1. Sdr. Hasan Basri, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas,
2. Sdr. Gunawan Widyaatmadja, SH., & Rekan dengan alamat Jl. Bima No. 27
Kemanggisan Tomang Barat Jakarta sebagai Kurator.
- Menetapkan besarnya biaya Kurator sebesar 2,5% dari harta Debitur;
- Membebankan kepada Termohon untuk membayar segala ongkos perkara sebesar
Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).
~~***~~
1
JAMINAN KREDIT
Kendala dan Masalah•
I. Pendahuluan
Prinsip 5C dalam pemberian kredit telah digunakan selama bertahun-tahun dan
kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan. Prinsip ini meliputi:
• Character (watak);
• Capacity (Kemampuan);
• Capital (Modal);
• Conditions; and
• Collateral (Jaminan).
Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk
dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang,
ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan
faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan
untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence menjalankan bisnis tidak
diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan buruk, dan hasilnya kredit akan
mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya,
kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu,
penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk
mendapatkan pinjaman.
Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada bank
bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan track
record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di
Australia informasi semacam itu dapat didapatkan pada biro kredit, seperti Credit
Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). CRAA mengelola database yang berisi
data kredit baik perorangan maupun perusahaan yang ada di Australia, yang memuat
berbagai informasi dari kredit yang telah diajukan, pembayaran yang telat dan juga
putusan pengadilan yang berhubungan dengan kredit macet. Lembaga keuangan yang
menjadi anggota CRAA berhak untuk untuk mendapatkan informasi tentang si peminjam,
• Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk,
diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
2
dan sebagai imbalannya, mereka harus menyediakan informasi dari pinjaman yang akan
diajukan.
Di Indonesia informasi tentang nasabah dapat diperoleh melalui system informasi
kredit yang dimiliki Bank Indonesia. Namun karena tidak adanya system “kenal diri” yang
berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi
itu seringkali tidak akuran. Bank Indonesia saat ini sedang dalam proses untuk
mendirikan biro kredit yang berfungsi seperti CRAA.
Sedangkan modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari si
peminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu
memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan asset dan passiva dari si
peminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga pinjaman
mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas ratio maksimal asset dan
passiva.
Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi
eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk
mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang
memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak
mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai resiko dari pinjaman,
tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan. Bank tidak memberikan
kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat
membahayakan lingkungan.1
Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit macet.
Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang
diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan. Kesulitan bank dalam
melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C sebagaimana dikemukakan di atas
dapat diatas dengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit. Dengan adanya
skim tersebut maka bank lebih mudah menilai risiko kredit yang diberikannya.
II. Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya kebendaan yang dijadikan
objek jaminan, dan lain sebagainya.
a. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan
oleh seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal 1132, pasal
1134 ayat (1)). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang
dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya,
seperti gadai, hipotik, hak tanggungan dan fiducia.
1 PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney: Lawbook Co., 2001),
hal. 97-104.
3
b. Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan
menjadi jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditu. Kitab Undangundang
Hukum Perdata pada pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perserorangan. Hal ini berarti seluruh harta kekayaan milik debitur
akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua kreditur.
Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap,
baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang
baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah
perjanjian utang piutang diadakan.
Dengan demikian, seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan
umum atas pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak
diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena undang-undang,
sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.
Dalam jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditur mempunyai
kedudukan yang sama terhadap kreditur-kreditur lain, tidak ada kreditur yang
diutamakan atau diistimewakan dari kreditur-kreditur lain.
Karena jaminan umum kurang menguntungkan bagi kreditur, maka
diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus
sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan
mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada krediturkreditur
lain dalam pelunasan utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan
perlindungan kepada kreditur dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenai
hal ini. Jaminan khusus memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi
pemegangnya.
c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak
atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas
benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan
gadai, dan lain-lain).
Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan lansung pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan
terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya ( contoh:
borgtocht).
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat
berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda
bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.
Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan
jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan
4
pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan
account receivable.
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang
lainnya, dengan bentuk, yiatu:
1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu
hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang
diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut
dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.
2) Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas
tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu
ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditu lain.
3) Fiducia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan
hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.
Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk:
1) Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu
perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang
tersebut tidak memenuhinya.
2) Perjanjian Garansi/indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUH Perdata, yang
berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau
menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan
berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi
terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah
berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika
pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan
Sesuai dengan namanya, kredit diberikan kepada debitur berdasarkan
kepercayaan si kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar
kembali utang-utangnya kelak.
Sementara jaminan-jaminan lainnya yang bersifat kontraktual, seperti hak
tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fiducia, dan sebagainya hanya dianggap
sebagai “jaminan tambahan” semata-mata, yakni tambahan atas jaminan
utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.2
2 Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal.
69-70
5
e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang
dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan
menggunakan hak tanggungan atas tanah, sedangkan kalau yang dijamin adalah
kapal laut atau pesawat udara, maka pembebanannya dengan menggunakan
gadai, fiducia, cessie dan account receivable.
f. Jaminan regulative dan jaminan non regulative
Jaminan regulative adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri
sudah diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tergolong ke dalam jaminan regulative ini antara lain adalah hipotik,
gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang. Sedangkan jaminan non regulative
adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek.
Jaminan non regulative ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti
pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan
non regulative yang semata-mata hanya bersifat kontraktual, seperti kuasa
menjual dan lain-lainnya.
g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional
Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama
dikenal dalam system hukum kita, baik yang telah diatur dalam perundangundangan,
hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan
yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama dilaksanakan
dalam praktek, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang bergerak, gadai
tanah, fiducia, garansi, dan akta pengakuan utang.
Sementara itu bentuk-bentuk jaminan non konvensional adalah bentukbentuk
jaminan yang eksistensinya dalam system hukum jaminan yang masih
terbilang baru sungguh pun sudah dilaksanakannya secara meluas, sehingga
pranatanya belum sempat pula diatur secara rapi, antara lain seperti pengalihan
hak tagih debitur (assignment of receivable for security purposes), pengalihan
hak tagih klaim (assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan
menutupi kekurangan biaya (cash deficiency).
h. Saham sebagai agunan tambahan
Dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal yang sehat,
diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal,
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Sehubungan dengan hal itu, bank diperkenankan meminta agunan
tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya jaminan
pemberian kredit.
6
Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU masing-masing
tanggal 7 September 1993 perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang
menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit.
Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada
Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham.
Ditegaskan bahwa bank diperkenankan untuk memberikan kredit dalam
agunan tambahan berupa saham perusahaan yang dibiayai dalam rangka ekspansi
atau akuisisi.
Berdasarkan ketentuan yang baru, bank juga diperbolehkan memberikan
kredit dengan agunan tambahan berupa saham, baik yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar di bursa efek.
Untuk pemberian kredit dalam rangka ekspansi atau akuisisi, bank
diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham yang terdaftar maupun
yang tidak terdaftar di bursa efek. Jika saham yang diagunkan termasuk saham
yang terdaftar di bursa, maka saham yang bersangkutan tidak termasuk saham
yang tidak mengalami transaksi dalam waktu tiga bulan berturut-turut sebelum
saat akad kredit ditandatangani dan saham dengan harga pasar dibawah nilai
nominal pada saat akad kredit ditandatangani.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit maksimim
sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan dibursa efek
pada saat akad kredit ditandatangani. Sebaliknya jika saham yang diagunkan
berupa saham yang tidak terdaftar di bursa efek, maka saham tersebut dibatasi
hanya pada saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit yang
bersangkutan.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kreditnya adalah
maksimum sebesar nilai nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga perusahaan yang bersangkutan.
III Hak-Hak yang Memberi Jaminan yang Mempunyai Sifat Privilege
1. Pengertian
Privilege termasuk jenis piutang yang diberikan keistimewan atau piutang yang
lebih didahulukan (bevoorrechte scdhulden) dalam hal ada pelelangan (executie) dari
harta kekayaan debitur dan dalam hal terjadi kepailitan. Hak untuk didahulukan
diantara orang-orang berpiutang menurut ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata timbul
dari hak istimewa (privilege), disamping dari gadai dan hipotik.
Selanjutnya Pasal 1134 KUHPerdata mengatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Hak istimewa (privilege) adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
7
2. Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam halhal
dimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dengan demikian Privilege adalah hak yang diberikan undang-undang terhadap
seseorang, dan tidak diperjanjikan seperti halnya Gadai dan Hipotik.
Privilege sendiri dapat dibagi dalam dua macam yaitu:
1. Privilege khusus yang tercantum dalam Pasal 1139 KUHPerdata ada 9, merupakan
privilege yang diberikan terhadap benda-benda tertentu dari debitur.
2. Privilege umum diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata ada 7, merupakan privilege
yang diberikan terhadap semua kekayaan debitur.
Privilege khusus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Privilege
umum (Pasal 1138 KUHPerdata) dan tidak ditentukan urutannya, maksudnya
walaupun disebut berturut-turut tapi tidak mengharuskan adanya urutan; sedangkan
Privilege umum ditentukan urutannya artinya yang lebih dahulu disebut, dengan
sendirinya didahulukan dalam pelunasannya.
2. Ciri-Ciri/Sifat-sifat Privilage
a. Privilege baru ada kalau terjadi penyitaan barang dan hasil penjualannya
tidak cukup untuk membayar seluruh hutang kepada kreditur.
b. Privilege tidak memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda
c. Merupakan hak terhadap benda debitur
d. Merupakan hak untuk didahulukan dalam pelunasannya.
Oleh karena itu Privilege bukanlah termasuk jaminan kebendaan karena pada hak
kebendaan cirri-ciri sebagai berikut:
1. Hak itu sudah ada tanpa harus menunggu ada penyitaan barang debitur
terlebih dahulu.
2. Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda.
3. hak kebendaan merupakan hak terhadap suatu benda.
Namun Privilege diatur dalam Buku II KUHPerdata sejajar dengan hak kebendaan.
Hal ini disebabkan Privilege juga memiliki sifat droit de suite dan merupakan hak
yang memberikan jaminan seperti halnya Gadai dan Hipotik. Namun para sarjana
menganggap bahwa seharusnya Privilege dimasukkan kedalam Hukum Acara pedata
yang termasuk Executie (pelelangan) harta kekayaan debitur dan dalam hal debitur
jatuh pailit.
Privilege juga bukan merupakan jaminan perorangan sebab hak perorangan itu
timbul pada saat suatu perjanjian terjadi misalnya, jual beli, sewa menyewa dan
lain-lain, sedangkan Privilege timbul bila barang-barang yang disita tidak mencukupi
untuk langsung melunasi hutang. Disamping itu hak perongan lansgsung memberikan
suatu tuntutan/tagihan terhadap seseorang, sedangkan pada Privilage baru ada
tuntutan dalam hal debitur pailit.
Perbedaan antara Gadai dan Hipotik dengan Privilege adalah kalau Gadai dan
Hipotik adalah karena diperjanjikan sedangkan Privilege diberikan/ditentukan oleh
8
Undang-undang. Kemudian Gadai dan Hipotik lebih didahulukan daripada Privilege,
kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2),
1139 ayat (1) dan 1149 ayat (1) KUHPerdata); antara Gadai dan Hipotik tidak
dipersoalkan mana yang harus didahulukan sebab Gadai berkaitan dengan benda
bergerak sedangkan Hipotik mengenai benda tidak bergerak. Selanjutnya pada
Gadai, para pihak bebas untuk menjamin dengan Gadai terhadap piutang apapun
juga, sedangkan pada Privilege, Undang-undang mengaitkan Privilege itu pada
hubungan-hubungan hukum tertentu.
Meskipun Gadai dan Hipotik berada dalam urutan di atas Privilege artinya hak
utama yang diperjanjikan berada di atas hak utama menurut undang-undang namun
ada pengecualiannya yaitu dalam hal undang-undang menentukan sebaliknya;
termasuk didalamnya antara lain hutang-hutang sebagai berikut:
1. Ongkos-ongkos dalam rangka eksekusi
2. Uang sewa
3. Ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk pemeliharaan benda-benda yang
bersangkutan sesudah benda-benda tersebut digadaikan.
4. Beberapa Privilege lainnya seperti pajak-pajak, bea-cukai dan lain-lain.
5. Hak-hak utama dalam Pasal 318 KUHDagang dan lain-lain
IV. Surety Bond dan Bank Garansi
Praktek penjaminan sudah sejak lama dilakukan oleh lembaga keuangan
khususnya bank, dalam bentuk bank garansi. Sedangkan dalam dunia asuransi
penjaminan dilakukan dalam bentuk surety bond merupakan suatu bentuk penjaminan
yang relatif baru di Indonesia. Bisnis surety bond di Indonesia mulai diperkenalkan sejak
tahun 1980 atas kebijakan pemerintah dengan tujuan untuk membantu para pengusaha
ekonomi lemah untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk itu pemerintah
mengeluarkan Keppres No. 14A/80 tahun 1980 tentang pelaksanaan APBN/APBD dan
bantuan luar negeri. Berdasarkan Keppres tersebut dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 271/KMK.011/1980 Tentang Pemberian Ijin Bagi Bank-bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank untuk dapat Menerbitkan Jaminan. Dalam pelaksanaannya
pemerintah menetapkan pemberian ijin kepada lembaga keuangan non bank untuk
menerbitkan surety bond sebagai alternatif bank garansi, yang ditunjuk pada waktu itu
adalah PT. Asuransi Jasa Raharja (persero).
Secara teori dan praktek terdapat kemiripan antara bank garansi dan garansi
asuransi dalam bentuk surety bond yang pada intinya bahwa baik bank atau asuransi
menjamin untuk memenuhi kewajiban apabila yang dijamin di kemudian hari ternyata
tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga sebagaimana telah diperjanjikan.
Bank garansi sudah lebih dahulu dikenal sebagai lembaga penjaminan atas hutang
atau kewajiban debitur kepada pihak ketiga, dimana tentunya prinsip-prinsip perbankan
dan kehati-hatian diterapkan dalam menganalisa permohonan bank garansi oleh debitur.
Melihat potensi pasar yang cukup menggiurkan itulah perusahaan asuransi
kerugian meluncurkan produk penjaminan yang mirip bank garansi yang lebih dikenal
dengan surety bond, yang merupakan produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan
9
asuransi sebagai upaya pengambilalihan resiko kerugian yang mungkin dialami debitur
yang umumnya sebagai kontraktor yang diberikan kepercayaan oleh pemilik proyek
dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan
tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi
selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur) sebagai
konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur) tersebut.
Dasar hukum antara surety bond dan bank garansi terdapatl perbedaan. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh sifat alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan
penerbitannya tidak lepas dari prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan
permohonan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang
diajukan untuk penerbitan bank garansi. Perbedaan pokok surety bond dan bank garansi.
Pertama, lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety bond
oleh lembaga asuransi. Oleh karena itu, teknis penerbitannya mengikuti ketentuan yang
berlaku bagi lembaga tersebut yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi.
Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral). Sedang asuransi
mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko disebar diantara
penanggung uang (reasuransi). Kedua, bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang
penanggungan hutang/borgtoght sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya
pasal 1831 dimana bank dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk
pelunasan kewajibannya. Sedangkan surety bond adalah perjanjian indemnitas dan
diatur dalam pasal 1316 KUH Perdata di mana kedudukan lembaga asuransi sebagai
penjamin dan prinsipal adalah setara dan mengganti secara tanggungan renteng. Ketiga,
garansi yang diterbitkan bank mempunyai jangka waktu terbatas dalam arti tidak dapat
diperpanjang secara otomatis. Apabila setelah dikaji ternyata nasabah tidak layak diberi
jaminan atau posisi penjamin tidak memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan
yang sudah jatuh tempoh maka bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang
jaminan dimaksud. Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka
waktu surety bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat prinsipal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan kontrak
surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak pembayaran.
Keempat, dalam surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor gagal
maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang pemutusan
hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus diperhitungkan dengan
pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak surety dalam hal ini asuransi
membayar hanya sebesar kerugian yang sungguh, sungguh diderita obligee. Berbeda
halnya dengan bank garansi yang bersifat tanpa syarat (unconditional) dimana apabila
principal telah gagal/lalai memenuhi kewajibannya maka obligee secara sepihak dan
mutlak dapat melakukan pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan prinsipal
sama sekali tidak diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara
penuh.
Setelah diuraikan dasar hukum dan prinsip surety bond dan bank garansi di atas
dapatlah ditarik perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat
alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan penerbitannya tidak lepas dari
prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan permohonan surety bond terhadap
10
perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan bank
garansi yang menggunakan prinsip perbankan yang berhati-hati.
Adanya ketentuan tentang prinsip “5C” membuat ketergantungan pihak bank
terhadap principal lebih kecil dalam hal harus dilakukan pencairan bank garansi terebut.
Bank akan berani hanya melihat pada alasan-alasan hukum telah terjadi wanprestasi dari
pihak yang dijamin (principal) tanpa harus takut hak subrograsinya3 akan mengalami
persoalan bila tidak terlebih dahulu mendapat pengakuan wanprestasi dari principal. Hal
ini dapat terjadi karena pada umumnya bank telah memegang jaminan yang cukup
sebagai kontra garansi terhadap bank garansi yang diberikan.
Bank garansi dalam memberikan jaminan harus memperhatikan kemampuan bank
dalam menanggung resiko dan biasanya erat dikaitkan dengan nilai batas maksimum
pemberian kredit. Sedang dalam surety bond, asuransi dapat menjamin lebih besar,
karena dalam perusahaan asuransi dapat diatasi dengan mekanisme pertanggungan ulang
atau reasuransi.
Perbedaan pemahaman antara lembaga perbankan dan lembaga perasuransian
terhadap penjaminan tersebut, membuat sikap lembaga perbankan dan asuransi
mengenai jaminan (collateral antau kontra garansi) sebagai bagian dari aktivitas
pemberian kredit yang menimbulkan “contigent liabilitas”, menerapkan syarat
pemberian kredit yang melihat collateral sebagai back-up dari bank garansi yang
diberikan. Sementara bagi lembaga perasuransian yang tidak melihat hal ini sebagai
kredit melainkan peralihan resiko dan tanggung jawab hukum, sehingga sampai saat ini
belum melihat collateral sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety
dalam hal terjadinya claim pencairan surety bond dari pihak penerima jaminan
(obligee). Sementara itu upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral dengan
mewajibkan principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity
agreement) hampir tidak memberikan perbedaan upaya-upaya, karena walaupun
indemnitu agreement tidak ditandatangani, hak subrograsi dari perusahaan asuransi
untuk dapat penggantian dari debitur atas telah dilaksanakan pencairan jaminan
principal kepada obligee, artinya tanpa indemnity agreement, asuransi tetap dapat
melaksanakan hak subrograsinya kepada principal. Untuk dapat lebih memahami
perbedaan di atas, ada baiknya dikemukakan perbedaan pokok surety bond dan bank
garansi sebagai berikut:
1. Teknis penerbitan
Karena lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety
bond oleh lembaga asuransi, maka teknis penerbitan mengikuti lembaga tersebut
yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi sebagai lembaga penerbit
dimaksud. Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral).
Sedang asuransi mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko
disebar diantara penanggung uang (reasuransi).
2. Hukum perjanjiannya.
Bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang penanggungan hutang/brogtoght
sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya pasal 1831 dimana bank
3 Subrograsi menurut pasal 1840 KUH Perdata adalah “Bahwa si penanggung telah
membayar, maka ia akan menggantikan demi hukum segala hak si berpiutang terhadap si
berhutang”.
11
dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk pelunasan
kewajibannya. Sedangkan surety bond diatas dalam perjanjian indemnitas (J.
Satrio menyebutkan perjanjian garansi) pasal 1316 KUH Perdata di mana
kedudukan lembaga asuransi sebagai penjamin dan principal adalah setara dan
mengganti secara tanggungan renteng.
3. Jangka waktu berlakunya jaminan
Garansi diterbitkan oleh kalangan perbankan mempunyai jangka waktu terbatas
dalam arti tidak dapat diperpanjang secara otomatis. Hal ini terjadi karena
setiap bank penerbit jaminan akan mengikuti aturan yang telah digariskan Bank
Indonesia yang dalam periode tertentu akan dikaji ulang. Apabila setelah dikaji
ternyata nasabah tidak layak diberi jaminan atau posisi penjamin tidak
memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan yang sudah jatuh tempoh maka
bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang jaminan dimaksud.
Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka waktu surety
bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat principal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan
kontrak surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak
pembayaran.
4. Penyelesaian claim
Bagi Surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor
gagal maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang
pemutusan hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus
diperhitungkan dengan pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak
surety dalam hal ini asuransi membyar hanya sebesar kerugian yang sungguh,
sungguh diderita obligee. Berbeda halnya dengan bank garansi yang bersifat
tanpa syarat (unconditional) dimana apabila principal telah gagal/lalai memenuhi
kewajibannya maka obligee secara sepihak dan mutlak dapat melakukan
pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan principal sama sekali tidak
diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara penuh.
V. Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT)
UUHT disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996. Undangundang
ini adalah sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang (RUU) Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam
Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tersebut yang disampaikan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional pada tanggal 15 September 1996 disebutkan
beberapa hal yang menjadi latar belakang diajukannya RUU yang bersangkutan yaitu:
1. Untuk memenuhi tuntutan pembangunan
2. Melaksanakan amanat UUPA
12
A. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebenarnya menyangkut tiga aspek sekaligus yaitu pertama,
yang berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah, kedua, yang berkaitan dengan
kegiatan perkreditan, dan yang ketiga berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para
pihak yang terkait.
1. Berkaitan Erat dengan Hak Jaminan atas tanah
Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat sebagai
berikut:
1) Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanak tidak hanya
menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga benda-benda
yang akan ada (Pasal 4 ayat(4); bandingkan dengan Pasal 1175
KUHPerdata).
2) Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak
atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan Hak
Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu
olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 UUHT).
2. Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan
Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka Hak tanggungan
adalah salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan
khusus kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Oleh karena itu jika dikaitkan
dengan sifatnya, Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan
memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Maka kreditur
yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek Hak Tanggungan tersebut disediakan
khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.
3. Berkaitan dengan Perlindungan Hukum
Hal ini berhubungan dengan masalah perjanjian, hubungan hutang ppiutang
antara kreditur dengan debitur, dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur,
dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur misalnya tidak dapat memenuhi
apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.
B. Ciri-ciri dan Sifat-sifat Hak Tanggungan
1. Ciri-ciri Hak tanggungan
Dalam Penjelasan Umum angka 3 UUHT dijelaskan ciri-ciri Hak tanggungan
sebagai berikut:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya (dalam Hukum Perdata Barat disebut droit de preference).
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UUHT dan Pasal 20 ayat (1)b.
13
b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun objek itu
berada (dikenal sebagai droit de suite). Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 7 UUHT.
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan (Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 UUHT).
Asas spesialitas berisi antara lain:
• Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
• Domisili para pihak
• Penunjukan secara jelas hutang-hutang yang dijamin
• Nilai tanggungan, dan
• Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Asas Publisitas berisi antara lain:
Hak Tanggungan yang diberikan juga wajib didaftar di Kantor Pertanahan
sehingga adanya Hak tanggungan serta apa yang disebut dalam APHT
dapat dengan mudah diketahui oleh pihak ketiga atau orang-orang yang
berkepentingan (Pasal 13 UUHT).
c. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Sebagaimana diketahui dalam eksekusi putusan dikenal 4 (emapt) macam
eksekusi, yaitu: Pertama, eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR
merupakan eksekusi putusan yang menhukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Kedua, eksekusi yang diatur dalam Pasal 225
HIR, adalah eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan. Ketiga, eksekusi riil yang tidak diatur dalam HIE tetapi
dalam P:asal 1033 RV yang merupakan pelaksanaan putusan yang berupa
pengosongan benda tidak bergerak. Keempat, eksekusi paraat (parate
executie) dikenal juga sebagai eigenmachtige verkoop terjadi apabila
seseorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa
mempunyai title eksekutorial (Pasal 1155, 1178 ayat (2) KUHPerdata)
artinya, merupakan pelaksanaan perjanjian tanpa melalui gugatan atau
tanpa melalui pengadilan.
2. Sifat-sifat Hak Tanggungan
Sifat-sifat khusus antara lain:
a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar) yang berarti hak
tanggungannya membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian
daripadanya.
Pengecualiannya jika diperjanjikan dalam Akte Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan
dengan cara angsuran (roya partial). Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUHT jo.
Pasal 16 UURS.
b. Perjanjian tambahan atau ikutan (accessoir) yang berarti merupakan
perjanjian tambahan atau pelengkap dari perjanjian pokok; yaitu adanya
14
Hak tanggungan tergantung pada adanya perjanjian hutang piutang antara
debitur dengan kreditur yang dijadikan jaminan pelunasan.
c. Pembebanan objek Hak Tanggungan lebih dari satu kali.
Satu objek Hak tanggunan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak
tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Jadi ada
peringkat pertama, kedua dan seterusnya yang ditentukan menurut
tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
d. Parate Executie/Eigenmechtige verkoop
Apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggugnan atas kekuasaan
sendiri (parate executie) melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
a. Objek Hak Tanggungan
Persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai objek
antara lain:
a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa
uang.
b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus
memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur
cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.
d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang.
Maka sesuai dengan syarat diatas objek Hak Tanggungan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UUHT dan Penjelasan Umum angka 5 adalah
hak atas tanah dengan status sebagai berikut:
1) Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1)a, b, c
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA (Pasal 4 ayat
(1) UUHT) yaitu:
• Hak Milik (Pasal 25)
• Hak Guna Usaha (Pasal 33)
• Hak Guna Bangunan (Pasal 39)
2) Yang ditunjuk oleh UURS (lihat Pasal 27 UUHT jo. Pasal 12 dan 13
UURS).
3) Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a UURS jo. Pasal
27 UUHT berikut penjelasannya).
4) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas
tanak Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara
(Pasal 13a UURS jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
15
5) Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
6) Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
b. Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan subjek Hak Tanggungan menurut Pasl 8 ayat (1)
dan Pasal 9 UUHT, baik pemberi maupun penegang Hak Tanggungan adalah
orang perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan; sedangkan pemegang Hak Tanggungan berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang (kreditur).
Syarat-syarat sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak
Tanggungan adalah:
• Warga Negara Indonesia
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di Indonesia maupun di
manca negara
• Badan Hukum Indonesia
• Badan Hukum Asing, baik yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia maupun yang berkantor pusat di manca negara.
Pemberi Hak Tanggungan:
• Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan tunggal sebagai
pemegang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah Negara.
• Badan Hukum Indonesia sebagai pemegang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di dan menjadi
penduduk Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah
Negara.
• Badan Hukum Asing, yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara.
VI. Masalah-masalah Dalam Penyelesaian Jaminan Kredit
a. Penyelesaian Melalui Proses Litigasi
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata seorang berutang dinyatakan telah lalai
memenuhi prestasinya bila berdasarkan suatu surat perintah atau akta sejenisnya
dinyatakan demikian, kecuali jika perikatannya sendiri telah menetapkan bahwa
si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Surat
perintah adalah pernyataan resmi dari juru sita pengadilan, sedangkan akta
sejenis adalah peringatan tertulis.4 Apabila seorang debitur sudah diperingatkan
4 R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 1978), hal 44.
16
dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia tetap tidak melaksanakan prestasinya
maka salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk menuntut
haknya adalah melakukan gugatan perdata melalui pengadilan.
Agar debitur tidak mengalihkan hartanya untuk memenuhi putusan pengadilan,
dalam gugatan harus dicantumkan permohonan putusan provisionil berupa
penetapan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta kekayaan tertentu
debitur. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196 HIR dapat dimintakan
bantuan Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan putusan itu secara paksa.
Pelaksanaan putusan secara paksa ini dibuat eksekusi atau execution forcee. Jika
sudah lewat jangka waktu yang ditetapkan pengadilan pihak yang dikalahkan
tidak memenuhi putusan atau tidak datang menghadap, sesuai dengan ketentuan
Pasal 196 jis Pasal 197 ayat (1) HIR harta benda yang bersangkutan sampai jumlah
yang dianggap cukup disita oleh pengadilan kemudian dijual melalui Kantor
Lelang Negara. Tata cara menjalankan putusan pengadilan menurut HIR adalah:
a) peringatan (aanmaning), b), sita eksekusi dan (c) penyanderaan. Penyelesalain
melalui litigasi ini sering membuat bank frustasi karena pihak pengadilan
menganggap bahwa dalam hubungan perjanjian kredit antara bank dan nasabah
debitur, nasabah bank adalah pihak yang lemah yang harus dilindungi terhadap
bank sehingga bank sering dikalahkan. Selain itu proses penyelesaian utang
melalui pengadilan ini sangat lamban. Menurut suatu penelitian, dibutuhkan
waktu 3-9 tahun untuk menyelesaikan utang piutang perbankan.5
b. Penyelesaian Melalui PUPN
Dalam praktek pelaksanaan pengurusan piutang negara dijumpai masalahmasalah
yuridis yang secara umum timbul akibat tindakan hukum yang dilakukan
oleh debitur ataupun pihak ketiga yang bekepentingan.
a). Putusan pengadilan yang meninjau/membatalkan pernyataan bersama dan
menetapkan jumlah piutang negara atau penjadwalan kembali angsuran
piutang negara.
PUPN mempunyai wewenang menetapkan jumlah piutang negara dan syaratsyarat
penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk Pernyataan Bersama antara
Ketua PUPN dengan debitur atau penanggung utang. Pernyataan Bersama ini
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara
perdata. Dengan demikian sebenarnya pengadilan tidak dapat membatalkan
Pernyataan Bersama. Mahkamah Agung dalam putusannya No.
1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980 dalam perkara antara BNI 1946
melawan Fa. Megaria antara lain menyatakan tidak ada sarana hukum lewat
prosedur peradilan biasa yang dapat ditempuh untuk menghapus adanya Surat
Pernyataan Bersama. Dalam prkatek sampai dengan akhir semester I tahun
1997/1998 terdapat 107 perkara aktif berupa bantahan atau gugatan melalui
pengadilan Negeri yang diajukan oleh Penanggung Utang menyangkut
kebenaran terhadap penetapan jumlah utang.
5 H.P. Panggabean, “Berbagai Masalah Yuridis yang Dihadapi Perbankan Mengamankan
Pengembalian Kredit yang Disalurkannya”, Varia Peradilan VII No. 80, 1992.
17
b) Pengadilan Negeri Membatalkan Penyitaan dan Pelelangan yang telah
dilakukan oleh PUPN karena penerbitan surat paksa sebagai dasar hukum
Pelelangan tidak didahului dengan Pernyataan Bersama
Dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena penanggung utang
tidak memenuhi panggilan meski telah dipangil dengan patut atau tidak
bersedia menandatangani Pernytaan Bersama, maka PUPN melaksanakan
penagihan sekaligus dengan surat paksa. Meskipun Surat Paksa yang
dikeluarkan PUPN mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dalam praktek
dapat saja tertunda bahkan batal pelaksanaannya atas permintaan debitur
kepada PN. Terdapat beberapa putusan PN yang menbatalkan penyitaan dan
pelelangan yang telah dilakukan PUPN atas dasar Surat Paksa sebagai dasar
hukum pelelangan tidak didahului Pernyataan Bersama.
c) Pengadilan TUN Menilai/Meninjau Surat Paksa, Penyitaan dan Pelelangan
PUPN adalah lembaga yang bertindak atas nama negara untuk mengurus
piutang negara yang terjadi karena adanya perbuatan hukum perdata (utang
piutang). Dalam Pasal 2 a UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN diatur
bahwa Keputusam Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.
Tugas PUPN yang dilaksanakan oleh BUPLN adalah melaksanakan peradilan
semu (quasi rech spraak).Oleh karena itu PUPN dan BUPLN bukanlah tugas
bagai Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam praktik, terdapat putusan
Pengadilan TUN yang meninjau surat paksa, penyitaan dan pelelangan yang
dikeluarkan oleh PUPN.
d) Adanya Putusan Sela (Provisi) dari PN Berupa Penundaan/Pembatalan Lelang
Eksekusi PUPN
Pelelangan yang dilakukan PUPN berdasarkan Pernyataan Bersama dan atau
Surat Paksa bersifat parate eksekusi yang mempunyai kekuatan seperti
putusan hakim. Dengan demikian menurut penjelasan Pasal 11 butir 13 (4) UU
No. 49 Prp. Tahun 1960 tidak dapat ditunda atau dibatalkan karena adanya
sanggahan yang diajukan terhadap sahnya atau kebenaran piutang negara.
Dengan demikian, putusan sela yang dikeluarkan sebelum pemeriksaan pokok
perkara seharusnya hanya dikeluarkan untuk sengketa mengenai pemilikan
objek yang akan dilelang saja.
e) PN Meletakkan Sita Jaminan atau Sita Eksekusi atas Barang yang Telah Disita
Lebih Dahulu oleh PUPN
Pasal 201 dan 202 HIR secara implisit menyatakan bahwa terhadap barang
yang sama tidak dapat diadakan sita rangkap. PUPN seringa mengalami
kesulitan untuk memproses pengurusan piutang negara sampai pada tahap
eksekusi lelang, karena sering terjadi sita rangkap (ganda) yang dilakukan
oleh PN.
f) PN Meletakkan Sita Jaminan atas Barang Jaminan Kredit
Putusan MA No. 394K/PDT/1084 tanggal 13 Mei 1984 menyatakan bahwa PN
tidak dapat melaksanakan sita jaminan atas barang milik Penanggung Utang
yang dijaminkan dan telah diikat hipotik. Dalam praktek terdapat putusan PN
18
yang meletakan sita jaminan terhadap barang yang dijaminkan untuk
melunasi piutang negara yang diikat hipotik atas permintaan pihak ketiga.
g) Untuk Mengosongkan Objek Lelang yang masih Dikuasai oleh Debitur atau
Pihak Lain, PN Mengharuskan Pemenang Lelang Eksekusi PUPN Mengajukan
Gugatan Perdata
Ketentuan mengenai pengosongan rumah atau bangunan yang didiami oleh
penanggung utang atau pihak lain diatur dalam penjelsan Pasal 11 butir 11 UU
No. 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pembeli lelang mengajukan permohonan
kepada Ketua PN untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada juru sita untuk
mengusahakan pengosongan rumah atau bangunan, jika perlu dengan bantuan
alat kekuasaan negara. Namun demikian, PN mengharuskan pemenang lelang
menempuh prosedur gugatan perdata.
c. Masalah Eksekusi Grosse Akta
Pada dasarnya eksekusi atau pelaksanaan putusan dilakukan apabila pihak
tergugat tidak mau melaksanakan putusan hakim yang bersifat condemnatoir dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap secara sukarela. Berdasarkan Pasal 224 HIR,
Grosse Akta merupakan perangkat hukum yang disamakan dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam praktik eksekusi grosse akta
tidak semudah bunyi Pasal 224 HIR. Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksekusi
grosse akta menjadi sulit, yaitu nasabah debitur sengaja mengulur-ulur waktu dengan
mengajukan upaya hukum, adanya perlawanan dari pihak ketiga, kesalahan pihak bank
dalam membuat grosse akta dan Ketua PN kurang memahami pengertian grosse akta.
1. Upaya Hukum Nasabah Debitur atau Pihak Ketiga
Dalam praktik eksekusi grosse akta, tidak sedikit nasabah debitur atau pihak
ketiga yang melakukan upaya hukum untuk menghambat proses eksekusi grosse
akta yang hendak dijalankan oleh Ketua PN. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan nasabah debitur atau pihak ketiga melakukan gugatan perlawanan
(verzet) yaitu antara lain nasabah debitur sengaja melakukannya untuk
menghambat proses dan nasabah debitur merasa dirugikan oleh kecurangan
kreditur dalam menghitung angsuran utang. Contoh kasus adanya perlawanan
pihak ketiga yang disebabkan karena pihak bank lalai untuk meniliti dokumendokumen
yang dibuat antara pihak ketiga dengan nasabah debitur. Dalam perkara
antara PT Bank Kesawan melawan Patsan Oloan Ny. Sitodoer Boru Tupang, PT
Bank Kesawan memberikan kredit pada Citra Pujiarta dengan jaminan grosse akta
pemberian jaminan. Nasabah debitur wanprestasi sehingga bank mengajukan
permohonan eksekusi pada ketua PN Medan, yang kemudian dikabulkan. Pihak
bank kemudian membuat pengumuman lelang di surat kabar. Atas dasar
pengumuman tersebut, pihak pelawan mengajukan perlawanan dengan alasan
tanah yang akan dilelang tersebut adalah milik pelawan. Mahkamh Agung
mengeluarkan putusan yang pada pokoknya menolak kasasi PT Bank Kesawan dan
menyatakan menurut hukum grosse akta adalah tidak sah dan memerintahkan
Wakil Juru Sita PN Medan untuk mencabut, mengangkat kembali sita eksekusi
atas tanah pelawan. Alasan MA adalah proses peralihan hak yang dijadikan
anggunan antara Pelawan dan nasabah debitur cacat hukum.
19
2. Kesalahan Notaris (Bank) Dalam Membuat Grosse Akta
Kekeliruan bank tidak terlepas dari kesalahan notaris yang dipercaya oleh bank
untuk membuat dokumen-dokumen tersebut. Kesalahan ini disebabkan perbedaan
penafsiran mengenai grosse akta. Dalam Pasal 224 HIR hanya dikenal dua bentuk
grosse akta yaitu grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotik yang
masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai spesifikasi yang berbeda. MA hanya
membolehkan kalangan perbankan memilih salah satu dari grosse akta tersebut.
Apabila nasabah debitur telah diikat dengan grosse akta pengakuan utang maka
nasabah debitur tidak boleh diikat lagi dengan bentuk perjanjian hipotik.
Disamping kesalahan mencampuradukkan dua bentuk grosse akta menjadi satu,
kalangan perbankan dan notaris sering juga melakukan kesalahan dalam
pembuatan akta pengakuan utang. Akta pengakuan utang yang dibuat oleh
perbankan dan notaris kadang-kadang bukan berisi pernyataan sepihak dari
nasabah debitur, tetapi merupakan perikatan antara bank dan nasabah debitur
yang masing-masing mengikatkan diri dalam akta pengakuan utang. Dalam
perkara PT Waringin Metal Printing & Santosa melawan Nichimen Co. Ltd. &
Takegawa Co, MA menolak permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang
dengan pertimbangan isi akta pengakuan utang tersebut disertai dengan
perjanjian pinjam uang sejamlah $ 1.952.614,47. Pada hakekatnya surat
pengakuan utang hanya dapat memuat suatu pengakuan utang dengan kewajiban
untuk membayar utang tersebut, yang mempunyai akibat bagi pihak yang
berutang tidak lagi mempunyai hak untuk membela diri. Dalam perkara PT Bank
Pasifik Cabang Medan, MA dalam putusan No. 2414 K.Pdt/1987 tanggal 12
Februari 1990 berpendapat bahwa grosse akta berisikan pengakuan utang dengan
pemberian jamian, dimana diperjanjikan pula mengenai barang-barang yang akan
dijaminkan dan syarat-syarat mengenai jaminan tersebut. Dengan demikian
grosse akta semacam itu bukanlah merupakan grosse akta yang dapat dieksekusi
sesuai Pasal 224 HIR.
Dalam perkara antara Bank of America Jakarta mewalan Trisnawati Sudarto, MA
mengabulkan bantahan Trisnawati dengan pertimbangan antara lain Akta
Pernyataan yang dibuat tanggal 15 Januari 1984 hanyalah merupakan akta di
bawah tangan yang tidak berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Oleh karena itu eksekusi yang diajukan oleh BOA adalah tidak ada
dasar hukummya, bahwa Akta Notaris No. 147 yang berisi loan agreement dan
Akta Noratis No. 148 yang berisi acknowledgement of indebtedness and security
agreement adalah bukan grosse akta.
Dalam pembuatan akta pengakuan utang sering juga ditemui jumlah utang
nasabah debitur belum dapat dipastikan jumlahnya. MA berpendapat akta
pengakuan utang seperti ini tidak dapat dieksekusi. Nasabah debitur yang tidak
bersedia menandatangani Surat Pernyataan Bersama juga dapat ditafsirkan
bahwa secara hukum belum terdapat jumlah utang yang pasti. Satu hal yang
merupakan kesalahan adalah adanya anggapan bahwa grosse akta perjanjian
kredit mempunyai fungsi yang sama dengan grosse akta pengakuan utang. Dengan
bekal pemahaman ini. Kalangan notaris dan perbankan menganggap dengan
dicantumkannya kata-kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada grosse akta perjanjian kredit, maka grosse akta tersebut telah
mempunyai kekuatan eksekutorial. MA tidak mengakui grosse akta perjanjian
20
kreidt sebagai grosse akta pengakuan utang. Hal ini dapat dilihat dalam
Keputusan MA No. 1520.K/Pdt./1984 yang melibatkan PT Pan Indonesian Bank
melawan PT Ripe Indonesia.
d. Agunan Harta Bersama
Mahkamah Agung dalam perkara No.1851 K/Pdt/1996 tanggal 23 Pebruari 1998
menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian
yang mengharuskan manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak Penggugat adalah
usteri tergugat yang tidak turut menandatangani surat agunan tersebut. Pembebanan
tanah harta bersama tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar
pertimbangan adil dan patut. Dalam perkara ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera
Utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah adanya penjaminan utang yang
dibuat dalam grosse akta. Pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum
lain, dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan permohonan eksekusi tersebut.
Penggugat merasa dirugikan karena objek yang dimohonkan eksekusi adalah harta
bersama. Harta bersama dapat dikategorikan sebagai hak milik bersama. Dikatakan hak
milik bersama karena terdapat beberapa orang pemilik ata suatu benda yang sama.
Selain KUHPerdata, UU Perkawinan mengenal adanya harta milik bersama yang disebut
sebagai harta bersama. Hak milik bersama ada dua macam yaitu hak milik bersama yang
bebas dan hal milik yang terkait. Hak milik bersama yang bebas terjadi karena
diperjanjikan antara beberapa pemilik bersama atas suatu benda. Hak milik bersama
yang terkait terjadi karena ketentuan undang-undang dan sebagai akibat hubungan
hukum yang sudah ada lebih dahulu. Misalnya pemilik bersama harta perkawinan akibat
adanya perkawinan, pemilik bersama atas harta peninggalan akibat adanya pewarisan.
Tiap pemilik harta bersama tidak dimungkinkan bebrbuat apa saja tanpa izin dari
pemilik bersama lainnya.
e. Penafsiran Pasal 1831 dan 1822 KUHPerdata: Penanggungan Utang
(borgtocht)Putusan Pengadilan Niaga No.70/PAILIT/1999/PN.NIAGA/JKT.PST
Tanggal 1 November 1999
Duduk perkara
PT Gardiana Interbullion Corporation (“GIC”) adalah debitur dari Bank Ekonomi
berdasarkan Akte perjanjian Kredit Nomor 79, tertanggal 13 Maret 1997 dan Akta
Perjanjian Kredit nomor 80, tertanggl 7 Mei 1997.
Perjanjian Kredit dimaksud dijamin oleh fixed asset dan Jaminan Pribadi dari Jasip
Ngakiwan berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) nomor 81 tertanggal 13 Maret
1997.
Pada saat jatuh tempo yaitu pada tanggal 13 Maret 1998, GIC tidak mampu
mengembalikan seluruh utangnya kepada Bank Ekonomi. Dan untuk itu telah dilakukan
pelelangan atas jaminan berupa fixed assets yang tidak mencukupi untuk melunasi
seluruh utang debitur.
Oleh karena hasil pelelangan jaminan fixed assets tidak mencukupi, maka bank Ekonomi
berdasarkan Akta Jaminan Pribadi menuntut pemenuhan pembayaran atas utang GIC dari
21
Jasip Ngakiwan selaku penjamin pribadi yang telah melepaskan sebagian hak-hak
istimewanya dan dengan demikian bertanggung jawab layaknya seorang debitur yang
menggantikan debitur semula (GIC).
Dalil pemohon
Bank Ekonomi (selanjutnya disebut sebagai pemohon) mendalilkan sebagai berikut:
- Bahwa oleh karena GIC telah tidak mampu membayar, maka Jasip Ngakiwan
(selanjutnya disebut Termohon) selaku Penjamin Pribadi otomatis menggantukan
kedudukan GIC selaku Debitur;
- Bahwa Termohon telah melepaskan segala hak-hak dan hak utama yang diberikan
Undang-undang kepada Termohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1430, 1843,
1847, 1848 dan Pasal 1849 KUHP;
- Bahwa Termohon, selain menjadi Penjamin Pribadi dari GIC, adalah juga Debitur
dari Bani UUPINDO dan penjamin pribadi atas utang PT Goldpindo Rajabrana pada
Bank UPPINDO;
- Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Termohon telah secara sederhana
terbukti memiliki lebih dari satu kreditur dan telah tidak membayar sedikitnya
satu uatang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dalil Termohon
- Termohon menyatakan bahwa fakta-fakta yang diajukan pemohon tidak terbukti
secara hukum.
- Untuk itu permohonan Pemohon harus ditolak.
Pertimbangan Hukum
- Menimbang bahwa yang menjadi posita dari permohonan adalah bahwa Termohon
adalah penjamin guna menjamin pelunasan utang-utang GIC kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon telah menyatakan
dan mengikatkan diri sebagai Penjamin dan karenanya bertanggungjawab
sepenuhnya dengan harta bendanya guna menjamin utang-utang GIC kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dalam Akta Penjaminan dinyatakan bahwa Termohon secara
otomatis menggantikan kedudukan GIC untuk membayar lunas kewajibannya pada
Pemohon, setelah terpenuhinya syarat sebagai berikut:
1. Walaupun telah diperingatkan dengan layak, tidak atau belum dapat
memenuhi kewajibannya kepada Pemohon,
2. Jatuh pailit,
3. Minta penangguhan pembayaran utang atas putusan pengadilan,
4. Di likuidasi.
22
- Menimbang bahwa Pemohon telah melakukkan penegoran kepada GIC secara
patut;
- Menimbang bahwa telah dilakukan pelelangan atas harta-harta debitur, dimana
pelelangan dimaksud tidak mencukupi untuk melunasi utang debitur kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dengan demikian Termohon telah dan menggantikan
kedudukan GIC untuk membayar lunas seluruh kewajiban kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon tidak hanya
berkedudukan sebagai penjamin akan tetapi juga mengikatkan diri sebagai yang
bertanggung jawab atas kewajiban GIC;
- Menimbang bahwa degnan demikian termohon baik sebagai Penjamin maupun
sebagai Debitur dapat dipailitkan;
- Menimbang bahwa Termohon telah ditegor untuk membayar utang;
- Menimbang bahwa utang GIC telah jatuh tempo;
- Menimbang bahwa selain menjadi Penjamin pada Pemohon, Termohon adalah
juga Penjamin utang PT Godpindo Rajabrana pada Bank UPPINDO dan juga
Debitur pada Bank UPPINDO;
- Menimbang bahwa dengan demikian maka telah terbukti bahwa Termohon
memiliki utang kepada lebih satu kreditur dan sedikitnya tidak membayar satu
utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
- Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas setelah
dihubungkan satu dengan yang lainnya, ternyatalah bahwa sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3) UUK telah terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sah dan sederhana bahwa persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK telah terpenuhi, sehingga oleh karena itu
Termohon akan dinyatakan Pailit.
Mengadili
- Mengabulkan permohonan Pemohon;
- Menyatakan bahwa termohon: Jasip Ngakiwan dengan alamat Jl. Cempaka No. 22
RT. 011/RW 002 Pasar Baru-Jakarta Pusat PAILIT;
- Mengangkat dan menunjuk;
1. Sdr. Hasan Basri, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas,
2. Sdr. Gunawan Widyaatmadja, SH., & Rekan dengan alamat Jl. Bima No. 27
Kemanggisan Tomang Barat Jakarta sebagai Kurator.
- Menetapkan besarnya biaya Kurator sebesar 2,5% dari harta Debitur;
- Membebankan kepada Termohon untuk membayar segala ongkos perkara sebesar
Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).
~~***~~
1
JAMINAN KREDIT
Kendala dan Masalah•
I. Pendahuluan
Prinsip 5C dalam pemberian kredit telah digunakan selama bertahun-tahun dan
kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan. Prinsip ini meliputi:
• Character (watak);
• Capacity (Kemampuan);
• Capital (Modal);
• Conditions; and
• Collateral (Jaminan).
Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk
dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang,
ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan
faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan
untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence menjalankan bisnis tidak
diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan buruk, dan hasilnya kredit akan
mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya,
kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu,
penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk
mendapatkan pinjaman.
Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada bank
bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan track
record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di
Australia informasi semacam itu dapat didapatkan pada biro kredit, seperti Credit
Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). CRAA mengelola database yang berisi
data kredit baik perorangan maupun perusahaan yang ada di Australia, yang memuat
berbagai informasi dari kredit yang telah diajukan, pembayaran yang telat dan juga
putusan pengadilan yang berhubungan dengan kredit macet. Lembaga keuangan yang
menjadi anggota CRAA berhak untuk untuk mendapatkan informasi tentang si peminjam,
• Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk,
diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.
2
dan sebagai imbalannya, mereka harus menyediakan informasi dari pinjaman yang akan
diajukan.
Di Indonesia informasi tentang nasabah dapat diperoleh melalui system informasi
kredit yang dimiliki Bank Indonesia. Namun karena tidak adanya system “kenal diri” yang
berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi
itu seringkali tidak akuran. Bank Indonesia saat ini sedang dalam proses untuk
mendirikan biro kredit yang berfungsi seperti CRAA.
Sedangkan modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari si
peminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu
memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan asset dan passiva dari si
peminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga pinjaman
mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas ratio maksimal asset dan
passiva.
Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi
eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk
mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang
memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak
mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai resiko dari pinjaman,
tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan. Bank tidak memberikan
kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat
membahayakan lingkungan.1
Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit macet.
Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang
diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan. Kesulitan bank dalam
melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C sebagaimana dikemukakan di atas
dapat diatas dengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit. Dengan adanya
skim tersebut maka bank lebih mudah menilai risiko kredit yang diberikannya.
II. Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya kebendaan yang dijadikan
objek jaminan, dan lain sebagainya.
a. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan
oleh seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal 1132, pasal
1134 ayat (1)). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang
dilahirkan atau diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya,
seperti gadai, hipotik, hak tanggungan dan fiducia.
1 PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney: Lawbook Co., 2001),
hal. 97-104.
3
b. Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan
menjadi jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditu. Kitab Undangundang
Hukum Perdata pada pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perserorangan. Hal ini berarti seluruh harta kekayaan milik debitur
akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua kreditur.
Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap,
baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang
baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah
perjanjian utang piutang diadakan.
Dengan demikian, seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan
umum atas pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak
diperjanjikan sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena undang-undang,
sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.
Dalam jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditur mempunyai
kedudukan yang sama terhadap kreditur-kreditur lain, tidak ada kreditur yang
diutamakan atau diistimewakan dari kreditur-kreditur lain.
Karena jaminan umum kurang menguntungkan bagi kreditur, maka
diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus
sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan
mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada krediturkreditur
lain dalam pelunasan utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan
perlindungan kepada kreditur dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenai
hal ini. Jaminan khusus memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi
pemegangnya.
c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak
atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas
benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan
gadai, dan lain-lain).
Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan lansung pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan
terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya ( contoh:
borgtocht).
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat
berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda
bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.
Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan
jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan
4
pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan
account receivable.
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang
lainnya, dengan bentuk, yiatu:
1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu
hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang
diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut
dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.
2) Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas
tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu
ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditu lain.
3) Fiducia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan
hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.
Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk:
1) Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu
perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang
tersebut tidak memenuhinya.
2) Perjanjian Garansi/indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUH Perdata, yang
berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau
menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan
berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi
terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah
berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika
pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan
Sesuai dengan namanya, kredit diberikan kepada debitur berdasarkan
kepercayaan si kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar
kembali utang-utangnya kelak.
Sementara jaminan-jaminan lainnya yang bersifat kontraktual, seperti hak
tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fiducia, dan sebagainya hanya dianggap
sebagai “jaminan tambahan” semata-mata, yakni tambahan atas jaminan
utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.2
2 Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal.
69-70
5
e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Pembebanan jaminan kredit didasarkan pada objek bendanya. Kalau yang
dijadikan jaminan adalah tanah, maka pembebanannya adalah dengan
menggunakan hak tanggungan atas tanah, sedangkan kalau yang dijamin adalah
kapal laut atau pesawat udara, maka pembebanannya dengan menggunakan
gadai, fiducia, cessie dan account receivable.
f. Jaminan regulative dan jaminan non regulative
Jaminan regulative adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri
sudah diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tergolong ke dalam jaminan regulative ini antara lain adalah hipotik,
gadai, hak tanggungan, akta pengakuan utang. Sedangkan jaminan non regulative
adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek.
Jaminan non regulative ini ada yang berbentuk jaminan kebendaan seperti
pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, tetapi ada juga jaminan
non regulative yang semata-mata hanya bersifat kontraktual, seperti kuasa
menjual dan lain-lainnya.
g. Jaminan konvensional dan jaminan non konvensional
Jaminan konvensional adalah jaminan yang pranata hukumnya sudah lama
dikenal dalam system hukum kita, baik yang telah diatur dalam perundangundangan,
hukum adat maupun yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan
yang bukan berasal dari hukum adat, tetapi sudah lama dilaksanakan
dalam praktek, seperti hipotik, hak tanggungan, gadai barang bergerak, gadai
tanah, fiducia, garansi, dan akta pengakuan utang.
Sementara itu bentuk-bentuk jaminan non konvensional adalah bentukbentuk
jaminan yang eksistensinya dalam system hukum jaminan yang masih
terbilang baru sungguh pun sudah dilaksanakannya secara meluas, sehingga
pranatanya belum sempat pula diatur secara rapi, antara lain seperti pengalihan
hak tagih debitur (assignment of receivable for security purposes), pengalihan
hak tagih klaim (assignment of insurance proceeds), kuasa menjual, dan jaminan
menutupi kekurangan biaya (cash deficiency).
h. Saham sebagai agunan tambahan
Dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal yang sehat,
diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal,
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Sehubungan dengan hal itu, bank diperkenankan meminta agunan
tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya jaminan
pemberian kredit.
6
Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU masing-masing
tanggal 7 September 1993 perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang
menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit.
Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada
Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham.
Ditegaskan bahwa bank diperkenankan untuk memberikan kredit dalam
agunan tambahan berupa saham perusahaan yang dibiayai dalam rangka ekspansi
atau akuisisi.
Berdasarkan ketentuan yang baru, bank juga diperbolehkan memberikan
kredit dengan agunan tambahan berupa saham, baik yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar di bursa efek.
Untuk pemberian kredit dalam rangka ekspansi atau akuisisi, bank
diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham yang terdaftar maupun
yang tidak terdaftar di bursa efek. Jika saham yang diagunkan termasuk saham
yang terdaftar di bursa, maka saham yang bersangkutan tidak termasuk saham
yang tidak mengalami transaksi dalam waktu tiga bulan berturut-turut sebelum
saat akad kredit ditandatangani dan saham dengan harga pasar dibawah nilai
nominal pada saat akad kredit ditandatangani.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit maksimim
sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan dibursa efek
pada saat akad kredit ditandatangani. Sebaliknya jika saham yang diagunkan
berupa saham yang tidak terdaftar di bursa efek, maka saham tersebut dibatasi
hanya pada saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit yang
bersangkutan.
Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kreditnya adalah
maksimum sebesar nilai nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga perusahaan yang bersangkutan.
III Hak-Hak yang Memberi Jaminan yang Mempunyai Sifat Privilege
1. Pengertian
Privilege termasuk jenis piutang yang diberikan keistimewan atau piutang yang
lebih didahulukan (bevoorrechte scdhulden) dalam hal ada pelelangan (executie) dari
harta kekayaan debitur dan dalam hal terjadi kepailitan. Hak untuk didahulukan
diantara orang-orang berpiutang menurut ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata timbul
dari hak istimewa (privilege), disamping dari gadai dan hipotik.
Selanjutnya Pasal 1134 KUHPerdata mengatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Hak istimewa (privilege) adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
7
2. Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam halhal
dimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dengan demikian Privilege adalah hak yang diberikan undang-undang terhadap
seseorang, dan tidak diperjanjikan seperti halnya Gadai dan Hipotik.
Privilege sendiri dapat dibagi dalam dua macam yaitu:
1. Privilege khusus yang tercantum dalam Pasal 1139 KUHPerdata ada 9, merupakan
privilege yang diberikan terhadap benda-benda tertentu dari debitur.
2. Privilege umum diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata ada 7, merupakan privilege
yang diberikan terhadap semua kekayaan debitur.
Privilege khusus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Privilege
umum (Pasal 1138 KUHPerdata) dan tidak ditentukan urutannya, maksudnya
walaupun disebut berturut-turut tapi tidak mengharuskan adanya urutan; sedangkan
Privilege umum ditentukan urutannya artinya yang lebih dahulu disebut, dengan
sendirinya didahulukan dalam pelunasannya.
2. Ciri-Ciri/Sifat-sifat Privilage
a. Privilege baru ada kalau terjadi penyitaan barang dan hasil penjualannya
tidak cukup untuk membayar seluruh hutang kepada kreditur.
b. Privilege tidak memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda
c. Merupakan hak terhadap benda debitur
d. Merupakan hak untuk didahulukan dalam pelunasannya.
Oleh karena itu Privilege bukanlah termasuk jaminan kebendaan karena pada hak
kebendaan cirri-ciri sebagai berikut:
1. Hak itu sudah ada tanpa harus menunggu ada penyitaan barang debitur
terlebih dahulu.
2. Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda.
3. hak kebendaan merupakan hak terhadap suatu benda.
Namun Privilege diatur dalam Buku II KUHPerdata sejajar dengan hak kebendaan.
Hal ini disebabkan Privilege juga memiliki sifat droit de suite dan merupakan hak
yang memberikan jaminan seperti halnya Gadai dan Hipotik. Namun para sarjana
menganggap bahwa seharusnya Privilege dimasukkan kedalam Hukum Acara pedata
yang termasuk Executie (pelelangan) harta kekayaan debitur dan dalam hal debitur
jatuh pailit.
Privilege juga bukan merupakan jaminan perorangan sebab hak perorangan itu
timbul pada saat suatu perjanjian terjadi misalnya, jual beli, sewa menyewa dan
lain-lain, sedangkan Privilege timbul bila barang-barang yang disita tidak mencukupi
untuk langsung melunasi hutang. Disamping itu hak perongan lansgsung memberikan
suatu tuntutan/tagihan terhadap seseorang, sedangkan pada Privilage baru ada
tuntutan dalam hal debitur pailit.
Perbedaan antara Gadai dan Hipotik dengan Privilege adalah kalau Gadai dan
Hipotik adalah karena diperjanjikan sedangkan Privilege diberikan/ditentukan oleh
8
Undang-undang. Kemudian Gadai dan Hipotik lebih didahulukan daripada Privilege,
kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2),
1139 ayat (1) dan 1149 ayat (1) KUHPerdata); antara Gadai dan Hipotik tidak
dipersoalkan mana yang harus didahulukan sebab Gadai berkaitan dengan benda
bergerak sedangkan Hipotik mengenai benda tidak bergerak. Selanjutnya pada
Gadai, para pihak bebas untuk menjamin dengan Gadai terhadap piutang apapun
juga, sedangkan pada Privilege, Undang-undang mengaitkan Privilege itu pada
hubungan-hubungan hukum tertentu.
Meskipun Gadai dan Hipotik berada dalam urutan di atas Privilege artinya hak
utama yang diperjanjikan berada di atas hak utama menurut undang-undang namun
ada pengecualiannya yaitu dalam hal undang-undang menentukan sebaliknya;
termasuk didalamnya antara lain hutang-hutang sebagai berikut:
1. Ongkos-ongkos dalam rangka eksekusi
2. Uang sewa
3. Ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk pemeliharaan benda-benda yang
bersangkutan sesudah benda-benda tersebut digadaikan.
4. Beberapa Privilege lainnya seperti pajak-pajak, bea-cukai dan lain-lain.
5. Hak-hak utama dalam Pasal 318 KUHDagang dan lain-lain
IV. Surety Bond dan Bank Garansi
Praktek penjaminan sudah sejak lama dilakukan oleh lembaga keuangan
khususnya bank, dalam bentuk bank garansi. Sedangkan dalam dunia asuransi
penjaminan dilakukan dalam bentuk surety bond merupakan suatu bentuk penjaminan
yang relatif baru di Indonesia. Bisnis surety bond di Indonesia mulai diperkenalkan sejak
tahun 1980 atas kebijakan pemerintah dengan tujuan untuk membantu para pengusaha
ekonomi lemah untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk itu pemerintah
mengeluarkan Keppres No. 14A/80 tahun 1980 tentang pelaksanaan APBN/APBD dan
bantuan luar negeri. Berdasarkan Keppres tersebut dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 271/KMK.011/1980 Tentang Pemberian Ijin Bagi Bank-bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank untuk dapat Menerbitkan Jaminan. Dalam pelaksanaannya
pemerintah menetapkan pemberian ijin kepada lembaga keuangan non bank untuk
menerbitkan surety bond sebagai alternatif bank garansi, yang ditunjuk pada waktu itu
adalah PT. Asuransi Jasa Raharja (persero).
Secara teori dan praktek terdapat kemiripan antara bank garansi dan garansi
asuransi dalam bentuk surety bond yang pada intinya bahwa baik bank atau asuransi
menjamin untuk memenuhi kewajiban apabila yang dijamin di kemudian hari ternyata
tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga sebagaimana telah diperjanjikan.
Bank garansi sudah lebih dahulu dikenal sebagai lembaga penjaminan atas hutang
atau kewajiban debitur kepada pihak ketiga, dimana tentunya prinsip-prinsip perbankan
dan kehati-hatian diterapkan dalam menganalisa permohonan bank garansi oleh debitur.
Melihat potensi pasar yang cukup menggiurkan itulah perusahaan asuransi
kerugian meluncurkan produk penjaminan yang mirip bank garansi yang lebih dikenal
dengan surety bond, yang merupakan produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan
9
asuransi sebagai upaya pengambilalihan resiko kerugian yang mungkin dialami debitur
yang umumnya sebagai kontraktor yang diberikan kepercayaan oleh pemilik proyek
dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan
tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi
selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur) sebagai
konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur) tersebut.
Dasar hukum antara surety bond dan bank garansi terdapatl perbedaan. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh sifat alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan
penerbitannya tidak lepas dari prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan
permohonan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang
diajukan untuk penerbitan bank garansi. Perbedaan pokok surety bond dan bank garansi.
Pertama, lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety bond
oleh lembaga asuransi. Oleh karena itu, teknis penerbitannya mengikuti ketentuan yang
berlaku bagi lembaga tersebut yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi.
Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral). Sedang asuransi
mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko disebar diantara
penanggung uang (reasuransi). Kedua, bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang
penanggungan hutang/borgtoght sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya
pasal 1831 dimana bank dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk
pelunasan kewajibannya. Sedangkan surety bond adalah perjanjian indemnitas dan
diatur dalam pasal 1316 KUH Perdata di mana kedudukan lembaga asuransi sebagai
penjamin dan prinsipal adalah setara dan mengganti secara tanggungan renteng. Ketiga,
garansi yang diterbitkan bank mempunyai jangka waktu terbatas dalam arti tidak dapat
diperpanjang secara otomatis. Apabila setelah dikaji ternyata nasabah tidak layak diberi
jaminan atau posisi penjamin tidak memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan
yang sudah jatuh tempoh maka bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang
jaminan dimaksud. Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka
waktu surety bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat prinsipal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan kontrak
surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak pembayaran.
Keempat, dalam surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor gagal
maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang pemutusan
hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus diperhitungkan dengan
pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak surety dalam hal ini asuransi
membayar hanya sebesar kerugian yang sungguh, sungguh diderita obligee. Berbeda
halnya dengan bank garansi yang bersifat tanpa syarat (unconditional) dimana apabila
principal telah gagal/lalai memenuhi kewajibannya maka obligee secara sepihak dan
mutlak dapat melakukan pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan prinsipal
sama sekali tidak diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara
penuh.
Setelah diuraikan dasar hukum dan prinsip surety bond dan bank garansi di atas
dapatlah ditarik perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat
alamiah surety bond sebagai produk yang ketentuan penerbitannya tidak lepas dari
prinsip-prinsip perasuransian. Persyaratan pengajuan permohonan surety bond terhadap
10
perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan bank
garansi yang menggunakan prinsip perbankan yang berhati-hati.
Adanya ketentuan tentang prinsip “5C” membuat ketergantungan pihak bank
terhadap principal lebih kecil dalam hal harus dilakukan pencairan bank garansi terebut.
Bank akan berani hanya melihat pada alasan-alasan hukum telah terjadi wanprestasi dari
pihak yang dijamin (principal) tanpa harus takut hak subrograsinya3 akan mengalami
persoalan bila tidak terlebih dahulu mendapat pengakuan wanprestasi dari principal. Hal
ini dapat terjadi karena pada umumnya bank telah memegang jaminan yang cukup
sebagai kontra garansi terhadap bank garansi yang diberikan.
Bank garansi dalam memberikan jaminan harus memperhatikan kemampuan bank
dalam menanggung resiko dan biasanya erat dikaitkan dengan nilai batas maksimum
pemberian kredit. Sedang dalam surety bond, asuransi dapat menjamin lebih besar,
karena dalam perusahaan asuransi dapat diatasi dengan mekanisme pertanggungan ulang
atau reasuransi.
Perbedaan pemahaman antara lembaga perbankan dan lembaga perasuransian
terhadap penjaminan tersebut, membuat sikap lembaga perbankan dan asuransi
mengenai jaminan (collateral antau kontra garansi) sebagai bagian dari aktivitas
pemberian kredit yang menimbulkan “contigent liabilitas”, menerapkan syarat
pemberian kredit yang melihat collateral sebagai back-up dari bank garansi yang
diberikan. Sementara bagi lembaga perasuransian yang tidak melihat hal ini sebagai
kredit melainkan peralihan resiko dan tanggung jawab hukum, sehingga sampai saat ini
belum melihat collateral sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety
dalam hal terjadinya claim pencairan surety bond dari pihak penerima jaminan
(obligee). Sementara itu upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral dengan
mewajibkan principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity
agreement) hampir tidak memberikan perbedaan upaya-upaya, karena walaupun
indemnitu agreement tidak ditandatangani, hak subrograsi dari perusahaan asuransi
untuk dapat penggantian dari debitur atas telah dilaksanakan pencairan jaminan
principal kepada obligee, artinya tanpa indemnity agreement, asuransi tetap dapat
melaksanakan hak subrograsinya kepada principal. Untuk dapat lebih memahami
perbedaan di atas, ada baiknya dikemukakan perbedaan pokok surety bond dan bank
garansi sebagai berikut:
1. Teknis penerbitan
Karena lembaga yang menerbitkan bank garansi adalah perbankan sedang surety
bond oleh lembaga asuransi, maka teknis penerbitan mengikuti lembaga tersebut
yaitu peraturan perbankan dan peraturan asuransi sebagai lembaga penerbit
dimaksud. Kalangan perbankan mempersyaratkan setoran jaminan (collateral).
Sedang asuransi mengutamakan prinsip tanpa jaminan atau agunan, tetapi resiko
disebar diantara penanggung uang (reasuransi).
2. Hukum perjanjiannya.
Bank garansi menggunakan pasal 1820 tentang penanggungan hutang/brogtoght
sehingga bank mempunyai hak istimewa diantaranya pasal 1831 dimana bank
3 Subrograsi menurut pasal 1840 KUH Perdata adalah “Bahwa si penanggung telah
membayar, maka ia akan menggantikan demi hukum segala hak si berpiutang terhadap si
berhutang”.
11
dapat meminta harta debitur terlebih dahulu disita untuk pelunasan
kewajibannya. Sedangkan surety bond diatas dalam perjanjian indemnitas (J.
Satrio menyebutkan perjanjian garansi) pasal 1316 KUH Perdata di mana
kedudukan lembaga asuransi sebagai penjamin dan principal adalah setara dan
mengganti secara tanggungan renteng.
3. Jangka waktu berlakunya jaminan
Garansi diterbitkan oleh kalangan perbankan mempunyai jangka waktu terbatas
dalam arti tidak dapat diperpanjang secara otomatis. Hal ini terjadi karena
setiap bank penerbit jaminan akan mengikuti aturan yang telah digariskan Bank
Indonesia yang dalam periode tertentu akan dikaji ulang. Apabila setelah dikaji
ternyata nasabah tidak layak diberi jaminan atau posisi penjamin tidak
memungkinkan untuk menjamin kembali jaminan yang sudah jatuh tempoh maka
bank yang bersangkutan tidak bersedia memperpanjang jaminan dimaksud.
Prinsip tersebut berbeda dengan surety bond, dalam hal ini jangka waktu surety
bond mengikuti kontrak pembayaran yang dibuat principal/obligee. Dengan
demikian apabila terjadi addendum perpanjangan kontrak, maka jangka waktu
berlakunya surety bond dapat diperpanjang secara otomatis, dengan alasan
kontrak surety bond merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kontrak
pembayaran.
4. Penyelesaian claim
Bagi Surety bond biasanya pemberian jaminan bersifat bersyarat mengikuti
perjanjian kontrak pelaksanaan proyek dimana dalam hal principal/kontraktor
gagal maka harus terdapat keputusan antara principal dan obligee tentang
pemutusan hubungan kerja dimana prestasi principal yang sudah ada harus
diperhitungkan dengan pembayaran ganti rugi oleh surety, dengan kata lain pihak
surety dalam hal ini asuransi membyar hanya sebesar kerugian yang sungguh,
sungguh diderita obligee. Berbeda halnya dengan bank garansi yang bersifat
tanpa syarat (unconditional) dimana apabila principal telah gagal/lalai memenuhi
kewajibannya maka obligee secara sepihak dan mutlak dapat melakukan
pemutusan kerja dan prestasi yang telah dikerjakan principal sama sekali tidak
diperhitungkan, dengan kata lain pencairan jaminan dilakukan secara penuh.
V. Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT)
UUHT disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996. Undangundang
ini adalah sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang (RUU) Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam
Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tersebut yang disampaikan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional pada tanggal 15 September 1996 disebutkan
beberapa hal yang menjadi latar belakang diajukannya RUU yang bersangkutan yaitu:
1. Untuk memenuhi tuntutan pembangunan
2. Melaksanakan amanat UUPA
12
A. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebenarnya menyangkut tiga aspek sekaligus yaitu pertama,
yang berkaitan erat dengan hak jaminan atas tanah, kedua, yang berkaitan dengan
kegiatan perkreditan, dan yang ketiga berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para
pihak yang terkait.
1. Berkaitan Erat dengan Hak Jaminan atas tanah
Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UUHT maka berakibat sebagai
berikut:
1) Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas hak atas tanak tidak hanya
menyangkut benda-benda yang telah ada saja, tetapi juga benda-benda
yang akan ada (Pasal 4 ayat(4); bandingkan dengan Pasal 1175
KUHPerdata).
2) Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak
atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan Hak
Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu
olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 UUHT).
2. Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan
Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka Hak tanggungan
adalah salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan
khusus kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Oleh karena itu jika dikaitkan
dengan sifatnya, Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan
memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Maka kreditur
yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek Hak Tanggungan tersebut disediakan
khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.
3. Berkaitan dengan Perlindungan Hukum
Hal ini berhubungan dengan masalah perjanjian, hubungan hutang ppiutang
antara kreditur dengan debitur, dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur,
dan apa yang dapat dilakukan kreditur jika debitur misalnya tidak dapat memenuhi
apa yang sudah diperjanjikan atau wanprestasi.
B. Ciri-ciri dan Sifat-sifat Hak Tanggungan
1. Ciri-ciri Hak tanggungan
Dalam Penjelasan Umum angka 3 UUHT dijelaskan ciri-ciri Hak tanggungan
sebagai berikut:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya (dalam Hukum Perdata Barat disebut droit de preference).
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UUHT dan Pasal 20 ayat (1)b.
13
b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun objek itu
berada (dikenal sebagai droit de suite). Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 7 UUHT.
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan (Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 UUHT).
Asas spesialitas berisi antara lain:
• Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
• Domisili para pihak
• Penunjukan secara jelas hutang-hutang yang dijamin
• Nilai tanggungan, dan
• Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Asas Publisitas berisi antara lain:
Hak Tanggungan yang diberikan juga wajib didaftar di Kantor Pertanahan
sehingga adanya Hak tanggungan serta apa yang disebut dalam APHT
dapat dengan mudah diketahui oleh pihak ketiga atau orang-orang yang
berkepentingan (Pasal 13 UUHT).
c. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Sebagaimana diketahui dalam eksekusi putusan dikenal 4 (emapt) macam
eksekusi, yaitu: Pertama, eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR
merupakan eksekusi putusan yang menhukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Kedua, eksekusi yang diatur dalam Pasal 225
HIR, adalah eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan. Ketiga, eksekusi riil yang tidak diatur dalam HIE tetapi
dalam P:asal 1033 RV yang merupakan pelaksanaan putusan yang berupa
pengosongan benda tidak bergerak. Keempat, eksekusi paraat (parate
executie) dikenal juga sebagai eigenmachtige verkoop terjadi apabila
seseorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa
mempunyai title eksekutorial (Pasal 1155, 1178 ayat (2) KUHPerdata)
artinya, merupakan pelaksanaan perjanjian tanpa melalui gugatan atau
tanpa melalui pengadilan.
2. Sifat-sifat Hak Tanggungan
Sifat-sifat khusus antara lain:
a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar) yang berarti hak
tanggungannya membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian
daripadanya.
Pengecualiannya jika diperjanjikan dalam Akte Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan
dengan cara angsuran (roya partial). Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUHT jo.
Pasal 16 UURS.
b. Perjanjian tambahan atau ikutan (accessoir) yang berarti merupakan
perjanjian tambahan atau pelengkap dari perjanjian pokok; yaitu adanya
14
Hak tanggungan tergantung pada adanya perjanjian hutang piutang antara
debitur dengan kreditur yang dijadikan jaminan pelunasan.
c. Pembebanan objek Hak Tanggungan lebih dari satu kali.
Satu objek Hak tanggunan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak
tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Jadi ada
peringkat pertama, kedua dan seterusnya yang ditentukan menurut
tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
d. Parate Executie/Eigenmechtige verkoop
Apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggugnan atas kekuasaan
sendiri (parate executie) melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
a. Objek Hak Tanggungan
Persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai objek
antara lain:
a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa
uang.
b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus
memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur
cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.
d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang.
Maka sesuai dengan syarat diatas objek Hak Tanggungan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UUHT dan Penjelasan Umum angka 5 adalah
hak atas tanah dengan status sebagai berikut:
1) Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1)a, b, c
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA (Pasal 4 ayat
(1) UUHT) yaitu:
• Hak Milik (Pasal 25)
• Hak Guna Usaha (Pasal 33)
• Hak Guna Bangunan (Pasal 39)
2) Yang ditunjuk oleh UURS (lihat Pasal 27 UUHT jo. Pasal 12 dan 13
UURS).
3) Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a UURS jo. Pasal
27 UUHT berikut penjelasannya).
4) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas
tanak Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara
(Pasal 13a UURS jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
15
5) Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
6) Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
b. Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan subjek Hak Tanggungan menurut Pasl 8 ayat (1)
dan Pasal 9 UUHT, baik pemberi maupun penegang Hak Tanggungan adalah
orang perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid) terhadap objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan; sedangkan pemegang Hak Tanggungan berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang (kreditur).
Syarat-syarat sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak
Tanggungan adalah:
• Warga Negara Indonesia
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di Indonesia maupun di
manca negara
• Badan Hukum Indonesia
• Badan Hukum Asing, baik yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia maupun yang berkantor pusat di manca negara.
Pemberi Hak Tanggungan:
• Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan tunggal sebagai
pemegang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah Negara.
• Badan Hukum Indonesia sebagai pemegang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
• Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di dan menjadi
penduduk Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah
Negara.
• Badan Hukum Asing, yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia sebagai pemegang Hak Pakai Atas Tanah Negara.
VI. Masalah-masalah Dalam Penyelesaian Jaminan Kredit
a. Penyelesaian Melalui Proses Litigasi
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata seorang berutang dinyatakan telah lalai
memenuhi prestasinya bila berdasarkan suatu surat perintah atau akta sejenisnya
dinyatakan demikian, kecuali jika perikatannya sendiri telah menetapkan bahwa
si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Surat
perintah adalah pernyataan resmi dari juru sita pengadilan, sedangkan akta
sejenis adalah peringatan tertulis.4 Apabila seorang debitur sudah diperingatkan
4 R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 1978), hal 44.
16
dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia tetap tidak melaksanakan prestasinya
maka salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk menuntut
haknya adalah melakukan gugatan perdata melalui pengadilan.
Agar debitur tidak mengalihkan hartanya untuk memenuhi putusan pengadilan,
dalam gugatan harus dicantumkan permohonan putusan provisionil berupa
penetapan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta kekayaan tertentu
debitur. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196 HIR dapat dimintakan
bantuan Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan putusan itu secara paksa.
Pelaksanaan putusan secara paksa ini dibuat eksekusi atau execution forcee. Jika
sudah lewat jangka waktu yang ditetapkan pengadilan pihak yang dikalahkan
tidak memenuhi putusan atau tidak datang menghadap, sesuai dengan ketentuan
Pasal 196 jis Pasal 197 ayat (1) HIR harta benda yang bersangkutan sampai jumlah
yang dianggap cukup disita oleh pengadilan kemudian dijual melalui Kantor
Lelang Negara. Tata cara menjalankan putusan pengadilan menurut HIR adalah:
a) peringatan (aanmaning), b), sita eksekusi dan (c) penyanderaan. Penyelesalain
melalui litigasi ini sering membuat bank frustasi karena pihak pengadilan
menganggap bahwa dalam hubungan perjanjian kredit antara bank dan nasabah
debitur, nasabah bank adalah pihak yang lemah yang harus dilindungi terhadap
bank sehingga bank sering dikalahkan. Selain itu proses penyelesaian utang
melalui pengadilan ini sangat lamban. Menurut suatu penelitian, dibutuhkan
waktu 3-9 tahun untuk menyelesaikan utang piutang perbankan.5
b. Penyelesaian Melalui PUPN
Dalam praktek pelaksanaan pengurusan piutang negara dijumpai masalahmasalah
yuridis yang secara umum timbul akibat tindakan hukum yang dilakukan
oleh debitur ataupun pihak ketiga yang bekepentingan.
a). Putusan pengadilan yang meninjau/membatalkan pernyataan bersama dan
menetapkan jumlah piutang negara atau penjadwalan kembali angsuran
piutang negara.
PUPN mempunyai wewenang menetapkan jumlah piutang negara dan syaratsyarat
penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk Pernyataan Bersama antara
Ketua PUPN dengan debitur atau penanggung utang. Pernyataan Bersama ini
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara
perdata. Dengan demikian sebenarnya pengadilan tidak dapat membatalkan
Pernyataan Bersama. Mahkamah Agung dalam putusannya No.
1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980 dalam perkara antara BNI 1946
melawan Fa. Megaria antara lain menyatakan tidak ada sarana hukum lewat
prosedur peradilan biasa yang dapat ditempuh untuk menghapus adanya Surat
Pernyataan Bersama. Dalam prkatek sampai dengan akhir semester I tahun
1997/1998 terdapat 107 perkara aktif berupa bantahan atau gugatan melalui
pengadilan Negeri yang diajukan oleh Penanggung Utang menyangkut
kebenaran terhadap penetapan jumlah utang.
5 H.P. Panggabean, “Berbagai Masalah Yuridis yang Dihadapi Perbankan Mengamankan
Pengembalian Kredit yang Disalurkannya”, Varia Peradilan VII No. 80, 1992.
17
b) Pengadilan Negeri Membatalkan Penyitaan dan Pelelangan yang telah
dilakukan oleh PUPN karena penerbitan surat paksa sebagai dasar hukum
Pelelangan tidak didahului dengan Pernyataan Bersama
Dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena penanggung utang
tidak memenuhi panggilan meski telah dipangil dengan patut atau tidak
bersedia menandatangani Pernytaan Bersama, maka PUPN melaksanakan
penagihan sekaligus dengan surat paksa. Meskipun Surat Paksa yang
dikeluarkan PUPN mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dalam praktek
dapat saja tertunda bahkan batal pelaksanaannya atas permintaan debitur
kepada PN. Terdapat beberapa putusan PN yang menbatalkan penyitaan dan
pelelangan yang telah dilakukan PUPN atas dasar Surat Paksa sebagai dasar
hukum pelelangan tidak didahului Pernyataan Bersama.
c) Pengadilan TUN Menilai/Meninjau Surat Paksa, Penyitaan dan Pelelangan
PUPN adalah lembaga yang bertindak atas nama negara untuk mengurus
piutang negara yang terjadi karena adanya perbuatan hukum perdata (utang
piutang). Dalam Pasal 2 a UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN diatur
bahwa Keputusam Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.
Tugas PUPN yang dilaksanakan oleh BUPLN adalah melaksanakan peradilan
semu (quasi rech spraak).Oleh karena itu PUPN dan BUPLN bukanlah tugas
bagai Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam praktik, terdapat putusan
Pengadilan TUN yang meninjau surat paksa, penyitaan dan pelelangan yang
dikeluarkan oleh PUPN.
d) Adanya Putusan Sela (Provisi) dari PN Berupa Penundaan/Pembatalan Lelang
Eksekusi PUPN
Pelelangan yang dilakukan PUPN berdasarkan Pernyataan Bersama dan atau
Surat Paksa bersifat parate eksekusi yang mempunyai kekuatan seperti
putusan hakim. Dengan demikian menurut penjelasan Pasal 11 butir 13 (4) UU
No. 49 Prp. Tahun 1960 tidak dapat ditunda atau dibatalkan karena adanya
sanggahan yang diajukan terhadap sahnya atau kebenaran piutang negara.
Dengan demikian, putusan sela yang dikeluarkan sebelum pemeriksaan pokok
perkara seharusnya hanya dikeluarkan untuk sengketa mengenai pemilikan
objek yang akan dilelang saja.
e) PN Meletakkan Sita Jaminan atau Sita Eksekusi atas Barang yang Telah Disita
Lebih Dahulu oleh PUPN
Pasal 201 dan 202 HIR secara implisit menyatakan bahwa terhadap barang
yang sama tidak dapat diadakan sita rangkap. PUPN seringa mengalami
kesulitan untuk memproses pengurusan piutang negara sampai pada tahap
eksekusi lelang, karena sering terjadi sita rangkap (ganda) yang dilakukan
oleh PN.
f) PN Meletakkan Sita Jaminan atas Barang Jaminan Kredit
Putusan MA No. 394K/PDT/1084 tanggal 13 Mei 1984 menyatakan bahwa PN
tidak dapat melaksanakan sita jaminan atas barang milik Penanggung Utang
yang dijaminkan dan telah diikat hipotik. Dalam praktek terdapat putusan PN
18
yang meletakan sita jaminan terhadap barang yang dijaminkan untuk
melunasi piutang negara yang diikat hipotik atas permintaan pihak ketiga.
g) Untuk Mengosongkan Objek Lelang yang masih Dikuasai oleh Debitur atau
Pihak Lain, PN Mengharuskan Pemenang Lelang Eksekusi PUPN Mengajukan
Gugatan Perdata
Ketentuan mengenai pengosongan rumah atau bangunan yang didiami oleh
penanggung utang atau pihak lain diatur dalam penjelsan Pasal 11 butir 11 UU
No. 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pembeli lelang mengajukan permohonan
kepada Ketua PN untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada juru sita untuk
mengusahakan pengosongan rumah atau bangunan, jika perlu dengan bantuan
alat kekuasaan negara. Namun demikian, PN mengharuskan pemenang lelang
menempuh prosedur gugatan perdata.
c. Masalah Eksekusi Grosse Akta
Pada dasarnya eksekusi atau pelaksanaan putusan dilakukan apabila pihak
tergugat tidak mau melaksanakan putusan hakim yang bersifat condemnatoir dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap secara sukarela. Berdasarkan Pasal 224 HIR,
Grosse Akta merupakan perangkat hukum yang disamakan dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam praktik eksekusi grosse akta
tidak semudah bunyi Pasal 224 HIR. Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksekusi
grosse akta menjadi sulit, yaitu nasabah debitur sengaja mengulur-ulur waktu dengan
mengajukan upaya hukum, adanya perlawanan dari pihak ketiga, kesalahan pihak bank
dalam membuat grosse akta dan Ketua PN kurang memahami pengertian grosse akta.
1. Upaya Hukum Nasabah Debitur atau Pihak Ketiga
Dalam praktik eksekusi grosse akta, tidak sedikit nasabah debitur atau pihak
ketiga yang melakukan upaya hukum untuk menghambat proses eksekusi grosse
akta yang hendak dijalankan oleh Ketua PN. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan nasabah debitur atau pihak ketiga melakukan gugatan perlawanan
(verzet) yaitu antara lain nasabah debitur sengaja melakukannya untuk
menghambat proses dan nasabah debitur merasa dirugikan oleh kecurangan
kreditur dalam menghitung angsuran utang. Contoh kasus adanya perlawanan
pihak ketiga yang disebabkan karena pihak bank lalai untuk meniliti dokumendokumen
yang dibuat antara pihak ketiga dengan nasabah debitur. Dalam perkara
antara PT Bank Kesawan melawan Patsan Oloan Ny. Sitodoer Boru Tupang, PT
Bank Kesawan memberikan kredit pada Citra Pujiarta dengan jaminan grosse akta
pemberian jaminan. Nasabah debitur wanprestasi sehingga bank mengajukan
permohonan eksekusi pada ketua PN Medan, yang kemudian dikabulkan. Pihak
bank kemudian membuat pengumuman lelang di surat kabar. Atas dasar
pengumuman tersebut, pihak pelawan mengajukan perlawanan dengan alasan
tanah yang akan dilelang tersebut adalah milik pelawan. Mahkamh Agung
mengeluarkan putusan yang pada pokoknya menolak kasasi PT Bank Kesawan dan
menyatakan menurut hukum grosse akta adalah tidak sah dan memerintahkan
Wakil Juru Sita PN Medan untuk mencabut, mengangkat kembali sita eksekusi
atas tanah pelawan. Alasan MA adalah proses peralihan hak yang dijadikan
anggunan antara Pelawan dan nasabah debitur cacat hukum.
19
2. Kesalahan Notaris (Bank) Dalam Membuat Grosse Akta
Kekeliruan bank tidak terlepas dari kesalahan notaris yang dipercaya oleh bank
untuk membuat dokumen-dokumen tersebut. Kesalahan ini disebabkan perbedaan
penafsiran mengenai grosse akta. Dalam Pasal 224 HIR hanya dikenal dua bentuk
grosse akta yaitu grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotik yang
masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai spesifikasi yang berbeda. MA hanya
membolehkan kalangan perbankan memilih salah satu dari grosse akta tersebut.
Apabila nasabah debitur telah diikat dengan grosse akta pengakuan utang maka
nasabah debitur tidak boleh diikat lagi dengan bentuk perjanjian hipotik.
Disamping kesalahan mencampuradukkan dua bentuk grosse akta menjadi satu,
kalangan perbankan dan notaris sering juga melakukan kesalahan dalam
pembuatan akta pengakuan utang. Akta pengakuan utang yang dibuat oleh
perbankan dan notaris kadang-kadang bukan berisi pernyataan sepihak dari
nasabah debitur, tetapi merupakan perikatan antara bank dan nasabah debitur
yang masing-masing mengikatkan diri dalam akta pengakuan utang. Dalam
perkara PT Waringin Metal Printing & Santosa melawan Nichimen Co. Ltd. &
Takegawa Co, MA menolak permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang
dengan pertimbangan isi akta pengakuan utang tersebut disertai dengan
perjanjian pinjam uang sejamlah $ 1.952.614,47. Pada hakekatnya surat
pengakuan utang hanya dapat memuat suatu pengakuan utang dengan kewajiban
untuk membayar utang tersebut, yang mempunyai akibat bagi pihak yang
berutang tidak lagi mempunyai hak untuk membela diri. Dalam perkara PT Bank
Pasifik Cabang Medan, MA dalam putusan No. 2414 K.Pdt/1987 tanggal 12
Februari 1990 berpendapat bahwa grosse akta berisikan pengakuan utang dengan
pemberian jamian, dimana diperjanjikan pula mengenai barang-barang yang akan
dijaminkan dan syarat-syarat mengenai jaminan tersebut. Dengan demikian
grosse akta semacam itu bukanlah merupakan grosse akta yang dapat dieksekusi
sesuai Pasal 224 HIR.
Dalam perkara antara Bank of America Jakarta mewalan Trisnawati Sudarto, MA
mengabulkan bantahan Trisnawati dengan pertimbangan antara lain Akta
Pernyataan yang dibuat tanggal 15 Januari 1984 hanyalah merupakan akta di
bawah tangan yang tidak berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Oleh karena itu eksekusi yang diajukan oleh BOA adalah tidak ada
dasar hukummya, bahwa Akta Notaris No. 147 yang berisi loan agreement dan
Akta Noratis No. 148 yang berisi acknowledgement of indebtedness and security
agreement adalah bukan grosse akta.
Dalam pembuatan akta pengakuan utang sering juga ditemui jumlah utang
nasabah debitur belum dapat dipastikan jumlahnya. MA berpendapat akta
pengakuan utang seperti ini tidak dapat dieksekusi. Nasabah debitur yang tidak
bersedia menandatangani Surat Pernyataan Bersama juga dapat ditafsirkan
bahwa secara hukum belum terdapat jumlah utang yang pasti. Satu hal yang
merupakan kesalahan adalah adanya anggapan bahwa grosse akta perjanjian
kredit mempunyai fungsi yang sama dengan grosse akta pengakuan utang. Dengan
bekal pemahaman ini. Kalangan notaris dan perbankan menganggap dengan
dicantumkannya kata-kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada grosse akta perjanjian kredit, maka grosse akta tersebut telah
mempunyai kekuatan eksekutorial. MA tidak mengakui grosse akta perjanjian
20
kreidt sebagai grosse akta pengakuan utang. Hal ini dapat dilihat dalam
Keputusan MA No. 1520.K/Pdt./1984 yang melibatkan PT Pan Indonesian Bank
melawan PT Ripe Indonesia.
d. Agunan Harta Bersama
Mahkamah Agung dalam perkara No.1851 K/Pdt/1996 tanggal 23 Pebruari 1998
menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian
yang mengharuskan manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak Penggugat adalah
usteri tergugat yang tidak turut menandatangani surat agunan tersebut. Pembebanan
tanah harta bersama tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar
pertimbangan adil dan patut. Dalam perkara ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera
Utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah adanya penjaminan utang yang
dibuat dalam grosse akta. Pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum
lain, dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan permohonan eksekusi tersebut.
Penggugat merasa dirugikan karena objek yang dimohonkan eksekusi adalah harta
bersama. Harta bersama dapat dikategorikan sebagai hak milik bersama. Dikatakan hak
milik bersama karena terdapat beberapa orang pemilik ata suatu benda yang sama.
Selain KUHPerdata, UU Perkawinan mengenal adanya harta milik bersama yang disebut
sebagai harta bersama. Hak milik bersama ada dua macam yaitu hak milik bersama yang
bebas dan hal milik yang terkait. Hak milik bersama yang bebas terjadi karena
diperjanjikan antara beberapa pemilik bersama atas suatu benda. Hak milik bersama
yang terkait terjadi karena ketentuan undang-undang dan sebagai akibat hubungan
hukum yang sudah ada lebih dahulu. Misalnya pemilik bersama harta perkawinan akibat
adanya perkawinan, pemilik bersama atas harta peninggalan akibat adanya pewarisan.
Tiap pemilik harta bersama tidak dimungkinkan bebrbuat apa saja tanpa izin dari
pemilik bersama lainnya.
e. Penafsiran Pasal 1831 dan 1822 KUHPerdata: Penanggungan Utang
(borgtocht)Putusan Pengadilan Niaga No.70/PAILIT/1999/PN.NIAGA/JKT.PST
Tanggal 1 November 1999
Duduk perkara
PT Gardiana Interbullion Corporation (“GIC”) adalah debitur dari Bank Ekonomi
berdasarkan Akte perjanjian Kredit Nomor 79, tertanggal 13 Maret 1997 dan Akta
Perjanjian Kredit nomor 80, tertanggl 7 Mei 1997.
Perjanjian Kredit dimaksud dijamin oleh fixed asset dan Jaminan Pribadi dari Jasip
Ngakiwan berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) nomor 81 tertanggal 13 Maret
1997.
Pada saat jatuh tempo yaitu pada tanggal 13 Maret 1998, GIC tidak mampu
mengembalikan seluruh utangnya kepada Bank Ekonomi. Dan untuk itu telah dilakukan
pelelangan atas jaminan berupa fixed assets yang tidak mencukupi untuk melunasi
seluruh utang debitur.
Oleh karena hasil pelelangan jaminan fixed assets tidak mencukupi, maka bank Ekonomi
berdasarkan Akta Jaminan Pribadi menuntut pemenuhan pembayaran atas utang GIC dari
21
Jasip Ngakiwan selaku penjamin pribadi yang telah melepaskan sebagian hak-hak
istimewanya dan dengan demikian bertanggung jawab layaknya seorang debitur yang
menggantikan debitur semula (GIC).
Dalil pemohon
Bank Ekonomi (selanjutnya disebut sebagai pemohon) mendalilkan sebagai berikut:
- Bahwa oleh karena GIC telah tidak mampu membayar, maka Jasip Ngakiwan
(selanjutnya disebut Termohon) selaku Penjamin Pribadi otomatis menggantukan
kedudukan GIC selaku Debitur;
- Bahwa Termohon telah melepaskan segala hak-hak dan hak utama yang diberikan
Undang-undang kepada Termohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1430, 1843,
1847, 1848 dan Pasal 1849 KUHP;
- Bahwa Termohon, selain menjadi Penjamin Pribadi dari GIC, adalah juga Debitur
dari Bani UUPINDO dan penjamin pribadi atas utang PT Goldpindo Rajabrana pada
Bank UPPINDO;
- Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Termohon telah secara sederhana
terbukti memiliki lebih dari satu kreditur dan telah tidak membayar sedikitnya
satu uatang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dalil Termohon
- Termohon menyatakan bahwa fakta-fakta yang diajukan pemohon tidak terbukti
secara hukum.
- Untuk itu permohonan Pemohon harus ditolak.
Pertimbangan Hukum
- Menimbang bahwa yang menjadi posita dari permohonan adalah bahwa Termohon
adalah penjamin guna menjamin pelunasan utang-utang GIC kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon telah menyatakan
dan mengikatkan diri sebagai Penjamin dan karenanya bertanggungjawab
sepenuhnya dengan harta bendanya guna menjamin utang-utang GIC kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dalam Akta Penjaminan dinyatakan bahwa Termohon secara
otomatis menggantikan kedudukan GIC untuk membayar lunas kewajibannya pada
Pemohon, setelah terpenuhinya syarat sebagai berikut:
1. Walaupun telah diperingatkan dengan layak, tidak atau belum dapat
memenuhi kewajibannya kepada Pemohon,
2. Jatuh pailit,
3. Minta penangguhan pembayaran utang atas putusan pengadilan,
4. Di likuidasi.
22
- Menimbang bahwa Pemohon telah melakukkan penegoran kepada GIC secara
patut;
- Menimbang bahwa telah dilakukan pelelangan atas harta-harta debitur, dimana
pelelangan dimaksud tidak mencukupi untuk melunasi utang debitur kepada
Pemohon;
- Menimbang bahwa dengan demikian Termohon telah dan menggantikan
kedudukan GIC untuk membayar lunas seluruh kewajiban kepada Pemohon;
- Menimbang bahwa berdasarkan Akta Penjaminan, Termohon tidak hanya
berkedudukan sebagai penjamin akan tetapi juga mengikatkan diri sebagai yang
bertanggung jawab atas kewajiban GIC;
- Menimbang bahwa degnan demikian termohon baik sebagai Penjamin maupun
sebagai Debitur dapat dipailitkan;
- Menimbang bahwa Termohon telah ditegor untuk membayar utang;
- Menimbang bahwa utang GIC telah jatuh tempo;
- Menimbang bahwa selain menjadi Penjamin pada Pemohon, Termohon adalah
juga Penjamin utang PT Godpindo Rajabrana pada Bank UPPINDO dan juga
Debitur pada Bank UPPINDO;
- Menimbang bahwa dengan demikian maka telah terbukti bahwa Termohon
memiliki utang kepada lebih satu kreditur dan sedikitnya tidak membayar satu
utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
- Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas setelah
dihubungkan satu dengan yang lainnya, ternyatalah bahwa sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3) UUK telah terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sah dan sederhana bahwa persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK telah terpenuhi, sehingga oleh karena itu
Termohon akan dinyatakan Pailit.
Mengadili
- Mengabulkan permohonan Pemohon;
- Menyatakan bahwa termohon: Jasip Ngakiwan dengan alamat Jl. Cempaka No. 22
RT. 011/RW 002 Pasar Baru-Jakarta Pusat PAILIT;
- Mengangkat dan menunjuk;
1. Sdr. Hasan Basri, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas,
2. Sdr. Gunawan Widyaatmadja, SH., & Rekan dengan alamat Jl. Bima No. 27
Kemanggisan Tomang Barat Jakarta sebagai Kurator.
- Menetapkan besarnya biaya Kurator sebesar 2,5% dari harta Debitur;
- Membebankan kepada Termohon untuk membayar segala ongkos perkara sebesar
Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).
~~***~~
Sumber : Dr. Zulkarnain Sitompul.
Langganan:
Postingan (Atom)